Basuki Suhardiman dalam Presentasi Produksi Pertanian pada Acara Malam Tahun Baru: “Masa Depan Jawa Barat: Antara Modernisasi dan Keterbelakangan,” Minggu 31 Desember 2017 di Pasir Impun Cimenyan, Kab.Bandung, menyatakan, saat ini yang terpenting dari kalangan berpendidikan adalah turun ke lapangan secara langsung mendampingi keluarga petani.
Kata “keluarga” dipilih bukan tanpa alasan. Sebab menurut Ahli Teknologi Infomatika Institut Teknologi Bandung yang aktif bergiat mengurus puluhan keluarga petani di Cimenyan dan Cilengkrang ini, ada problem mendasar dalam memahami perbedaan status peasant Vs farmer. Orang Indonesia termasuk pemerintah belum punya rumusan yang jelas apakah petani kita masuk golongan peasant atau farmer. Peasant itu petani kecil dengan basis keluarga atau sekadar petani ladang dengan lahan terbatas, sedangkan farmer lebih luas dan modern. Keadaan Indonesia sekarang ini menurut Basuki masih dalam kondisi zaman pra pertanian, setara dengan eropa 500 tahun lalu.
Ada satu cerita pada zaman Stalin di Rusia. Seorang penulis namanya Alexander Chayanov yang dikejar-kejar Tentara Stalin karena sering mengkritik kebijakan Stalin dalam pertanian. Singkat cerita Chayanov ini mengembangkan pendekatan pertanian berbasis peasant karena keadaan petani Rusia masih tradisional dan tidak memiliki teknologi mutakhir waktu itu. Pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia juga telah disebutkan bahwa perekonomian dibangun atas dasar kekeluargaan, tapi kita tidak punya rumusan yang jelas model pertanian keluarga. Yang ada adalah sistem modern sementara keadaan untuk langsung berorientasi farming.
Lalu apa yang Odesa Indonesia lakukan?
Basuki menjawab “gerakan transformasi dari peasant menuju farmer. Dalam pandangan Basuki pendidikan untuk keluarga petani ini tidak bisa mengandalkan pemerintah karena fakta puluhan tahun pemerintah juga tidak bisa melakukan hal tersebut. Bahkan sejak awal negara Indonesia berdiri belum pernah ada pembicaraan model mengurus sistem pertanian peasant. Karena negara tidak pernah terbukti mampu mengurus masalah ini, lebih baik kalangan berpendidikan yang turun langsung dan perlahan-lahan melakukan perbaikan.
Odesa melakukan tindakan-tindakan dengan contoh konkret melalui pendampingan terus-menerus, pendidikan, latihan membaca, menulis, mencatat, mengurangi biaya pengeluaran, meningkatkan intensifikasi pertanian agar tidak impor, memberikan modal dan seterusnya.
Tindakan konkret
Basuki memberikan contoh terkait dengan yang dilakukan oleh Odesa Indonesia. Tahun 2016 lalu kita melakukan pembibitan kopi, dan sekarang berkembang pada bibit-bibit lain seperti kelor, kedelai,bunga matahari dll. Memajukan pertanian dengan pembibitan saja menurutnya sudah begitu banyak menyita waktu dan bisa menghidupkan pertanian kita. Banyak temuan dari odesa Indonesia tentang minimnya bibit. Dengan kata lain bisnis bibit saja sudah cukup untuk memajukan keluarga petani.
“Misalnya saja, kota Bandung itu butuh banyak sekali tanaman, harusnya sentra bibitnya dari Cimenyan karena jaraknya sangat dekat. Transportasi hanya butuh waktu sekitar 15-45 menit. Tapi kenyataannya bibit tananam obat dan tanaman hias ambilnya dari luar Kabupaten Bandung,” ungkapnya.
Sebagai inspirasi kemandirian pertanian, Basuki juga menceritakan tentang pertanian Ciptagelar. Menurutnya, pertanian di Ciptagelar merupakan model yang baik untuk dijadikan inspirasi pergerakan. Di Ciptagelar terdapat 29 ribu jiwa. Panen padi hanya setahun sekali. Tapi cadangan berasnya cukup 3 tahun. Cimenyan ada sekitar 115 ribu penduduk. Kalau Cimenyan mampu tanam 3 kali urusan pangan selesai. Di Ciptagelar itu yang ditanam padi gogo. Dan Cimenyan paling cocok juga untuk padi gogo.
Terkait dengan masalah pangan pokok yaitu beras ini, Basuki mengingatkan kepada peserta tentang sejarah. Menurutnya, menanam padi dengan konsep terendam di sawah itu zaman Sultan Agung tahun 1630, dan Sultan Agung itu yang pertamakali membuat konsep pertanian itu. “Kalau seperti Cimenyan ini mesti kita lihat konteks pada lahannnya, lebih cocok padi gogo atau padi huma,” katanya.
Ciptagelar menurut Basuki, sekalipun desa adat dan masih tradisional, open modernisasi. Mereka membangun micro hidro dari sungai untuk mencukupi kebutuhan listrik. Juga membangun televisi sendiri untuk mensosialisasikan program pertanian.
Cimenyan memang menjadi fokus gerakan Odesa Indonesia. Tetapi menurut Basuki keadaan Cimenyan ini merupakan cermin keadaan petani Indonesia yang masih teringgal. Problem Indonesia yang mendasar adalah kemampuan produksi pertanian. Ilmu tani tidak berkembang, sehingga pembibitan pun para petani sangat tertinggal. Negara tidak pernah mengurus hal itu sampai-sampai sekadar bibit jagung pun harus impor. Namun menurut Basuki saat terjun ke lapangan, urusannya tidak akan cukup hanya ilmu tani, melainkan juga membutuhkan pendampingan dalam ilmu pengetahuan lain seperti mengajarkan pengaturan konsumsi agar petani tidak hidup boros atau konsumerisme, mau melihat pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai hal yang penting, dan bisa mengembangkan kemampuan lokal agar tidak tergantung pada produk dari luar.
Karena yang dilakukan Odesa Indonesia adalah produksi, maka tanah para petani harus dipertahankan. Pesan penting yang terus didengung-dengungkan kepada petani adalah jangan sekali-kali menjual tanah dan air. Itu amanat undang-undang. Mempertahankan tanah tentu tidak sekadar berpesan dengan larangan, namun harus disertai usaha memasukkan pendidikan dan modal kepada petani. Dan pendidikan ini sangat mendasar karena Indonesia tidak maju dalam produksi pangan atau pertanian karena penyebabnya jelas; pengetahuan yang tidak merata di semua lapisan masyarakat. Bahkan petani pun masih bekerja zaman Damarwulan dengan ngarit.
Belajar dari negeri lain
“Tadi Pak Hawe Setiawan menyinggung Kuba. Itu menarik. Saya ingin menyampaikan tentang Kuba dalam wacana kemandirian pangan ini,” ujar Basuki.
Menurutnya, sekalipun Kuba diembargo puluhan tahun oleh Amerika Serikat tapi pada akhirnya Amerika pusing sendiri. Justru karena Kuba terisolasi selama 50 tahun menjadikan negara kecil itu kreatif. Satu hal yang patut dipetik dari pelajaran sejarah itu karena di Kuba para petaninya mendapatkan pendidikan produksi secara merata hingga ke desa-desa. Ada contoh misalnya, konsep square foot garden di mana setiap pekarangan di Kuba menjadi lahan pangan dan dengan itu terbukti mereka bisa survive. Odesa-Indonesia di Cimenyan juga bergerak dalam hal ini dengan menghidupkan Tani Pekarangan dengan merintis Tani Pekarangan Cimenyan (TAPECI) dengan basis produksi kreatifnya Tanaman Obat Cimenyan (TAOCI).
Menghidupkan Tani Pekarangan tentu saja bukan dalam rangka mengindari blockade, melainkan sebagai antisipasi problem lain misalnya saat Tunisia kekurangan gandum. Sebab, tanpa blockade pun bisa jadi seperti Tunisia itu kekacauan terjadi gara-gara impor dikurangi. “Makanya saya bilang Indonesia ini masa depannya hanya pada pertanian. Kita perlu belajar dari keberhasilan Amerika Serikat juga.”
Pada tahun 1930 di Amerika satu keluarga bisa menghidupi 3-4 orang. Tapi sekarang Amerika sudah berhasil membuktikan kemajuan satu petani bisa menghidupi 150 orang. Untuk sementara target Odesa Indonesia dalam kegiatan pendampingan ini minimal petani punya kemampuan menghidupi keluarga mereka sendiri dulu, baru nanti dikembangkan.
Israel punya prinsip berpikir, “kami seolah-olah membuat pertanian seperti negara tropis”. Maksudnya ya seperti pertanian dalam alam tropis ala Indonesia yang bisa panen beberapakali dalam satu tahun. Tapi Indonesia yang punya alam tropis nyatanya tidak bisa menghasilkan panen yang baik. Padahal Israel yang alamnya padang pasir seperti itu bisa jauh lebih baik dari Indonesia. Pelajaran penting dari Israel adalah kemampuan menyediakan air yang stabil, jangan sampai kurang jangan sampai banjir. Selain irigrasi pertanian yang baik, Israel juga mengembangkan model mikro pertanian dengan irigrasi tetes.
“Oke kalau kita belum bisa berpikir sampai semaju Israel, cukuplah pakai model-model sederhana seperti penampungan air sederhana, embung kecil dan pengairan yang merata di setiap lokal pertanian,” jelas Basuki.
Untuk mewujudkan hal tersebut lagi-lagi Basuki menekankan pentingnya orang berpendidikan bersedia mendidik keluarga petani. Dari beberapa keluarga yang tertidik untuk nanti barulah dimajukan lebih massif. Petani menurut Basuki lebih membutuhkan contoh-contoh kecil, dan itu dibutuhkan pendamping yang rajin datang ke petani, bukan lagi setiap bulan, melainkan setiap minggu harus turun mengontrol. Karena model pendidikan yang semacam itu pula yang membuat Basuki dan kawan-kawannya di Odesa memilih Cimenyan dengan alasan tempatnya dekat. “Kalau yang dekat saja tidak mampu kita urus, mana mungkin kita mampu mengurus yang jauh. Logika ini juga berlaku untuk tanah kecil. Kalau tanah sepetak saja tidak mampu diurus, mana mungkin petani bisa mengurus lahan luas,” katanya.
Basuki dan teman-teman Odesa Indonesia memilih fokus pada Kawasan Bandung Utara dengan landasan berpikir makro bahwa hampir semua masalah pertanian di Indonesia tidak jauh berbeda. Sementara dengan memilih di Kawasan Bandung Utara supaya tindakan pendampingan yang dilakukan bisa mudah dijalankan dengan sistem kontrol secara langsung.
“Saya bisa mudah mengontrol karena bisa dalam seminggu 3-4 kali menemui lokasi pendampingan,” terangnya.-Mudris/test.odesa.id
Komentar ditutup.