Puisi Berkualitas dari Asep Salahudin

Faiz Manshur

Oleh Faiz Manshur

Ketua Yayasan Odesa Indonesia

Sebelum menulis esai ini, saya membuka bingkisan berupa sebuah buku dari sahabat Asep Salahudin. Judulnya “Di Seberang Damar”. Berisi himpunan puisi. Saya terpukau karena tema-tema puisi dalam buku ini, selain isinya sangat hebat juga relevan dengan kenyataan Indonesia yang penuh kecamuk huru-hara politik sekaligus penuh dengan tragedi dari ragam bencana. Ada kegaduhan politik yang tak karuan. Ada situasi media sosial yang keruh lantaran saling menyerang. Ada hujan yang terus mengguyur -semestinya menjadi anugerah- justru jadi malapetaka.

Asep Salahudin. Ia seorang pemuka agama dari Nahdlatul Ulama. Sekarang ia menjadi Rektor di Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya Tasikmalaya. Kampusnya berada di lereng Gunung Galungggung. Di sana ia mengabdi untuk rakyat jelata. Anak-anak muslim dari keluarga petani dilayaninya melalui sekolah yang ia kelola dengan banyak keterbatasan.

Sekalipun demikian ia bukan semata seorang “pegawai kampus yang pikirannya minimalis”. Asep Salahudin yang saya kenal adalah pribadi cendekia yang memiliki kesetiaan pada martabat hidup. Ia berjuang dengan mengusung gagasan dan praktik sosial secara nyata tanpa kenal keluh-kesah dalam urusan “pendapatan”. Ia rajin menulis tema-tema keagamaan, kemanusiaan, sosial, politik, budaya dan belakangan memproduksi karya sastra yang puisinya. Dan buku ini menurut saya sangat penting untuk diapresiasi sebagai penghargaan dari saya atas keluhuran niat sekaligus hasil (kualitas karya) dari sang penulisnya.

Baca juga: Pengertian Empati dan Manfaatnya Bagi Manusia

Saya bisa menjelaskan argumentasi bahwa buku ini sangat penting dibaca oleh kita semua.

Pertama, cakupan tema-tema sajaknya mengarah pada kritik sosial. Asep Salahudin banyak merenungkan situasi politik dan kemasyarakatan yang timpang. Kemiskinan dan kerusakan alam yang begitu akut direkam sedemikian baik dengan cara pandang yang kritis. Selain itu Asep Salahudin juga menawarkan pendekatan baru dalam memandang setiap realita.

Membaca sekian sajak-sajak pada buku ini saya lantas bertanya; “apakah ini sebuah esai pendek atau tetap sebuah puisi?”

Ya, ini bukan esai. Bukan pula puisi-esai. Melainkan esai yang terpuisikan. Kata esai menandakan sebuah nilai. Di antara nilai-nilai esai yang luhur mencakup tulisan dengan keilmuan yang mendalam, ketajaman analisis, kejujuran intelektual, dan keterlibatan pembaca. Dan puluhan puisi karya Asep Salahudin ini sungguh memiliki nilai-nilai yang luhur tersebut.

Kedua, buku puisi ini memiliki bobot dari sisi sastra. Jika boleh diibaratkan, puisi-puisi Asep Salahudin merupakan pisau yang fungsinya selevel golok. Sebetulnya saya agak kaget dengan kemampuan Asep Salahudin dalam menulis puisi karena saya mengenalnya ia penulis esai dan opini. Namun buku ini membuktikan kalau dirinya memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mendalami kesusatraan dan mengamalkan dalam wujud kreasi puisi yang harus juga dilihat kehebatannya dalam membentuk ciri khas meliputi diksi, tipografi, majaz dan kata-konkret.

Ketiga, cara pandangnya bukan sebatas rasional sehingga hanya menghasilkan kesimpulan logis terhadap fakta. Jauh dari itu, pengetahuannya mendalam tentang esensi-esensi dari setiap objek. Rupanya ia seorang yang kecanduan tentang ilmu hakikat sehingga objek-objek yang selama ini kita pandang sebagai sesuatu yang mati menjadi hidup di tangan Asep Salahudin.

Buku ini sangat penting. Bukan semata estetika dalam susastra, melainkan karena di dalamnya memuat nilai-nilai edukasi untuk melihat kenyataan hidup di Indonesia yang sedang mengelupas.

“Kita lewati bukit yang dahulu hijau/di antara cadas dan bongkahan bebatuan/berjalan menuju sekolah kusam/dan tembok berlumut yang terkelupas.” []

Baca juga: Memajukan Desa dengan Pendidikan Politik dan Kepemimpinan

 

Keranjang Belanja