Dampak Putus Sekolah Bagi Soial dan Mental Anak– Selain keluarga, pendidikan formal merupakan tempat pertama seorang anak belajar bertumbuh dan berkembang. Maka dari itu, pendidikan seharusnya jadi hak semua anak. Namun sayangnya, pendidikan masih jadi privilege bagi sebagian anak.
Laporan Kemendikbudristek yang dilansir dari Katadata mencatat setidaknya ada 75 ribu anak yang putus sekolah pada 2021 silam. Jumlah anak berhenti sekolah pada tingkat SD merupakan yang tertinggi, yakni sekitar 38 ribu orang.
Padahal, riset National Library of Medicine menunjukkan bahwa orang yang menempuh pendidikan lebih sedikit mengalami depresi dan kecemasan. Artinya, edukasi memiliki dampak besar terhadap kesehatan psikis dan mental anak. Putus sekolah tak hanya berpengaruh pada kemampuan kognitif, tapi juga ke kondisi sosial & mental.
Baca juga:
- Alasan Kenapa Banyak Anak Petani Putus Sekolah
- Sekolah Formal Buntu, Model Informal Perlu dilakukan
- Beasiswa Anak Petani Keluarga Pra-Sejahtera
Dampak Putus Sekolah Bagi Kondisi Sosial Anak
1. Peluang Sosial yang Terbatas
Kini, banyak orang tua di perkotaan yang semakin sadar dampak edukasi terhadap masa depan anak mereka. Di ibukota, orang tua ingin memasukkan anaknya ke sekolah bergengsi, agar kelak mendapatkan koneksi yang baik. Mereka paham ini: Semakin baik pendidikan, semakin baik teman-temannya, semakin baik pula peluang koneksinya.
Di desa, hal ini memang kurang relevan. Masalahnya, bisa sekolah saja sudah bersyukur. Sebab, banyak anak yang akhirnya putus sekolah lantaran kendala ekonomi.
Putus sekolah membuat anak kehilangan kesempatan untuk memperluas jaringan, mendapatkan informasi, hingga kesempatan kerja yang lebih baik. Selain itu, anak tidak mendapatkan pengalaman berinteraksi sosial bersama teman-teman hingga guru di sekolah.
Melansir dari Better Speech, anak-anak yang tidak memiliki cukup kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa bisa merasa terisolasi, cemas, & kesepian. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan dalam mengembangkan keterampilan komunikasi, kecerdasan emosional, dan keterampilan penyelesaian konflik.
2. Stigma Sosial
Stigma sosial pada anak putus sekolah merupakan stereotip & label negatif yang ditempelkan pada mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan formal mereka. Tak jarang, mereka mendapatkan diskriminasi & perlakuan tidak adil dalam berbagai aspek kehidupan.
Banyak anggapan yang beredar di masyarakat bahwa anak yang putus sekolah dianggap gagal, beban sosial, hingga tidak punya masa depan. Tak hanya stigma, anak yang putus sekolah juga rentan mengalami bullying.
Sebuah jurnal di Taylor & Francis pernah meneliti perbandingan anak yang putus sekolah & yang lanjut kuliah, di usia yang sama. Mereka menemukan bahwa anak putus sekolah minim dukungan sosial dari masyarakat & banyak mengalami masalah mental.
Sementara itu, anak yang menempuh pendidikan hingga kuliah lebih stabil secara mental, sebab mereka mendapatkan dukungan sosial yang baik.
Jika putus sekolah terjadi di usia remaja, mereka sedang berada di fase mencari jati diri. Oleh karena itu, mereka akan mencari kelompok yang mau menerima mereka. Maka tak jarang, beberapa akhirnya bergabung ke kelompok pengamen, anak punk, dan berpotensi melakukan kenakalan remaja hingga tindakan kriminalitas.
Dampak Putus Sekolah Bagi Mental Anak
1. Rendahnya Kepercayaan Diri
Putus sekolah dapat merusak rasa percaya diri anak-anak. Mereka mungkin merasa dapat merasa kurang berharga atau gagal dibandingkan teman-temannya yang terus bersekolah. Hal ini bisa diperparah, apabila mereka melihat teman-temannya masuk ke sekolah favorit.
Beberapa juga mungkin minder saat kembali sekolah setelah vakum beberapa tahun. Salah satunya Gunawan Edi, anak yang putus sekolah akibat tidak ada akses transportasi & jaraknya terlalu jauh ditempuh jalan kaki.
Akhirnya, relawan Odesa berinisiatif memindahkan Gunawan ke sekolah yang lebih dekat. Itu pun, Gunawan harus diyakinkan berkali-kali agar mau melanjutkan pendidikan. Penyebab utamanya, malas lanjut sekolah & minder karena tertinggal dengan teman-temannya. Namun, setelah diberi pengertian & semangat, Gunawan akhirnya mau kembali bersekolah.
2. Merasa Stres dan Cemas
Anak-anak yang putus sekolah sering menghadapi ketidakpastian akan masa depan. Sebab, peluang mendapatkan pekerjaan lebih layak semakin kecil. Belum lagi, kalau mereka jadi pengangguran setelah putus sekolah, dan dituntut untuk meringankan beban keluarga.
Di Kecamatan Cimenyan, kami banyak melihat anak-anak putus sekolah yang seperti ini. Mereka menjadi stres & cemas berlebihan, sebab begitu banyak tuntutan & ketakutan.
3. Kurang Motivasi & Pengembangan Diri Terhambat
Yayasan Odesa banyak menemui anak putus sekolah di Cimenyan yang punya keterbelakangan pola pikir. Mereka kerap terjebak dalam fixed mindset seperti:
“Ya sudahlah, saya memang begini. Nggak usah mimpi ketinggian untuk anak putus sekolah, terima nasib saja.”
“Bantu orang tua saya saya mah. Nggak mungkin juga kalau kerja di pabrik, apalagi kerja kantoran.”
Padahal kami tahu, bahwa anak-anak ini punya potensi besar. Sayang, mereka tak sadar itu. Makanya, anak desa ini sebenarnya hanya perlu diarahkan & diberi pendidikan, agar ada kemajuan secara pola pikir.
Yuk, Bantu Anak-Anak Desa Melanjutkan Pendidikan Mereka
Pendidikan adalah fondasi penting bagi pengembangan kemampuan intelektual & emosi seorang anak. Untuk itu, kami di Yayasan Odesa menyediakan beberapa program literasi untuk anak desa.
Salah satunya adalah memberikan pendidikan non-formal di Sekolah Samin. Namun kami juga sadar, jika ingin mendorong & mengeluarkan potensi terbaik mereka, mereka butuh sekolah formal yang lebih intensif.
Itu sebabnya, kami pun memberikan beasiswa sekolah di Pesantren Al Mizan, Majalengka. Namun, kami tak dapat bergerak sendiri. Kami membutuhkan bantuan pendonor dermawan untuk mendukung mimpi anak-anak desa ini.
Untuk itu, kamu mau bergerak bersama kami, yuk salurkan bantuan melalui Kitabisa di sini ya.