Yang Sakit dan Meninggal di Tepi Hutan

Sejak merebaknya wabah corona, kegiatan kukurusukan Pengurus Yayasan Odesa ke pelosok perkampungan pinggir hutan di Bandung Utara dikurangi. Sebagai upaya saling menjaga kesehatan antara orang luar dan warga setempat. Setelah cukup lama tidak naik turun perbukitan, Selasa (10/8/2021) kami menyusuri wilayah Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Sepanjang jalan dengan kombinasi beton, aspal bopeng, berbatu dan tanah lengket, kami disambut ramah baliho-baliho calon kapala desa. Banyak yang ukurannya melebihi baliho calon wakil rakyat. Alat peraga kampanye tersebut harus bertahan lebih lama lagi, sebab waktu pilkades diundur gara-gara pandemi.

Lahan-lahan dengan berbagai kontur, banyak yang sedang bersalin rupa. Para petani bersiap menggarapnya menjelang musim hujan. Setelah melintasi Cikawari tonggoh (sebelah atas), kami melingkar ke pinggir Hutan Penelitian Arcamanik. Menapaki  jalan lebih kecil di antara hutan bambu dan pinus. Tentu di tempat seperti ini mah tidak ada baliho apapun. Hanya terdengar suara tonggeret dan teriakan monyet bersahutan.

Lalu kendaraan menuruni jalur menuju Kampung Pondok Buahbatu, yang berjarak sekitar 9 kilometer dari Jalan Raya AH Nasution (Sukamiskin).  Sengaja ingin menemui Pak Nanang Muhammad Yusuf (58), seorang guru ngaji yang selama ini bermitra dengan Yayasan Odesa Indonesia. Kami belum sempat bertakziyah ketika istrinya, Rita, meninggal dunia pada Kamis (8/7/2021) lalu pada usia 39 tahun.

Nanang adalah guru ngaji dan imam di masjid yang terletak di samping rumahnya. Istrinya, selain mengajar mengaji kaum ibu dan aktif pada kegiatan keagamaan lainnya, juga guru taman kanan-kanak yang digelar secara gratis. Mereka membuka warung di rumahnya dengan jenis barang kelontong dan makanan ringan.  Pasangan ini memiliki dua anak, Zaenal Abidin (16) dan Akbar (3).

“Saya tidak menduga, istri akan pergi mendahului. Sebab saya yang sakit lebih dulu pada akhir Juni. Batuk, tenggorokan sakit, badan lemas, pusing, sementara makanan tidak bisa masuk. Setelah empat hari terbaring, baru ke dokter di Cijambe (Jalan AH Nasution). Diberi obat radang tenggorokan, batuk dan lain-lain. Tapi sampai obat habis, tak kunjung sembuh,” ujar  Nanang dengan wajah sedih.

Ketika sakit Nanang memasuki hari kelima, Rita juga tumbang. Gejalanya sama seperti yang dialami suaminya. Rita lebih para kondisinya, karena sama sekali tidak makan.  Dalam keadaan sakit, Nanang dibantu Zaenal  membawanya ke dokter, namun kondisinya tidak membaik. Bahkan  kemudian muncul sesak napas. Esoknya dibawa lagi ke dokter. Rita sudah sulit berjalan karena lemas dan sesak napasnya. Sempat diuap dan diberi obat. Disarankan juga membeli oksigen

Karena keadaan semakin mengkhawatirkan, pada hari berikutnya Nanang mencari oksigen. Sejumlah tempat didatanginya, tapi stok oksigen kosong. Di sebuah apotik, ada tersisa 1 tabung oksigen yang cukup besar. Tapi hanya bisa dibeli dengan membawa tabung kosong. “Saya tidak punya tabung oksigen. Akhirnya membeli  tabung kecil seharga Rp 70 ribu,” tuturnya.

Dalam waktu tidak terlalu lama, isi tabung itu sudah habis. “Saya tidak kuat lagi, titip saja anak-anak..,” ujar Rita dengan napas tersengal, keringatnya mengucur, Kamis dini hari itu. Nanang yang terus berdoa dan memijitinya, tidak bisa berkata apa-apa. Menjelang subuh, Nanang melihat tangan kiri istrinya meremas seprei seperti menahan sakit, lalu terkulai.  Innalillahi wainna ilaihi rojiun.

Takut diasingkan

Berobat bukanlah perkara mudah bagi penduduk yang bermukim di perbukitan seperti keluarga Nanang. Jarak dari rumah mereka ke tempat pengobatan lumayan jauh. Medan yang ditempuh juga tergolong sulit.  Dengan menggunakan mobil bak terbuka yang biasa dipakai mengangkut sayuran, mereka bolak-balik mendatangi dokter.

Mengapa tidak membawa Rita ke rumah sakit sejak awal? Diakui Nanang, ketika pertama kali dia merasakan sakit yang hebat, tetap tidak mau berobat ke RS. Karena takut jika nanti ternyata positif Covid-19, risikonya harus dirawat di sana atau isolasi mandiri. Warga sekitar khawatir akan mencemooh dan mengasingkannya.

Jawaban seperti itu pula yang dikatakan Rita, ketika Nanang mengajaknya ke RS saat keadaannya kian payah.  Masyarakat masih memandang terpapar corona adalah aib (sesuatu yang memalukan). Apalagi nanti jika meninggal, jenazah tidak bisa diurus warga, dimasukkan peti mati, dan keluarga tidak dapat menghadiri pemakaman.

Ternyata yang menderita sakit serupa bukan hanya mereka. Banyak tetangga Nanang mengalami hal yang sama. Namun enggan memeriksakan diri secara khusus dan memilih berobat biasa atau membiarkannya. Keadaan itu pula yang menyebabkan saat Nanang dan istri sakit sedemikian rupa, tidak ada yang menjenguk atau membantunya untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan.

Dalam waktu sebulan, kata Nanang, ada sekitar delapan warga yang meninggal dunia di lingkungannya. Jumlah yang sakit dan meninggal seperti itu, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Tetapi hingga kini belum diketahui secara pasti apa penyakit yang diderita warga. Di tetangga kampungnya, kurang lebih sama kondisinya.

“Di Kampung Tareptep ada lima orang meninggal dalam sebulan ini,” kata Toha Odik (40), seorang petani. Seperti juga Nanang, dia tidak tahu secara jelas apa penyakit yang menyerang warga. Karena  tidak mau memeriksakan dirinya secara khusus. Mereka seperti dihantui ketakutan yang sama.

Toha yakin, jika dilakukan pendataan secara serius, akan muncul data mendekati sebenarnya tentang warga yang menderita sakit. Seharusnya, apa yang terjadi sekarang ini, tidak hanya ditangani di kawasan perkotaan. Tapi juga menyeluruh ke polosok-pelosok. “Jangan dikira di kampung-kampung tidak ada masalah dalam hal penyakit,” kata Toha. (Enton Supriyatna Sind)*

Keranjang Belanja