Strategi Mengelola Perpustakaan Desa ala Odesa Indonesia.
Bedakan Perpustakaan dengan Gudang Buku.
Mengapa banyak perpustakaan lebih mirip gudang buku? Mengapa suasana perpustakaan lebih terasa kuburan sunyi? Mengapa perpustakaan yang dikelola Odesa Indonesia bisa benar-benar ideal?
Sepinya perpustakaan tentu bukan karena soal bahwa sekarang adalah era digital. Kita tahu, sebelum era internet, kebanyakan perpustakaan juga tidak diminati masyarakat. Ada juga perpustakaan yang ramai, tetapi kegunaannya sebatas melayani kepentingan pragmatis tugas belajar siswa.
Sangat jarang kita melihat fungsi perpustakaan yang ideal, yakni sebagai sarana gerakan pencerahan karena keaktifannya dalam mengubah kebiasaan masyarakat dari anti buku menjadi pro-buku.
Saatnya kita belajar dari pengelolaan perpustakaan di Yayasan Odesa Indonesia di Cikadut Bandung. Perpustakaan yang dikelola oleh para relawan Odesa Indonesia ini terbukti berdampak besar bagi masyarakat, apalagi di sana masyarakatnya tergolong lemah dalam pendididikan.
Lebih penting dari sekadar tahu manfaat perpustakaan, perpustakaan Odesa juga memberikan rumus-rumus dasar bagi kita yang ingin mengelola perpustakaan sebagai alat pencerahan warna desa.
Lihat Video Perpustakaan Keliling Odesa Indonesia
Di Balik Strategi Pengelolaan Perpustakaan Odesa
Sebelum kita menggali pelajaran dari pengelolaan perpustakaan Odesa Indonesia, ada pentingnya kita mengukur nilai-nilai ideal dari perpustakaan. Ketua Odesa Indonesia, Faiz Manshur mengatakan bahwa idealnya sebuah perpustakaan adalah untuk menyebarkan gagasan yang mencerahkan masyarakat. Bacaan, utamanya buku adalah sumber primer yang harus ada.
Ia adalah materi yang di dalamnya memuat dua nilai spiritual, yaitu kecerdasan dan kebijaksanaan. Dengan adanya materi seperti buku berikut sarana-nya modal untuk penyebaran gagasan kebaikan akan bisa terpenuhi.
Karena itu modal material dari bacaan harus diadakan sedapat mungkin benar-benar relevan bagi pembaca. Jika buku tidak relevan, alias tidak nyambung dengan masyarakat, niscaya tidak akan menarik perhatian. Prinsip ini menurut Faiz sejalan dengan pola pendidikan hadap masalah yang ditegakkan oleh Odesa.
Untuk sebuah pencapaian penyebaran gagasan kebaikan itu, Faiz Manshur mengatakan, perpustakaan harus dijalankan dengan menegakkan praktik literasi yang sejati, bukan sekadar dijadikan tempat penyimpanan buku.
Donasi Gerakan Literasi Sekolah Samin Odesa ada di sini.
Apa itu hakikat literasi? Kata Faiz, adalah “memahami yang dibaca, “mengamalkan yang dipahami, dan menuliskan apa yang diamalkan.” Dengan rumus ini, maka sebuah perpustakaan adalah mesin produksi perubahan sosial yang didalamnya butuh pelaku-pelaku aktif yang menjalankannya.
Setelah kita mengenal prinsip ideal perpustakaan yang ideal dari sisi visi dan misi di atas, maka selanjutnya yang harus dilakukan adalah usaha memproses kebiasaan baru di masyarakat.
Faiz mengatakan, jangan sampai pengelola perpustakaan gerundelan berkata sepinya perpusatkaan karena masyarakat tidak suka baca. Jika pengelola perpustakaan masih memiliki pemikiran seperti ini maka sesungguhnya ia tidak tahu tujuan untuk apa itu perpustakaan. Menurut Faiz, tidak suka baca adalah problem, maka pengondisian menjadi suka adalah strategi.
“Seorang pengelola perpustakaan mesti berpikir lebih pada problem transformatif, yakni mencari solusi untuk mengondisikan warga yang tidak kenal buku bacaan menjadi kenal, kemudian menyukainya dan kemudian membiasakan untuk tertarik,” terang Faiz.
Inilah yang dibuktikan oleh Yayasan Odesa Indonesia yang pada tahun 2024 ini memiliki lebih 300 anak desa yang gemar meminjam buku, setiap anak minimal meminjaml “satu minggu satu buku.”
Strategi Odesa dalam Membangun Kesadaran Membaca
Apa yang dialami oleh Odesa Indonesia yang berada di tengah masyarakat desa terbelakang dalam pendidikan mungkin serupa dialami kita semua. Tetapi, mengapa banyak anak-anak desa di bawah gerakan literasi Sekolah Sabtu-Minggu (Samin) berhasil membuktikan anak-anak desa itu menjadi peminat bacaan?
Syifa R. Salsabila, seorang fasilitator Sekolah Samin Odesa mengatakan, karena ia dengan belasan teman-temannya sering mengajar setiap hari minggu. Para program pendampingan peningkatan kemampuan baca dan menulis itulah ia meminjamkan buku kepada anak.
“Perpustakaan di Odesa itu berguna bukan karena adanya rak buku yang mewah atau ruangan yang asyik. Bukan. Buku terpinjam karena kita bawakan ke desa-desa. Ada 12 kampung diperbukitan yang setiap hari minggu kita dampingi dan dari situlah minat baca meningkat,” kata Syifa yang saat ini masih kuliah di Universitas Islam Nusantara Bandung.
Menurut Syifa, kalau menunggu anak petani membaca dengan menyuruh datang ke perpustakaan itu mustahil terwujud. Buku bacaan seperti novel, cerpen dan lain sebagainya adalah asing bagi mereka. Apalagi anak-anak ini juga memiliki problem karena belum memiliki kelancaraan membaca.
Bagi banyak anak yang masih susah membaca, kegiatan membaca itu menyiksa. Karena alasan itu, Syifa dan teman-temannya menjadikan bacaan terutama yang isinya menyenangkan sebagai bekal anak memasuki kebiasaan. Dari situ lah buku-buku juga mempengaruhi kecepatan anak dalam membaca.
“Melalui usaha memecahkan masalah dalam kebiasaan membaca ini saya jadi tahu bagaimana prosesnya. Ini berguna untuk saya sendiri karena ternyata setiap kebiasaan yang baik itu bisa dilakukan dengan proses dan proses terbaiknya adalah praktik coba-coba,” kata Syifa.
Karena urusan membaca juga berkaitan dengan rasa suka, maka yang penting harus dilakukan adalah menggerakkan secara massif semua anak. Dengan ramai-ramai untuk membaca bersama anak-anak akan terkondisikan untuk menyukai.
“Mungkin terjadi perbedaan kesukaan dalam tema buku, tetapi itu tidak masalah, yang terpenting semuanya gemar membaca,” terang Syifa.
Mari Berdonasi Buku dan Alat Peraga Belajar Anak Desa Tertinggal
Adanya Buku dan Adanya Fasilitator
Prinsip yang ditegakkan dalam pengelolaan perpustakaan di Odesa Indonesia adalah mengadakan buku yang tak terpisah dari pengadaan fasilitator. Hal tersebut dikatakan oleh Nina Danny Natawidjaja, seorang pengurus Odesa Indonesia.
Menurutnya, perpustakaan Odesa bisa berperan optimal sebagai usaha meningkatkan kebiasaan membaca secara massif dan meluas baik pada anak maupun pada orang tua karena berpijak pada rumus adanya barang bisa berguna karena adanya manusia yang menggunakan.
“Buku semenarik apapun kalau tidak ada yang menceritakan isinya tidak akan jadi menarik. Itu serupa dengan marketing. Barang bisa menarik dan orang bisa kembali membeli karena adanya promosi. Di sini fasilitator adalah promotor bacaan, karena itu setiap relawan harus juga membaca. Lucu kalau kita mengatakan makanan itu enak tetapi kita sendiri tidak merasakan langsung,” kata istri dari geolog Prof.Dr. Danny Hilman Natawidjaja itu.
Menurut Nina, banyaknya buku yang di Odesa bukan ukuran bagusnya sebuah perpustakaan. Yang justru harus diperhatikan ialah relevansi dari bacaan tersebut untuk anak-anak desa meliputi usia dan kemampuan serta interestnya. Seleksi bacaan juga menjadi bagian penting yang harus dilakukan oleh para relawan.
“Kita mendapatkan buku dari para dermawan dan dari situ adik-adik mahasiwa menyeleksi, mengatur, merawat dan kemudian menyampaikan kepada anak-anak. Ada juga bacaan pertanian yang diminati oleh orangtua,” jelas NIna. [Aji W. Kusumo)
Tulisan Yuliani Liputo Perpustakaan Desa untuk Mengatasi Rendahnya Literasi Petani