Oleh: HERRY DIM. Budayawan. Pendamping Petani Bidang Revitalisasi
Sumber Daya Alam Yayasan Odesa Indonesia
MALAM ini, dalam hitungan jam, angka tahun akan berpindah dari 2017 ke 2018.
Dari sudut pandang kehidupan desa dan petani, itu artinya memasuki masa 421 tahun sejak Cornelis De Houtman kali pertama menginjakan kaki di Banten untuk memimpin ekspedisi dagang Belanda di Indonesia yaitu pada tahun 1596.
Bantu Sanitasi untuk Petani
Panjang ceritanya, namun ringkasnya saja dan seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dari hasil ekspedisi tersebut Belanda pada tahun 1602 membentuk perserikatan dagang VOC dengan Hak Octrooi yang dimilikinya, yaitu hak tunggal untuk perdagangan dan pelayaran ke Asia yang diberikan oleh staten-generaal kepada VOC. Ini analog dengan hak monopoli di dalam sistem ekonomi modern, yang biasanya dijalankan dengan dua landasan yaitu kuasa politik dan kuasa modal.
Dengan kuasanya itu, VOC kemudian berhasil menaklukan dan menguasai beberapa daerah di Indonesia untuk kemudian beralih dan berlanjut ke masa kolonial Belanda.
Apa gunanya mengenang VOC?
Mari kita sadari bahwa apa yang dilakukan bakal VOC, VOC, kolonial Belanda, penjajahan Jepang hingga pemerintahan RI terhadap desa dan petani itu cenderung “setali tiga uang,” terus-terusan terjadi hingga kini, ya, bahkan setelah melewati waktu 421 tahun!
Mari kita lihat urut-urutannya meski dengan serba ringkas.
Kita mulai dengan VOC dan Hak Octrooi-nya. Itu adalah hak eksploitasi, penguasaan tanah dan tenaga kerja, pemanfaatan faktor produksi, demi komoditas sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Seperti yang kita ketahui sejak tahun 1800-an atau selepas masa VOC, pemerintah kolonial mengubah cara eksploitasi mejadi pengelolaan modern di bawah kuasa pemerintah dan swasta atau pemilik modal. Eksploitasi modern inilah yang melakukan pemusatan pada pemanfaatan faktor produksi di Indonesia dengan pola penguasaan tanah dan tenaga kerja.
Kuasa pemerintah dan modal atas faktor produksi bahkan sampai bisa memberlakukan Cultuurstelsel. Terjemahan dari istilah Cultuurstelsel terdengar bagus yaitu “sistem budi daya,” namun sejatinya adalah “sistem tanam paksa.”
Peraturan “Cultuurstelsel” yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch tahun 1830 mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan, setiap hasil panen harus diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun demi pemenuhan kewajiban yang 20% itu, mereka bekerja pada kebun-kebun milik pemerintah.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai catatan sejarah, maka izinkan langsung meloncat ke masa penjajahan Jepang di Indonesia.
Petani dan masyarakat desa pada masa penjajahan Jepang, itu lebih mengerikan lagi karena antara lain dipaksa menjadi RÅmusha. Terjemahan dari kata RÅmusha adalah buruh atau pekerja. Lebih tepatnya lagi adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945.
Kebanyakan dari romusha adalah petani. Sejak Oktober 1943 pihak Jepang bahkan mewajibkan seluruh petani menjadi romusha. Diantara mereka ada juga yang menolak, namun mereka dipaksa, ditakut-takuti, ditekan, atau dikucilkan. Sejumlah catatan menyebutkan romusha Indonesia itu antara 4 hingga 10 juta orang. Selama dipekerjakan, para petani dari berbagai pedesaan ini ternyata tidak mendapat fasilitas dan tidak diberi upah.
Inilah yang mengakibatkan para romusha banyak yang mati kelaparan serta terserang wabah penyakit. Mereka dipekerjakan bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Birma, Muangthai, Vietnam, Malaysia serta Serawak.
Demikianlah, sepanjang sejarah kolonial, profesi sebagai petani dan menjadi orang desa itu dihinadinakan.
Seperti yang diartikan oleh KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), hina dina itu bermakna rendah sekaligus miskin; sangat hina; tidak berharga. Kata kerjanya yaitu meng-hina-dina-kan yang artinya memandang rendah sekaligus miskin, merendahkan dan memandang miskin.
Titik Lemah di Masa Kontemporer
Baiklah, kita kini telah merdeka, sebentar lagi kemerdekaan kita memasuki usia 72 tahun. Tapi boleh percaya dan boleh juga tak percaya, bahwa kehinadinaan petani dan masyarakat desa itu nyata masih terbawa hingga sekarang.
Zaman dan kuasa pemerintahan boleh berubah-ubah, tapi moral petani yang dihancurkan semasa kolonial itu nyata berjejak dan begitu membekas hingga sekarang, bahkan banyak gelagat kehinadinaannya itu dipelihara agar mereka tetap bisa dieksploitasi dan/atau tetap tak berdaya. Segala hal yang semestinya berubah di masa pasca-kolonial, nyatanya tak terjadi pada kehidupan petani. Setelah melewati waktu lebih dari empat abad, posisi petani tetaplah hinadina, menjadi objek bulan-bulanan kuasa politik dan modal, terperah, tereksploitasi, tak berdaya, tak pernah bisa menentukan nasibnya sendiri.
Untuk pembuktiannya sila lakukan riset kecil-kecilan, tanya lah cita-cita sepuluh atau lebih anak-anak sekeliling kita. Hampir pasti tak satu pun yang menjawab bercita-cita jadi petani.
Maka, jika hari ini masih ada yang bekerja sebagai petani (tepatnya buruh tani), hampir pula bisa dipastikan karena tak ada pilihan lain yang bisa dikerjakan.
Itu kelihatannya sederhana, tapi sejatinya menyimpan perkara besar, perkara nasional kita.
Lihatlah bagaimana sejumlah usia produktif di desa-desa pada gilirannya pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih “terhormat” (dalam tanda petik) ketimbang jadi petani.
Untuk kepergiannya ke kota, sang anak “ngarewih” kepada orang tuanya agar menjual tanah, antara lain untuk ongkos perjalanan dan terutama untuk “pelicin” (demikian istilah mereka) kesempatan kerja meski sebatas menjadi buruh pabrik sekalipun.
Sebagai catatan tambahan, kerap juga kita dengar orang desa jual tanah demi membeli sepeda motor untuk ojeg atau pun untuk gaya hidup, dan sebagainya.
Merasa “hina” menjadi petani, itu jelas merupakan titik lemah bangsa yang konon agraris selain maritim.
Titik lemah ini kerap dijadikan sasaran para pemilik modal untuk menguasai tanah yang seluas-luasnya. Merekalah yang pada gilirannya menguasai tanah-tanah di pedesaan, bahkan dengan segala muslihatnya ada pula yang sudah bisa menguasai ulayat atau tanah adat.
Kalau pun tanah-tanah tersebut masih ada yang dijadikan lahan pertanian, maka yang mengerjakannya adalah (buruh) tani yang tak berdaya itu.
Baiklah, akan terlalu berkepanjangan jika diurai semua, maka ringkasnya saja: menjadi lumrah atau sering kita jumpai di daerah-daerah pertanian yang bahkan subur, rakyat atau masyarakatnya malah banyak yang miskin.
Lagi, demi ringkasnya saja, jika suatu saat kita mendengar harga cabe, bawang merah, atau hasil tani lainnya tiba-tiba melonjak tinggi, pertanyaannya: Apakah kelebihan harga tersebut sampai kepada masyarakat yang kita sebut petani?
Umumnya tidaklah demikian. Fluktuasi harganya itu sendiri kerap merupakan moda para pemilik modal yang secara teknis memiliki daya mengendalikan harga pasar, beberapa bahkan dengan moda kongsi hingga memiliki kendali monopoli atas komoditi hasil tani.
Merekalah yang memetik keuntungan, sementara (buruh) tani hanya gigit jari, dan tetap terperangkap dalam kemiskinan.
Kebangkitan Petani 2018
Malam ini kita berkumpul di kawasan Cimenyan bersama Odesa Indonesia dalam mengisi perpindahan tahun dari 2017 ke 2018.
Harapannya bukanlah sekadar kumpul-kumpul atau bincang-bincang. Bukan pula sekadar “nonton” perpindahan waktu. Maka alangkah bagusnya jika ini pun menjadi perpindahan kesadaran, menjadi “hijrah”nya pemahaman kita tentang petani, yang pada gilirannya menjadi tanda kebangkitan petani secara keseluruhan di Indonesia.
Sebelum ke hal-hal rumit dan perlu proses panjang semisal pelaksanaan UU dan Reforma Agraria, jadikanlah malam ini sebagai momentum perubahan sikap dan moral petani. Jika perlu esok begitu matahari 2018 terbit, nyatakan bahwa “pekerjaan petani itu mulia dan sangat terhormat.” Rebut dan ciptakan kesadaran baru itu terlebih dahulu.
Sejatinya memang demikian. Dibanding dengan pekerjaan-pekerjaan lain, pekerjaan petani itu justru menghasilkan produk untuk kehidupan bahkan kesehatan umat manusia.
Sila bandingkan dengan anggota DPR yang korup, misalnya, itu yang justru sehina-dinanya perilaku. Perlu pula diingat bahwa seluruh anggota DPR itu digajih dari akumulasi pajak rakyat. Ya, memang mereka itu “dibayar” demi menghasilkan kebijakan yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat, tapi nyatanya ….. seperti titik-titik panjang yang kita ketahui semua isi dari titik-titik tersebut.
Ayo, ini saatnya bagi kita untuk membalikan pemahaman tentang petani. Waktu lebih dari 400 tahun dengan gambaran petani yang status sosialnya amat rendah, itu sudah terlalu lama.
Pembalikan pemahaman dari kondisi mental dan status sosial petani yang “hinadina” ke “mulia” ini perlu digerakkan dan/atau diadvokasi oleh sebesar-besarnya kelas menengah untuk didorong agar menjadi pengucapan setiap orang hingga presiden.
Tak apa jika “kemuliaan” ini awal mulanya seperti jargon, seperti iklan yang diulang-ulang, atau jika hendak lebih bagus lagi seperti dzikir yang tak henti dilafalkan; yang penting adalah terjadinya proses “penanaman” di benak tiap kepala, yang artinya mendasari perubahan besar bagi tiap warga bangsa Indonesia.
Dari sinilah perubahan-perubahan berikutnya menjadi mungkin ditata. Ayo, Bung, ayo… Kita mulai dari Cimenyan. Bismillah.[]
Komentar ditutup.