Kehidupan manusia sangat ditentukan oleh urusan tanam. Ciri-ciri manusia beradab kita ihat dari kemauan bertanam.
Masalah tanam selama ini identik dengan urusan pertanian. Kalaupun melebar di luar urusan profesi pertanian, kegiatan tanam tidak lebih pada urusan berkebun dalam konteks hobi. Adapun yang sifatnya sosial seperti penghijauan –dan ini menempati porsi yang minim.
Menurut Ketua Odesa Indonesia, Faiz Manshur, cara pandang seperti ini harus segera diubah. Sebab menurutnya, kegiatan bertanam merupakan kegiatan peradaban. Sebab cikal dasar peradaban itu bisa dinilai dari takaran yang paling mendasar yaitu bercocok tanam. Utamanya manusia yang beradab menurut Budhiana karena adanya kemampuan bercocok tanam atau mendomestifikasikan tanaman untuk target manfaat. Kelompok berperadaban ini dibedakan dengan masyarakat sebelumnya, yaitu masyarakat pemburu pengumpul yang hanya mampu memperoleh makanan melalui perburuan di hutan untuk mengambil hasil ekstratif pada daging hewan, dedaunan dan buah-buahan.
“Jadi ada baiknya kita merenungkan tentang bertanam sebagai perilaku dasar manusia beradab. Kalau selama ini cara menilai manusia beradab itu dari literasi misalnya, itu sebenarnya logikanya melompat, yang a-historis dan kurang mendasar,” kata Faiz Manshur, Rabu, 8 November 2017 di Kantor Yayasan Odesa Indonesia Cimenyan Kabupaten Bandung.
Menurut Faiz Manshur, kesalahan menilai dalam norma peradaban disebabkan selama ini kajian tentang dasar-dasar peradaban tidak dikupas tuntas. Para cendekiawan juga sering terjebak pada kisah-kisah politik atau kisah-kisah bangunan bersejarah dan melupakan jejak perilaku beradab dari pangan, ternak, literasi dan teknologi. Padahal menurut Faiz, dasar peradaban itu sendiri tidak lepas dari bangunan bawah peradaban yaitu budaya atau kultur, yang akar pengertiannya lekat dengan urusan agriculture.
Perubahan Iklim dan Keharusan Menanam
“Ini perkara sejarah, dan ilmuwan yang tajam akan persoalan nilai unggul di masyarakat pasti paham tentang budidaya pangan sebagai pilar hidup. Karena itulah mengapa soal bercocok tanam harus menjadi dasar menilai perilaku hidup. Seseorang bisa beradab atau tidak bisa dinilai dari sikapnya terhadap tanaman,” katanya.
Faiz Manshur melanjutkan, bercocok tanam pengertian untuk zaman sekarang tentu tidak melulu urusan pangan, karena kemerosotan budaya juga didapatkan pada situasi di luar urusan pangan. Selain krisis pangan dan kebiasaan impor bahan pangan, Faiz menilai orang Indonesia juga kurang beradab karena mengabaikan krisis lingkungan.
“Perilaku kita masih pemburu pengumpul. Buktinya jarang tanam tapi ingin langsung mendapatkan hasil panen. Masih lekat dengan corak masyarakat barbarian. Akibatnya banyak makanan impor. Kalau urusan tanaman pangan saja tidak cukup, wajar kalau pohon-pohon non penghasil makanan tidak dipedulikan. Penghijauan tidak diminati karena memang nalar kita untuk beradab belum tuntas,” jelasnya.
Atas dasar persoalan ini, Yayasan Odesa Indonesia menggulirkan tradisi bercocok tanam sebagai kegiatan dasar peradaban, selain ternak, literasi dan teknologi.
“Menanam tidak harus memiliki tanah luas. Tanah pekarangan keluarga juga harus hidup. Tanah-tanah pinggir jalan juga jangan sampai kosong. Sejarah peradaban mestinya dilihat dari simbol surga, yaitu air yang mengalir dan kebun yang mencukupi kebutuhan, bukan kisah bongkahan tebok dengan ratapan rakyat,”-Adi/test.odesa.id