Orang Kota dan Orang Desa Memandang Alam dan Ekonomi


Oleh FAIZ MANSHUR. 
Ketua Yayasan Odesa Indonesia

Orang Kota dan Orang Desa. Sekilas perbedaannya sederhana. Kita perlu mendalaminya untuk sebuah pembelajaran sosial.

Suatu hari seorang teman bercerita; sebuah komunitas besar yang terdiri dari orang-orang ternama di Jawa Barat itu mengadakan gerakan penghijauan di Kawasan Jawa Barat. Ia ceritakan tentang impian pendiri beserta kegiatan-kegiatannya yang dilakukan. Misalnya mereka menginginkan Bandung-Raya ini hijau dan erosi terkendali. Apa yang dilakukan?

Ia memobilisasi teman-temannya yang rata-rata pejabat di Jawa Barat, Kota Bandung dan Jakarta serta menarik keterlibatan kalangan swasta dari kota. Bagaimana keterlibatan orang desa tempat kegiatan itu dilakukan?

Jawab teman saya, ”nah itu dia, kegiatan mereka tidak menyentuh warga desa. Lebih suka memobilisasi orang kota, seminar, rapat dan kegiatan off-road tanpa pernah menyentuh orang desa dengan pemberdayaan yang serius.”

Saya tanya,” hasilnya apa?”.

“Itu dia. Tiada hasil yang terlihat kecuali kedatangan pejabat berbicara dengan peserta yang kebanyakan orang kota dan orang desa tidak tahu apa-apa dan tidak mendapatkan apa-apa. Gerakan hijau hanya jadi wacana di media saja,” tuturnya.

orang kota orang desa
orang kota orang desa

Cara Pandang

Ini hanya ilustrasi kecil bagaimana kekeliruan mindset terjadi berkelanjutan di kalangan orang-orang intelektual. Impian boleh besar, tapi kalau keliru pikir tentu bisa mengakibatkan kesia-siaan. Dalam pandangan saya, urusan kemajuan sebuah masyarakat titik geraknya mesti bertumpu pada manusia (Sumber Daya Manusia) karena manusia itulah menjadi “objek” garapan.

Manusia bisa mengatasi problem sekaligus menjadi problem. Ilustrasinya sederhana. Kalau kita memiliki rumah, maka bukan perkara rumah itu yang menjadi masalah utama, melainkan siapa yang akan mengurusnya.

Pertama akan rusak kalau tidak ditempati. Kedua, kalaupun diurus tapi tidak ditempati, bisa kemungkinan tetap buruk karena bisa ditempati hewan dan harus mengeluarkan biaya sementara rumah tidak berfungfsi secara optimal. Ketiga, ditempati tapi kalau orangnya tidak mampu mengurus secara baik, nilai rumah akan susut karena kerusakan. Keempat, dan ini yang tepat, ada rumah ada yang menempati, dan yang menempati memiliki “kompetensi” untuk mengurus dan syukur-syukur mampu memberdayakan rumah dan lingkungan sekitarnya agar semakin bagus dan kelak bernilai lebih sehingga kita mendapatkan “laba”.

Sekarang kita menyaksikan kondisi alam dari sudut pandang kita (manusia) tidak akur dengan manusia. Salah alam? Tiba-tiba alam sering mengamuk dengan banjir dan longsor. Atau yang lebih kejam lagi, pelan-pelan alam yang subur dan penuh berkah untuk kemakmuran itu penghuni di sekelingnya –para petani itu hidup sengsara secara berkelanjutan; turun temurun.

Kita bisa lihat ini dengan fakta. Misalnya dari kawasan yang hanya berjarak 4-15 km di kawasan Bandung utara, keterbelakangan begitu mencolok. Alam yang subur tapi kehidupan petani (baca: buruh tani) begitu mengenaskan. Banyak rumah panggung gaya lama bukan tampak eksotis, tetapi menunjukkan rendahnya daya beli masyarakat. Ratusan sarana MCK (Mandi Cuci Kakus) penduduk kecamatan Cimenyan dan Kecamatan Cilengkrang banyak yang tidak layak, jauh dari beradab untuk ukuran zaman sekarang. Dan urusan pendidikan jangan tanya. Mungkin kalau soal buta huruf tidak banyak. Tapi kebanyakan lulusan SD. Jalan-jalan rusak, sekolah jauh dan memboroskan ekonomi keluarga petani yang mayoritas hasilnya tidak jelas.

Bukankah di kawasan desa-desa itu juga terdapat rumah yang relatif bagus?

Kalau Villa-Villa (yang kebanyakan pembangunannya tidak memiliki izin itu) jelas milik orang kota. Sedangkan rumah bagus, ternyata juga kebanyakan milik orang kota. Ada sedikit keluarga desa yang harus diakui mampu secara ekonomi, namun mayoritas harus disebut kategori miskin dan pra sejahtera. Kita bicara mayoritas di sini. Itulah mengapa ketika odesa-indonesia berhasil memetakan persoalan di 12 Rukun Warga (RW) kesimpulannya kebutuhan bantuan untuk keluarga “yang layak mendapatkan perhatian” bantuan porsinya sampai 60%.

Setiapkali kita bincang-bincang dengan orang desa di Kecamatan Cimenyan dan Kecamatan Cilengkrang, ada pengetahuan bahwa bangunan rumah yang mendekati kelayakan itu bukan hasil produksi pertanian, melainkan dari hasil nguli bertahun-tahun di luar daerah atau hasil menjual tanah warisan. Mereka berekonomi di luar meninggalkan anak-istrinya untuk membangun ekonomi rumah tangganya. Ada satu cerita juga di sebuah kampung yang ketua RT dan RW rumahnya bagus. Setelah diteliti fakta membuktikan bukan dari hasil produksi pertanian, melainkan karena menjual sapi dari bantuan pemerintah yang seharusnya dikembangkan untuk pembibitan.Alamak!

Itulah mengapa Basuki Suhardiman (Dosen ITB), setelah lama terlibat aktif mendampingi petani di kampung Pinggir hutan Arcamanik sampai keluar ucapan, “mereka kok bisa hidup ya?. Ini harus ada edukasi hidup, bukan hanya edukasi mencari duit. Mencari duit, mengatur duit, dan mendatangkan duit. Literasi membaca, lalu menulis, dan produksi tulisan/catatan. Belajar menghitung misalnya, akan membuat petani bisa lebih optimal dalam menentukan usaha karena selama ini berekonomi tanpa hitungan. Maka pendidikan harus masuk secara cepat dengan model-model kreatif sesuai keadaan dan kebutuhan di masing-masing kampung. Pendidikan formal maupun informal harus kontekstual,” katanya.

Basuki sampai mengeluarkan ucapan demikian karena dari perhitungan ekonomi terdapat keanehan. Panen sayur tidak semua bisa karena tidak punya tanah. Kalaupun punya lahan kopi, pertanian kopinya sangat tradisional dan tidak laras dengan arus pasar dan hitungan market ekonomi. Beberapakali diskusi ekonomi perdesaan di Odesa-Indonesia, kemungkinan kalau dirasionalisasi, kehidupan per-KK (Kepala Keluarga) (dengan 3-4 anggota keluarga), kalau diuangkan nomimal penghasilannya hanya Rp 400-550.000 per-bulan. Tentu dengan sudut pandang kumulatif dalam setahun. Uang sebesar itu masih harus berhadapan dengan mahalnya barang-barang karena transportasi yang jauh.

Panjangnya masa panen membuat banyak petani harus hidup susah; fakta beras menjadi masalah mendasar. Tidak ada yang kelaparan memang. Pakaian? “ada istilah dari seorang ketua Kelompok Tani di Cimenyan: “Kalau disumbang pakaian petani suka pak. Soalnya kalau ganti kaos paling saat pilkada,” katanya sambil tertawa lepas.

Dalam situasi ekonomi yang demikian itu, wajar kalau kemudian para politisi itu bisa mudah mendulang suara cukup dengan “nyogok” petani; modal receh dibagi-bagi atau beras 1 kg per KK sebelum coblosan pasti suaranya banyak. Mengapa begitu? Buat petani yang hidup dalam kesengsaraan seperti itu, akalbudinya gelap; karena yang terpenting adalah “berjuang” (beras baju dan uang).

Lain dengan Basuki Suhardiman, teman saya Enton Supriyatna, Pemimpin Redaksi Galamedia yang juga sangat aktif mendampingi petani di Cimenyan itu menilai, Kampung Cikawari yang jalanannya rusak dan warganya kebanyakan tidak mendapatkan akses pendidikan yang baik di Cikawari itu akibat tidak ada kepemimpinan lokal yang mampu memobilisasi kegiatan gotong-royong. Katanya, “pejabat desa juga tidak memiliki inisiatif sidak dan memimpin aksi kegiatan gotong-royong.”

Kalau kita tarik wacana lebih jauh dari temuan Enton Supriyatnya ini, kita teringat oleh kisah-kisah kesuraman hidup bangsa miskin seperti di Afrika dan Amerika Latin yang disebabkan oleh kepemimpinan oligarkhis atau karena tidak ada kemampuan pejabat daerah menyentuh persoalan hidup warganya kecuali urusan pajak dan “palak” terhadap pengusaha.

Dan Pak Budhiana Kartawijaya, wartawan senior Pikiran Rakyat yang memiliki kepekaan urusan sosial itu bilang; “banyak anak-anak yang hidupnya tidak sehat baik dari sisi makanan maupun sisi lingkungan. Citizenship Jurnalistik harus digerakkan untuk mengabarkan fakta-fakta itu, agar negara dan kalangan swasta mengambil tindakan.”

Kejahatan orang berpendidikan

Tiga perspektif ini saja sudah memperlihatkan bagaimana situasi hidup bisa memburuk karena persoalan manusia. Yang pertama manusia desa tidak mendapatkan up-grade pengetahuan ekonomi pertanian. Kedua, orang kota yang ke desa-desa lebih suka memikirkan ekonomi; datang membeli tanah untuk investasi dan membiarkan para petani di sekitarnya hidup tak manusiawi. Dan ketiga, persoalan manusia bernama pejabat yang tidak memiliki pengetahuan tentang keadilan sehingga alokasi pembangunan tidak memihak pada (skala prioritas) warganya yang paling terpuruk.

Ketika tanah-tanah di kawasan Bandung Utara sudah dimiliki orang kota yang relatif memiliki pengetahuan bisnis, ngerti teknologi dan ngerti banyak hal, tetap saja tanah hanya jadi objek garapan pertanian model lama yang tidak produktif. Banyak tanah-tanah dibeli orang kota dengan niatan investasi, diterlantarkan dan hanya mengejar penjualan karena perhitungan waktu.

Ini sejenis “kejahatan” orang-orang berpendidikan karena dua hal. Pertama, membiarkan tanah tidak produktif, bahkan sebagian hanya untuk villa, tempat bersenang-senang di tengah kesengsaraan orang desa. Kedua, tanah murah itu mayoritas dibeli dari para petani dengan acuan harga murah sementara petani sedang dilanda kesusahan. Mereka menjual tanah saat dililit persoalan ekonomi. Harus diperjelas di sini, bahwa jual beli bukan kejahatan, tapi memanfaatkan orang sedang dililit persoalan sehingga menjual aset hidupnya secara murah itu jelas tidak manusiawi. Anehnya, banyak orang kota yang berpendidikan itu berpikir hal itu sedang menolong orang yang sedang kesulitan duit. Di luar itu, membiarkan tanah tidak produktif dan mensejahterakan lingkungan hidup di sekitarnya adalah jenis kejahatan lain.

Hidup terus berjalan. Lingkungan semakin rusak. Dan orang-orang desa mengalami keterbelakangan hidup. Sementara “orang-orang kota” yang punya ilmu pengetahuan seperti di kampus-kampus macam ITB, Unpad, Unpar, Politeknik dan segala macam ilmu itu tidak bisa menjawab problem lingkungan hidup. Wacana boleh cerdas, namun kalau kemampuan mengeksekusi dalam tindakan tidak pernah mewujud. Kalau sudah begini, saya jadi teringat filsuf Al-Ghazali yang berpendapat, “ilmu tanpa amal gila, amal tanpa ilmu sia-sia.” Jadinya, orang-kota kota itu memang gila karena terjebak pada impian-impian kosong, sementara orang desa yang beramal menjadi sia-sia karena tetap melarat dan terjebak pada kebodohan. Barangkali ini yang yang disebut kekufuran; ketertutupan.

Orang-orang pinter di perkotaan (baik yang menduduki kekuasaan negara maupun sektor swasta) itu tidak pernah mau menjawab problem manusia desa yang mendiami rumah/lingkungan sekitarnya.Tidak pernah mau bersusah-payah membangun kegiatan yang berkelanjutan dalam mengatasi masalah-masalah perdesaan. Orang-orang desa yang tertinggal dibiarkan terlantar hidup tanpa akses informasi dan akses pendidikan ekonomi. Pemberdayaan seringkali dilakukan serampangan dan hanya jadi sarana menurunkan anggaran; mengabaikan nilai-nilai sosial. Padahal dengan banyaknya anggaran itu, semestinya kita punya peluang untuk menciptakan proses pemberadaban melalui gerakan transformasi sosial lalu mengukir prestasi dengan membangun peradaban dengan empat pilarnya, yaitu kekuatan budidaya-pangan, peternakan, literasi dan teknologi.

Jalan baru

Titik fokus kita mesti mengambil sumberdaya manusia terbaik yang berada di lingkungan setempat untuk digodok menjadi pemimpin yang mengarah para usaha transformasi sosial.

Mau urus alam: lingkungan, kependudukan, infrastruktur, pertanian, wisata, hutan, fokus perhatian kita semestinya pada manusia. Percayalah, untuk berhasil mendapatkan kesuksesan pembangunan hidup, manusianya yang harus diurus. Salahsatu doktrin yang harus dipegang adalah memberdayakan sumberdaya manusia untuk mengatasi lingkungan.

Misalnya Walikota Bandung Ridwan Kamil yang gemar menghias kota dengan tanaman itu, seharusnya sejak awal memberdayakan manusia di sekitar kawasan tanah PD Kebersihan (Perbatasan Kota-Kabupaten bandung di Cikadut). Tanah seluas itu bisa dikelola untuk pembibitan tanaman. Banyak ahli tanaman dari para pedagang yang mumpuni untuk mengelola. Itu akan lebih baik daripada membuang-buang waktu merencanakan lahan sebagai tempat pengolahan sampah.

Sebagai tempat pembibitan tanaman, hanya butuh waktu dua tahun Pemkot Bandung akan punya aset tanaman yang banyak dan anggaran pemerintahan kota tidak boros membeli. Sebab kita tahu, pasokan tanaman di Kota Bandung ini kebanyakan dari Parongpong dan Lembang yang keduanya sekarang sudah menjadi pasar. Sebagian besar tanaman hias dan tanaman buah yang di Bandung masuk dari Majalengka, Bogor, Sukabumi dan daerah lain. Jika lokasi itu dikelola sebagai pembibitan tanaman buah dan tanaman obat, warga petani di Kawasan Bandung Utara juga akan lebih mudah dan tentu lebih murah mendapatkan bibit-bibit pertanian karena selama ini petani tidak memiliki daya beli yang kuat untuk bibit-bibit tanaman seperti mangga, sirsak, kelor, manggis, kumis kucing, dan jenis-jenis tanaman produktif lainnya.

Mengurus manusia lebih sulit ketimbang mengurus pembangunan material. Tetapi manakala berhasil mengurus manusia, urusan-urusan “alam” akan lebih menemukan solusi. Di sinilah kebutuhan gerakan sosial itu mesti memperbaharui diri. Penelitian dan kajian harus optimal dilakukan, namun itu hanya akan berarti jika mampu menjadi stimulus gerakan (mobilisasi) orang-orang berpendidikan untuk bertindak organik; yakni turun ke lapangan, mendampingi (bukan sekadar menceramahi) warga desa dalam waktu yang panjang dan melakukan tindakan-tindakan sesuai kebutuhan warga desa, bukan tindakan sesuai kehendak orang kota.

Kebutuhan hidup orang desa lain dengan orang kota. Untuk mengetahui titik mana yang harus menjadi skala prioritas, tidak cukup kita hanya bertemu 3-4 kali. Tidak cukup juga mendengar curhatan-curhatan mereka karena terkadang mereka menyimpan sesuatu yang tak bisa diungkapkan; tidak bisa cepat beradaptasi dalam berkomunikasi dengan logika orang kota. Langkah terbaik dalam hal ini adalah kemauan aktif menyelami sampai berbulan-bulan; membumi dalam kebersamaan.

Dalam hal solusi, kita tidak bisa berwacana satu dua item mengenai strategi. Antara bantuan sosial (charity), pendampingan berkelanjutan, dan gerakan Kebijakan Publik mesti harus dikombinasikan bersama. Pembangunan SDM berkelanjutan membutuhkan setidaknya tiga komponen dasar: 1) Amal-sosial/charity untuk keluarga petani seperti bantuan pangan, kesehatan, pakaian dan beasiswa,dll 2) Pendampingan pendidikan ekonomi pertanian, kewirausahaan, kepemimpinan. 3) Jurnalisme untuk kebijakan publik, yaitu menyuarakan hal-hal yang tersembunyi dari kehidupan perdesaan ke permukaan agar pejabat (yang punya tanggungjawab) dan kalangan swasta yang memiliki kesadaran “berbagi” (material/ilmu/waktu) untuk mengambil tindakan.

Untuk selanjutnya ketiga hal tersebut kita arahkan untuk gerakan/subjek kewargaan (Citizenship) agar warga memiliki inisiatif-inisiatif mengembangkan diri; mampu menawarkan gagasan untuk perbaikan ekonomi, sosial dan pendidikan, dan memiliki daya tawar yang bagus berhadapan dengan pejabat yang selama ini lebih banyak memanfaatkan warga untuk kepentingan nafsu kekuasaan ketimbang memberikan manfaat kepada rakyatnya. []

Video Remy Syolado di Desa Cikadut Bandung

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja