OLEH FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa-Indonesia. IG Faiz Manshur IG Odesa Indonesia
Pemberdayaan Petani yang Membumi
-Catatan awal Odesa dalam pendampingan petani di Bandung Utara-
Sejak akhir Agustus 2016 lalu, kami, para relawan Odesa-Indonesia bekerja. Sasarannya adalah untuk coahing/assisting/pendampingan warga petani desa di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Pendampingan ini menjadi garapan utama untuk para petani di kampung Pondok Buahbatu, Desa Mekarmanik, sebuah kampung yang berdekatan dengan Hutan Arcamanik.
Dua bulan berlalu dengan aktivitas yang tergolong sangat padat karena dalam seminggu bisa berurusan kegiatan dengan warga, maka dalam waktu dua bulan itu basis kolektif terbentuk dengan wujud berdirinya kelompok tani. Di luar itu kegiatan sosial urusan masjid dan pendidikan juga sangat aktif berjalan.
Sekarang gerakan sampai tahap untuk menjawab kebutuhan harian para petani kopi di sana. Musim panen raya kedua tahun 2016 sudah selesai pada akhir Agustus lalu. Petani di Pondok Buahbatu itu sudah merasakan kehidupan ekonominya yang hidup lebih baik daripada sebelum mengurus kopi di hutan negara atau di tanah mereka sendiri. Mereka tetap ingat kisah kesuraman ekonominya sebelum era panen kopi. Setelah tiga tahun (2011-2014) sabar menunggu panen, akhirnya mereka mendapatkan penghasilan juga dengan panen kedua tahun 2016.
Dengan rasa syukur itu tentu bukan berarti urusan selesai. Sebab tanggungjawab kepala keluarga bukan soal bersyukur semata, melainkan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Saat masa awal pendampingan hingga terbentuk “Kelompok Tani Pondok Buahbatu” suara-suara tentang pentingnya modal usaha menjadi alasan yang paling menonjol dengan harapan para petani kopi mendapatkan finansial.
Ragam Siaran Video Odesa di Youtube
Bahkan ada semacam “kepentingan” yang paling menonjol saat mereka menjadi anggota organisasi itu ialah untuk mendapat bantuan. Dalam prinsip pendampingan, hal semacam ini tidak masalah. Justru akan menjadi tantangan tersendiri bagi para organisatoris. Sebab, salahsatu tugas organisatoris adalah memberikan pencerahan sekaligus menjawab tantangan semacam itu. Soal solusi bisa dicari jalan keluarnya dengan prinsip kebersamaan, musyawarah.
Istilah “bantuan” ini seringkali terdengar paling menonjol setiapkali kami, relawan Odesa-Indonesia masuk ke desa-desa di Kecamatan Cimenyan. Bahkan terhadap urusan kewajiban negara pun, istilah yang mereka gunakan adalah bantuan. Seolah-olah pemerintah itu tugasnya ialah membantu warganya, bukan sebagai pelayan.
Itulah mengapa warga desa di Kawasan Cimenyan seringkali merasa berhutang budi kepada pejabat desa manakala kewajiban negara dilaksanakan di tempatnya karena itu dianggap bantuan. Warga juga sering ditakut-takuti oleh ancaman kalau tidak loyal ke pejabat desa nanti tidak akan diberikan bantuan. Ini Kecamatan Cimenyan memang hanya 10 kilometer dari Metropolitan Bandung, tetapi suasana pembangunannya dan perilaku pejabat desanya masih seperti era Orde Baru tahun 1980an.
Modal Usaha atau Modal Hidup?
Kembali ke urusan modal usaha, pada mulanya kami percaya bahwa itulah kebutuhan petani. Apalagi di kawasan lain sekitar Hutan Arcamanik para petani juga berpikir hal yang sama. Petani di Pondok Buahbatu bilang, kebutuhan rata-rata petani untuk modal usaha kopi Rp 1 juta. Benarkah itu yang dibutuhkan? Mengapa angka 1 juta yang mengemuka? Apakah itu sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu?
Sebelum kami mengeluarkan keputusan untuk mengatasi persoalan petani ini, kami melakukan cek langsung di lapangan. Musyawarah Kelompok Tani bisa kami jadikan sumber masukan karena itu menetapi kaidah “kebersamaan”.Namun sekalipun sudah begitu kami punya prinsip harus “membumi”, masuk ke satu persatu individu –tentu saja dengan model sampling agar slogan “Membumi dalam Kebersamaan,” benar-benar diterapkan sebagai “doktrin” pemberdayaan. Membumi ialah membangun pengetahuan bersumber dari bawah dengan pendekatan komunikatif untuk mengurai akar masalah; bertanya kepada beberapa petani tentang apa sesungguhnya yang menjadi problem hidup mereka yang sedang menghadapi divisit keuangan, khususnya menghadapi waktu 6 bulan sebelum panen raya.
Pada konteks “ekonomi 6 bulan” inilah akar masalahnya mulai terkuak. Dari pertanyaan, “apa yang paling dibutuhkan dalam hidup para petani saat ini?” ternyata pupuk bukan masalah utama. Sebab tidak logis petani meminta pupuk dengan anggaran 1 juta sementara luas lahannya berbeda-beda. Kedua, tidak logis juga karena pada faktanya terdapat kebutuhan konsumsi lain yang lebih besar dan lebih penting.
Pupuk bukan masalah utama, bukan mereka kaya ternak, melainkan karena lahan masing-masing petani itu tidak luas dan masih cukup dengan pasokan pupuk dari kampung tersebut. Kalaupun ada problem kekurangan itu bukan masalah mayoritas dan bisa diatasi dengan pendekatan sederhana, tukar informasi kesediaan pupuk di kampung itu.
Menyusun Strategi
Yang jelas, hasil proses “pembumian” pengorganisasian ini membuktikan, penggunaan kalimat “butuh modal untuk pupuk” hanyalah bahasa halus karena petani malu untuk mengatakan “butuh uang tunjangan hidup.” Kebutuhan hidup selama 6 bulan harus ditelusuri lebih jauh dengan penelitian tentunya. Itu akan sangat bagus dilakukan.
Hanya saja karena penelitian membutuhkan waktu, maka dalam gerakan ini harus tetap ada yang dilakukan tanpa harus menunggu hasil penelitian terlebih dahulu, karena toh sudah dengan wawancara dan pendekatan komunikasi yang membumi juga bagian dari penelitian, sekalipun sederhana.
Yang penting pada tahap sekarang gerakan pemberdayaan ini bisa mencarikan jalan keluar terkait dengan urusan jangka pendek “kebutuhan 6 bulan”. Adapun urusan jangka panjang soal kesejahteraan hidup sudah diusahakan oleh Odesa-Indonesia dengan pendekatan pendidikan di luar kelompok tani.
Dengan pendekatan dua strategi, yakni insentif ilmu pengetahuan dan jalan keluar material itulah nanti diharapkan gerakan penelitian bisa lebih mudah dilakukan. Anggap saja gerakan pemberdayaan ini menjadi start awal keberangkatan untuk kemudahan jalan penelitian lebih lanjut.
Akhir penelusuran problem kehidupan petani Kopi di dekat hutan Arcamanik itu akan menjadi salahsatu topik penting diskusi internal Odesa-Indonesia. Apakah nanti petani kopi akan diberikan kredit pinjaman lunak? Berapa nilainya? Adakah bank yang bisa menjawab problem ini dengan tidak berlaku kolot mencicil pinjaman setiap bulan? Benarkah dengan uang itu nanti masalah selesai? Apa tidak sebaiknya didampingi dengan cara lain dengan sistem tertentu?
Pengalaman telah memberikan bukti empirik bahwa urusan ekonomi tidak pernah lepas dari urusan budaya, pola-pikir, mentalitas, dan tata-nilai. Maka untuk menjawab hal itu, tiga pendekatan, yaitu ilmu ekonomi, ilmu budaya dan ilmu pengorganisasian harus dipaket dalam satu master. Di bawah naungan tiga pendekatan itu nanti gerakan pendidikan, aplikasi teknologi tepat guna dan peran agama harus dimainkan. []
Komentar ditutup.