Pak Damin: Kisah Pilu Penggali Batu

OLEH: KHOIRIL ANWAR ROHILI

Namanya singkat, Damin. Lelaki berusia 60 tahun ini bukan siapa-siapa. Kecuali seorang kakek yang sepanjang hidupnya hanya berkutat urusan batu dan seputar pertanian subsistem yang kini juga tidak dilakukannya lagi.



Saya mengenalnya saat pertengahan September 2016 istrinya Ibu Amah harus kami bawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung karena sakit 4 bulan tidak ada yang mengurus ke Rumah Sakit. Sedih nian karena setelah usaha kami bersama teman-teman mentok pada takdir; Ibu Amah meninggal akibat kanker tulang 8 Oktober 2016 lalu.

Pak Damin. Kakek ini begitu baik dan mengundang perhatian saya. Sikapnya yang tulus terpancar dalam keseharian selama dua minggu kami berinteraksi saat menjaga istrinya di Rumah Sakit. Ia memiliki “kesalehan”, paling tidak dalam sopan-santun terhadap orang lain, menolak bantuan selagi dia mampu, dan berterimakasih pada urusan “remeh-temeh” keseharian. Tetapi itulah yang membuat kami terkesan darinya.

Ia Hidup dalam serba kekurangan bersama keluarganya hingga anak cucunya. Tinggal rumah yang lebih pantas disebut gubuk di Kampung Cadas Gantung (Cikored), Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Keadaan ekonomi tak bersahabat dengan tuntutan hidup. Itulah kenapa tanah kecil dibagi untuk anak-anak dan menantunya untuk gubuk. Naasnya, ketika media massa menyebut Cadas Gantung sebagai kampung miskin dengan sejumlah fakta-fakta valid, Camat dan Pejabat Pemkab Bandung, termasuk para “pahlawan kesiangan” di Mekarmanik menolak Cadas Gantung disebut miskin. Beruntung saja warga di Cadas Gantung tidak pernah munafik tentang kondisi kehidupannya yang memang secara kategori patut disebut miskin.




Yang lebih lucu lagi, mereka menolak Cadas Gantung disebut kampung miskin tetapi di sana beredar banyak kartu Indonesia Sehat, jatah Rutilahu yang tersendat-sendat, tidak ada sarana Ibadah, dan bahkan tetap menerima bantuan sosial yang ditujukan untuk orang miskin. Dan yang lebih tragis lagi, tidak ada pemakaman umum di Cadas Gantung itu sehingga jenazah Ibu Amah harus dimakamkan di belakang rumahnya; bekas kandang Ayam.

Kuburan Ibu Amah di bekas Kandang Ayam
Kuburan Ibu Amah di bekas Kandang Ayam

Rumah Pak Damin juga tergolong reyot. Di kampung Cadas Gantung itu, dari 14 Kepala Keluarga 11 keluarga di antaranya hidup dalam situasi yang jauh dari kata sejahtera.

Pada Pak Damin saya kangen menjalin hubungan. Maka, pada Rabu siang , 16 November 2016, saya menemuinya. Saya berharap bertemu di rumahnya. Tetapi kosong. Saya kemudian menemui Pak Damin di Galian Batu Templek, tempatnya ia mencari nafkah sejak muda sebagai penggali batu alam di kawasan Sentak Dulang.

Di situlah kami kembali berbincang. Ia kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Yang berbeda sekarang setiapkali pulang ia tidak lagi bersua dengan istri yang dicintainya.

Dari bincang siang itu, saya pun tahu bagaimana kehidupan seorang yang hidup dalam ketidakcukupan untuk standar hidup yang layak. Tenaga diperas saban hari. Tak jelas berapa penghasilan didapat.

Di perbukitan itu, Pak Damin memburu batu templek yang biasa dimanfaatkan orang-orang untuk menghias rumahnya. Dari keringat Pak Damin itu, banyak rumah orang kaya menjadi indah, tak terkecuali villa-villa di sekitar Jalan Pasir Impun. Saya merenungkan ini. Mereka orang-orang berpunya bisa menikmati kehidupan yang serba cukup, bahkan berlebih. Pak Damin yang telah memberikan nilai lebih bagi keindahan rumah orang berlebih itu ternyata hidupnya tak kunjung beranjak membaik bahkan sampai usianya masuk kepala enam. Kontradiksi. Ironi. Memilukan.

Berhari-hari ia kumpulkan batunya dengan resiko terkena runtuhan batu. Beberapakali kejadian penggali batu meninggal karena terkena pekerjaan yang keras itu. Penghasilan Pak Damin, setiap mendapatkan satu colt batu, ia akan menerima Rp 450.000, namun harus dipotong Rp 100ribu perhari kepada pemilik tanahnya. Penghasilan Rp 350.000 itu tidak menentu. Tak bisa dihitung berapa hari ia harus memenuhi target pengumpulan 1 colt. Setelah mendapatkan satu colt siap angkut, ia pun harus bersabar menunggu pembeli.




Ketika saya mengajak peluang kemungkinan usaha lain, ia tak begitu tertarik. Ia merasa hidupnya sudah menyatu dengan batu. Tetapi tentu ini bukan hal yang final dari sebuah pembicaraan karena untuk usaha lain yang ia takutkan adalah modal. Maka jika modal dan kesediaan untuk mencari tambahan penghasilan itu disediakan, barangkali akan ada situasi yang baru. (Bersambung). –Khoiril Anwar Rohili.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja