Memajukan Desa dengan Pendidikan Politik dan Kepemimpinan

Memajukan Desa dengan Pendidikan Politik dan Kepemimpinan

Oleh FAIZ MANSHUR
Ketua Odesa Indonesia

Bagaimana memajukan desa? Pertanyaan ini penting dijawab karena dua alasan. Pertama sejak lama Indonesia mengindap problem yang akut dalam hal keadilan pembangunan. Desa tidak mendapatkan prioritas.

Memajukan Desa
Memajukan Desa

Kedua, sejak adanya UU Desa tahun 2014 banyak pembangunan yang sifatnya masih asal menyalurkan anggaran, bukan menjawab masalah mendasar.

Sadar akan “kemajuan” mesti paham tentang “keterbelakangan.” Kemajuan yang tak berpijak pada “objektivitas keterbelakangan” seperti yang berlangsung selama ini menyebabkan banyak program pembangunan tak berkorelasi dengan masalah penting Indonesia yakni;

1) kesulitan mengentaskan kemiskinan, 2) kesulitan memajukan pendidikan, 3) susahnya mengatasi sanitasi buruk, dan 4) kesulitan mengatasi gizi buruk.

Mental Politisi

Akar masalahnya adalah, masih banyak kepala daerah terutama Kepala Desa, Bupati dan Gubernur yang berpolitik secara asal-asalan dan bekerja tanpa tujuan yang jelas.

Kebanyakan masih sebatas menjalankan kerja sebagai rutinitas, hanya menjadi hamba dari anggaran.

Banyak pembangunan yang mestinya diprioritaskan tetapi (karena alasan cekak anggaran) lantas diabaikan karena yang dimaksud prioritas adalah mengalokasikan anggaran berhenti pada kotak-kotak birokrasi yang baku.

Celakanya, birokrasi kita adalah pemangsa anggaran yang buas karena terdapat fakta borosnya biaya yang dikeluarkan itu sebatas memenuhi pembayaran kerja tanpa ada tuntutan pembuktian atas hasil.

Di sini birokrasi dan politisi lebih mendapatkan prioritas “keuntungan”. Sementara rakyat yang terbelakang terus dirundung kerugian. Dan inilah akar ketidakadilan sosial di Indonesia.

Sebut saja persoalan kurang gizi (di dalamnya memuat problem stunting) sampai saat ini tidak menemukan solusi yang jitu. Juga problem sanitasi rumah tangga tidak menjadi persoalan utama bagi pemerintah daerah.

Apalagi urusan pendidikan, pemerintah sejauh ini tidak kreatif dalam membuat solusi secara cepat.

Demokrasi kita telah memasuki usia seperempat abad. Kebebasan berpolitik dan kebebasan ber-otonomi daerah belum dijadikan langkah inovatif untuk menciptakan peluang-peluang baru dalam meraih prestasi gemilang.

Apa yang terjadi pada keadaan itu? Politik turun derajat. Martabat politisi anjlog. Inilah yang disebut hilangnya kepemimpinan.

Politik di ruang demokrasi yang membutuhkan aktor demos (manusia unggul), ternyata diisi oleh aktor oikos (pejuang rumah tangga).

Jiwa-jiwa kepemimpinan lemah karena aktualisasi kerja politiknya bersifat parasit; bergantung (bahkan dikendalikan) unsur material (finansial).

Pendidikan politik

Memajukan Desa
Memajukan Desa

Ada kenyataan mayoritas politisi kita melakoni hidup dalam dunia politik tanpa ilmu pengetahuan yang memadai. Hal itu bisa dibuktikan terdapat banyak hasil dari pembangunan yang berujung hasil irasional.

Misalnya dari sudut pandang efisiensi pembiayaan, antara yang dikeluarkan dengan yang dihasilkan kesimpulannya tidak laras. Boros dan mubazir merupakan dua kata kunci menjelaskan lemahnya kualitas demokrasi kita.

Kita butuh perubahan. Dan perubahan atas irasionalitas itu selalu membutuhkan “pendidikan”. Tak cukup kiranya kita hanya menyerukan “mari berpolitik, ayo ambil kekuasaan dengan alasan orang baik mesti mengambil peran dalam kekuasaan”.

Sebab pada kenyataannya, orang baik (sebatas dalam kategori moral) seringkali plonga-plongo saat menahkodai kekuasaan karena ada dua unsur yang kurang, yakni kematangan ilmu pengetahuan dan kematangan mental sebagai pemimpin.

Pendidikan politik, terutama mental kepemimpinan harus terus dirintis selaras dengan kepentingan dua hal utama yaitu kepentingan rakyat marjinal dan desakan dari arus zaman yang semakin cepat berubah.

Pemimpin sejati

Kita butuh kepemimpinan model baru. Penting kita pahami yang dimaksud pemimpin itu tidak selalu berkaitan dengan jabatan atau status sosial apapun.

Pemimpin adalah sosok manusia aktual yang berani membuka kawasan baru dan bekerja intensif di tengah masyarakat dengan gagasan-gagasan yang tujuannya untuk menahkodai perbaikan atas keburukan yang ada, memajukan atas keterbelakangan yang terjadi, dan mengubahnya dengan proses ke arah pertumbuhan berkelanjutan.

Pemimpin selalu hadir dengan gagasan baru dan menjalankannya dengan kesadaran dan kesabaran proses learning by doing.

Hal-hal yang sifatnya material seperti alam dan finansial selalu dididudukkan sebagai salahsatu komponen (bukan satu-satunya komponen) penentu dalam proses perubahan (bukan dimusuhi, dikeluhkan, apalagi diekspolitasi).

Seorang berjiwa pemimpin selalu punya sisi “kelainan” dari kebanyakan orang. Ia selalu peka terhadap persoalan yang paling prioritas dengan mempertimbangkan dimensi yang kompleks kemudian memiliki kemampuan tata-cara yang tepat.

Jika melihat keadaan masyarakat yang terbelakang, pemimpin sejati selalu memandang sebagai tantangan.

Misalnya para petani yang tak bersekolah bukan lagi didudukkan sebagai terbelakang dan miskin yang kemudian hanya diperhatikan dimensi bantuan sosialnya.

Petani bisa dilihat dengan cara lain sebagai sosok yang memiliki kemampuan mengelola alam karena (kemuliaan) kerjanya adalah menyediakan pangan sekaligus aktor ekologi.

Jika cara pandang ini yang dipakai, maka kita sedang melihat potensi besar perubahan desa sebagai kekuatan pangan sekaligus kekuatan penyelamat lingkungan dari isu global yang sedang merana akibat perubahan iklim.[]

Video Pilihan Gerakan Odesa Indonesia
Public Knowledge, Indigenous Knowledge, Local Movement

Ragam Pilihan Partisipasi Gerakan Membangun Desa bersama Odesa

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja