Oleh Budhiana Kartawijaya. Peneliti Civic-Farming Odesa-Indonesia.
DI seluruh Indonesia entah ada berapa puluh ribu majelis taklim ibu-ibu. Saya yakin besar sekali jumlahnya. Namun sayang, tema pengajian hanya itu-itu saja. Kebanyakan temanya bekal untuk menjemput maut. Itu tidak salah karena memang Islam mengajarkan kita untuk mengingat mati.
Namun majelis ini sesungguhnya punya kekuatan besar untuk menghidupkan kehidupan itu sendiri. Salah satu potensi besar majelis taklim adalah dalam pembentukan sistem pangan lokal (local food system) atau locavore.
Locavore mensyaratkan bahwa kebutuhan pangan lokal tercukupi oleh potensi lokal. Karena itu masyarakat dalam teritorial tertentu (komunitas Cimenyan misalnya) atau kelompok societal (alumni Salman misalnya) harus mampu melakukan food consumption planning.
Perencanaan konsumsi pangan lokal akan menentukan produksi pangan yaitu:
1. Jenis tanaman pangan yang ditanam.
2. Luas lahan yang diperlukan.
3. Periode penanaman.
Maka di siniliah sebetulnya kelompok majelis taklim bisa menjadi fundamennya. Ibu-ibu adalah penguasa anggaran rumahtangga. Mereka tahu berapa kg beras yang dibutuhkan keluarga, berapa butir telur per bulannya. Mereka juga tahu berapa banyak kebutuhan cabe, bawang, kopi, minyak goreng, dan lain-lain.
Jadi majelis taklim adalah majelis data pangan yang luput dari perhatian dakwah. Bila pengajian ini diarahkan untuk membudayakan locavore, maka akan dahsyat sekali. Tidak perlu survey BPS.
Dengan demikian kebutuhan aggregat pangan akan tergambar, luas lahan juga terukur. Karena itu, membangun kedaulatan pangan membutuhkan strategi budaya. Yaitu strategi ketergantungan pada kapitalisme pangan ke kemandirian. Maka pengajian-pengajian harus didesain ke arah ini. MUI, NU, Muhammadiyah dan lain-lain harus mengkontekstualkan Quran dari segi pembangunan locavore.
Maka harus lahir fikih-fikih segar tentang: tanah, air, laut dan makanan. Maka ibu-ibu akan paham bahwa sebetulnya term “memberi makan anak yatim dan orang miskin” adalah sebetulnya perintah profetik membangun locavore, di mana hak si lemah pun atas pangan bisa terpenuhi.
Selain itu, kepada ibu-ibu ini diajarkan bahwa di balik pangan impor itu ada politik penguasaan dunia akan lahan pangan (global farm race). Karena itu, mengonsumsi pangan lokal artinya menjauhkan kita dari kefakiran dan kekafiran. Kita juga harus menyusun modul-modul materi tentang Islam dan pangan. Kalau perlu handbook tentang berkebun dan berladang.
Para ustad dan ulama seminggu sekali harus hadir memimpin majelis taklim locavore. Tentu kemudian para ibu uni akan menceritakan dan mengajarkan kemandirian kepada anak dan cucunya. Ini yang disebut strategi budaya: membudayakan kemandirian sejak dini.[]