Lahir di Tanah Subur, Bertani di Tanah Seberang

JARUM jam menunjukkan sekitar pukul 10.00 WIB. Sudah dua batang rokok kretek dihabiskan Alo Dadan (39). Kopi hitam tinggal setengah gelas. Angin bukit yang lembut dan sinar matahari yang ramah, membuatnya betah berlama-lama di gelodok warung Kang Odih Wahyudin (45).



Dadan bukan pemalas. Sejak pukul 06.00 dia sudah pergi ke kebun untuk menyemprot tanaman di kebun sayurannya dengan obat anti hama. “Ini baru pulang dari kebun. Badan masih bau obat,” kata warga RW 09 Cikawari Tonggoh, Desa Mekarmanik, Kec. Cimenyan, Kab. Bandung ini, Sabtu (27/12).

Kebun Dadan tidak terlalu luas dan bukan tanah miliknya. Seperti juga warga setempat lainnya, dia menyewa lahan pertanian itu Rp 2.500 per tumbak (14 m2) per tahun. Salah satu lahan sewaan adalah milik seorang pengusaha tekstil seluas 4 ha.

Ketua Karang Taruna ini menyadari betul, bertani sayuran di kampung sendiri tidak bisa berharap banyak. “Istilahnya, hanya untuk menjaga agar dapur ngebul saja. Jangan harap dapat lebihnya,” kata ayah dua anak ini.

Dadan tidaklah sendirian, banyak warga bernasib serupa. Sebab itulah mereka mencari peruntungan ke tempat jauh, ke luar pulau: Lampung. Menurut perhitungan Odih, hampir setengan dari jumlah kepala keluarga di Cikawari Tonggoh berangkat ke Lampung.

Baru sekitar tiga tahun terakhir Dadan menetap kembali di kampungnya. Bersama sejumlah warga lainnya pada tahun 2009 dia berangkat ke Lampung. Tujuannya, menjadi buruh tani di perkebunan yang cukup luas.

Ada tiga jenis perkebunan yang bisa dipilih, yakni kelapa sawit, kopi dan sayuran. Karena sudah terbiasa di kampung halaman, para perantau itupun memilih perkebunan sayuran.

Langkah yang mereka tempuh adalah jalan pintas untuk mengatasi tiga masalah: ketiadaan modal, tak punya lahan, dan tak ada lowongan pekerjaan sesuai keahlian mereka. Lampung menawarkan solusi: ada majikan yang siap menampung dan tidak perlu keluar modal.

Dadan bukanlah generasi pertama yang mengadu nasib di Lampung. Sejak tahun 90-an sudah ada yang berangkat ke sana. Ayahnya telah sebelas tahun di sana. “Biasanya mereka pulang setiap Lebaran ” kata Odih.

Ada yang beruntung, ada yang buntung. Dadan tergolong berhasil. Hampir lima tahun di sana, dia bisa menabung. Lalu membangun rumah, menikahkan anaknya yang sulung. Tidak jauh dari warung Odih, ada rumah permanen yang belum selesai dibangun. “Itu rumah kerabat saya, hasil jadi buruh di Lampung. Juga bisa menikahkan beberapa anaknya,” ujar Dadan.

Namun tidak sedikit yang jadi korban majikan licik. Modusnya, majikan tidak terbuka tentang hasil panen. Membayar penggarap dengan jumlah yang tidak sepadan. Terjadi konflik, lalu memilih pulang kampung. Ada juga yang terkena musibah, panennya gagal secara dramatis atau perkebunannya terbakar.




“Bagaimanapun, enak di kampung sendiri. Seharusnya, kami yang lahir di tanah subur seperti ini, bisa hidup dan mendapatkan penghasilan yang pantas. Tidak usah merantau sampai ke seberang pulau,” tutur Dadan. Ironis.-Enton Supriyatna Sind.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja