Oleh BUDHIANA KARTAWIJAYA.
Ketua Pembina Odesa Indonesia
IG Budhiana Kartawijaya
IG Odesa Indonesia
Cara Bahagia Berbeda-Beda
Saya sering bertemu seorang pedagang kue basah yang selalu tampak bahagia. Namanya Salawi. Biasanya bertemu di tempat cucian mobil, bengkel mobil atau kalau sedang belanja di Supermarket di Kawasan Batununggal Bandung. Umur Salawi 55 tahun, asal Kalipucang Pangandaran yang melakoni profesinya selama 30 tahun..
Kawasan Batununggal Kota Bandung termasuk daerah “yang hidup”; aktivitas orang cukup banyak. Penduduk memiliki ragam pekerjaan dari lapisan bawah hingga atas. Selain supermarket dan bengkel cuci, ada juga sekolah, lapangan olahraga, bank, laundry, outlet pengiriman paket, dan lain-lain. Pokoknya di mana ada kerumunan, di situ Salawi menjajakan dagangannya.
Rabu kemarin saya mencuci mobil. Saya tinggalkan mobil dan jalan kaki mengelilingi lapangan. Dari jauh saya melihat Salawi dengan dagangannya sedang mendekati antrean di apotik. Selesai olahraga, saya kembali ke tampat cuci mobil. Ternyata kerja cuci mobil belum selesai. Saat asyik menyeruput kopi, Salawi datang.
“Tadi ti katebihan abdi ningal bapak jogging,” katanya sambil “bersimpuh” membuka dagangannya. (Tadi dari jauh saya lihat bapak jogging).
“Untung teu telat, lima menit deui mobil rengsè dipigawè,” kata saya. (Untung tidak telat, lima menit lagi mobil beres).
“Moal pak, moal telat. Tos diperhètangkeun. Biasana pan bapak mah tara langkung ti dua kuriling,” jawabnya rada nyinyir. (Nggak pak, nggak akan telat. Sudah diperhitungkan. Biasanya kan bapak mah tak pernah lebih dari dua keliling).
Ha..haa…kurang asyem. Dia tak tahu bahwa saya bisa lebih dari dua keliling (tapi habis itu libur jogging dua hari hiks…)
Dia itu seperti punya mata elang. Saya kira dia tak melihat saya karena kesibukannya menawarkan kue ke orang banyak di seberang. Tapi ya…itu adalah data base.
Data base pelanggan itu tidak cuma ada di perusahaan-perusahaan besar seperti bank-bank, tapi juga ada di benak setiap pelaku usaha kecil. Dia tahu kebiasaan para pelanggannya.
Bedanya, kalau perusahaan besar data base-nya terawat dan tersimpan di hardisk kepasitas terabyte, dan bisa dipanggil. Kalau data base di benak pada akhirnya tersimpan di hardsik yang namanya kuburan, dan tak bisa dipanggil. Jadi kalau pengusaha kecil itu mati, ya datanya habis. Kecuali kalau dia transfer kepada anaknya.
Nah…tukang sayur yang selalu keliling ke RW saya, kemarin bawa-bawa anaknya. Terus diperkenalkan kepada ibu-ibu kompleks. Itu dalam rangka transfer data.
“Naha unggal saya kadieu, mamang nawaran waè?” (Kenapa tiap saya ke sini, mamang selalu menawarkan ke saya?)
“Hehe…bapak mah tara nawis!” (Hahaa…bapak nggak pernah nawar!)
Dulu memang saya suka nawar. Karena kalau bisa menurunkan harga, ada rasa bangga bisa “menaklukkan” pedagang. Tapi dipikir-pikir, tidak fair juga ya. Kok ke supermarket kita tidak pernah nawar. Ke pedagang kecil menekan harga.
Ya sudahlah, yang penting harganya logis, tak usah nawar. Bikin orang happy kan bisa membuat imun kita naik juga ya… bar virus menjauh.
“Ti mana we nyandak kueh-na?” (Dari mana saja mengambil kue-nya)
Rupi-rupi pak. Aya ti Nyonya Rumah, aya ti sèntra kueh nu di Buahbatu.
Rupa-rupa pak. Ada yang dari Nyonya Rumah, ada yang dari sentra kue Buahbatu.
“Terus kumaha mun teu laku sadayana?”(Terus bagaimana kalau tidak laku semua?)
“Ah henteu pak…tos diperhètangkeun. Pasti pajeng sadayana. Pan ayeuna mah abdi gaduh hènpon, janten nu ngagaleuh gè tiasa kontak abdi ngalangkungan hènpon,!”
Istilah “tos diperherhètangkeun” bagi saya cukup menarik. Lagi-lagi secara intuitif dia memanfaatkan data base di benaknya.
“Ti iraha dagang kuèh mang?” tanya saya. (“Dari kapan jualan kue mang?)”
“Tos tilu puluh lima taun!”(Sudah tiga puluh lima tahun!)
“Tilu puluh lima tahun!?” spontan saya kaget.
Cara Pandang Lain Soal Bahagia
Dalam hati saya menggerutu. Bodoh benar orang ini. Tiga puluh lima tahun begitu-begitu saja. Mestinya dia sudah punya toko kue, bahkan pabrik kue. Tentu dia tidak repot, dan jauh lebih berbahagia.
“Atuh kedah na mah mang Salawi tos gaduh warung, toko atawa pabrik kueh!” Kali ini saya balik nyinyir. (Atuh seharusnya mang Salawi sudah punya warung, toko, atau pabrik kue).
“Waaahh…alim pak ah. Rèpot ah. Abdi mah resep kieu. Upami cicing ngawarung atanapi noko, moal tiasa ngobrol sareng nu sanes. Sieun gering nangtung. Wios kieu ge tos cekap, asal sehat!”
(Waaah…nggak mau pak ah. Repot ah. Saya mah senang begini. Kalau diam saja ngewarung atau bertoko, tak akan bisa ngobrol dengan yang lain. Takut mati berdiri. Biarlah begini juga sudah cukup. Yang penting sehat!”)
Kalau dalam tinju, omongan terakhir Salawi ini seperti pukulan upper cut ke dagu saya yang bikin KO.
Saya tertegun sebentar. Tapi kemudian saya tersadar: ukuran kebahagiaan itu berbeda. Utilitarianisme membedakan kebahagiaan dengan istilah kebahagiaan objektif dan subjektif. Kebahagian objektif adalah kebahagiaan menurut ukuran umum. Dulu kebahagiaan diukur cuma dari pendekatan ekonomi, dengan pendapatan pertahun (percapita income), produk domestik bruto (GDP), atau produk domestic nasional (GNP). Karena kebahagiaan itu terlalu penting untuk hanya diserahkan pada ilmu ekonomi, maka Mahbub ul-Haq, ekonom Bangladesh dibantu Amartya Sen, saat menjadi Direktur Eksekutif UNDP, mengubahnya menjadi ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Ya tapi itu masih dalam kerangka kebahagiaan objektif utilitarianisme. Mulai 2012, ukurannya berubah menjadi indeks kebahagiaan. Indeks kebahagiaan itu adalah survei sederhana. Tinggal tanya rakyat, kalau diberi angka 0 sampai 10, kira-kira kebahagiaan anda ada di level mana? Tak usah tanya pendapatan, atau punya mobil berapa.
Tiap orang punya ukuran kebahagiaan sendiri. Ini namanya kebahagiaan subjektif. Seseorang di daerah terpencil yang masih kaya dengan pantai jernih dan ikan banyak mungkin tak punya harta banyak, income per-kapitanya rendah. Tapi dia bisa saja paling bahagia. Karena bisa makan tiap hari, setelah itu bernyanyi gembira.
Salawi tampaknya termasuk orang-orang seperti ini. Kabahagiaannya terletak pada senangnya dia bertemu dengan orang-orang (pelanggannya), ngobrol dengan orang Nyonya Rumah atau sentra-sentra kue.
Bagaimana negara menyikapi sikap semacam Salawi? Apakah negara harus mengintervensi mereka dengan kebijakan peningkatan ekonomi dan memaksa mereka untuk naik kelas kewirausahaannya?
Saya kira jangan. Biarkan rakyat mendefinisikan kebahagiaannya sendiri. Biarkan mereka panjang umur dengan kebahagiaannya. Biarkan tiap kelompok etnis mendefiniskan kebahagiaannya. Biarkan orang Baduy mendefinisikan dirinya sendiri. Lalu apa pentingnya negara eksis? Tugas negara adalah menjamin hak-hak dasar mereka. Pendidikan dan kesehatan harus gratis dan memudahkan, bukan gratis yang menyiksa karena urusan prosedur misalnya. Harga dan stok pangan terjamin. Kebijakan keuangan harus inklusif, dan keamanan terjamin.
Dengan demikian, negara membuka semua pilihan. Bila Salawi ingin tetap di domain kebahagiaan dia, ya biarkan. Tapi kalau anaknya sekolah tinggi, pilihan terbuka. Kalau Salawi dan keluarganya sakit, bisa berobat dengan gratis dan tidak tersiksa oleh pelayanan yang buruk. Negara melindungi pilihan kebahagiaan tiap orang.[]
Komentar ditutup.