Kopi adalah komoditi unggul yang harus digarap serius.
Ada lebih setengah juta hektar yang semuanya cocok untuk kopi.
Zaman Belanda pernah punya pengalaman panen luar biasa, kemudian hancur menyisakan kesedihan.
Kami ingin membuat cerita gembira untuk bangsa
PUNCAK BINTANG: Satu persatu item sejarah pengetahuan tersebut disampaikan oleh Basuki Suhardiman di depan 17 petani kopi Kampung Buntis, Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Basuki Suhardiman adalah seorang Peneliti di Comlabs ITB, yang bergiat aktif di Organisasi Odesa-Indonesia mendampingi kaum tani di Kawasan Bandung Utara (KBU).
Pada Jumat malam, 31 Maret 2017, warga petani yang terhimpun dalam “Perkumpulan Petani Kopi Buntis” itu berkumpul. Berdirinya perkumpulan petani kopi ini juga didorong oleh Odesa-Indonesia agar para petani di kawasan perbukitan Puncak Bintang itu saling membangun solidaritas, rajin berjumpa dalam forum keilmuan, dan mendorongan modernisasi pertanian melalui teknologi tepat guna.
Sejarah Kopi Jabar
Sebelum masuk pembicaraan teknis dan penyusunan program, Basuki memberikan wacana sejarah tentang kopi. Basuki membuka wawasan sejarah dengan kisah tanam paksa. Katanya, tanam Paksa di Jawa Barat, tahun 1830 Belanda menanam panili. Tiga tahun proses tidak menghasilkan panen yang baik kemudian pada tahun 1833 beralih menanam kopi. Panen pertama kopi tahun 1877 itu sukses.
“Nah karena keberhasilan itulah Belanda semakin agresif menanam kopi. Petani dipaksa menanam kopi besar-besaran sampai meluas 1.200 hektar. Sampai 20 tahun kemudian Belanda memanen hasil yang besar. Kalau kita baca buku Peter Carey tentang kisah Perang Jawa atau Perang Diponegoro lalu kita hitung, biaya perang itu setara menghabiskan 700 triliun, sekelas uang BLBI yang raib. Dan hutang Belanda itu bisa dibayar dengan hasil dari panen kopi,” papar Basuki.
Kemudian pada 1870 Pemerintah Hindia-Belanda melakukan program privatisasi. Di situlah kawasan perbukitan Pengalengan diambil untuk program khusus penanaman kopi. Sementara untuk tanaman lain seperti teh misalnya, oleh Belanda ditempatkan di kawasan Boscha, Ciwidey, Rancabali dan lain-lain.
Berlanjut kemudian pada tahun 1921 hingga 1925 tanaman kopi di Pangalengan mengalami kemunduran yang akut karena terkena jamur karat atau yang disebut Hemileia Vastatrix B . Karena saat itu belum diatasi secara baik, jamur merusak hingga nyaris memunahkan seluruh pohon kopi. Sampai 80 tahun kemudian tidak ada usaha untuk mengembalikan kejayaan pertanian kopi di Pengalengan. Barulah kemudian pada tahun 2000 awal mulai ditanam kembali.
“Nah begitu ceritanya bapak-bapak. Ini merupakan cerita sedih. Sekarang kami dan teman-teman dari Odesa-Indonesia ingin membuat cerita gembira tentang kopi untuk bangsa,” terang Basuki.
Basuki juga menunjukkan hasil kajian Odesa-Indonesia di Kawasan Bandung Raya ini saja terdapat lebih 600.000 ribu area yang ketinggiannya di atas 1000 M.dpl sehingga sangat cocok untuk perkebunan kopi.
Pendampingan Odesa
Untuk membangkitkan pertanian kopi, Odesa-Indonesia bergerak dengan pola “membumi dalam kebersamaan”, artinya benar-benar memahami ruang lingkup alam dan kehidupan para petani, termasuk ruang lingkup teknologi dan pemasaran dan harus bergerak secara bersama-sama melalui keorganisasian yang baik.
“Itulah kenapa kami harus memulai dari pembibitan. Sebab kami percaya spesies yang unggul akan lebih bagus dalam produktivitas. Dengan bibit yang baru dan baik, nantinya tanaman kopi akan lebih bisa hidup secara baik, dan kemampuan menghasilkan panen lebih besar setiap pohon. Target kami setiap pohon bisa memanen 8-10 kg pada usia pohon di atas 5 tahun. Semuanya sudah ada ilmunya, kita manfaatkan itu,” jelasnya.
Basuki juga mengatakan, ilmu pengetahuan pertanian ini sebenarnya tidak sulit karena untuk urusan budidaya tanaman, para petani memiliki pengalaman matang. Hanya saja dalam hal perawatan, pemetikan, pengolahan pasca panen sampai marketing harus terus digalakkan dengan program pendampingan yang berkelanjutan dan bukan sekadar pelatihan. Bahkan untuk mencapai kemajuan di kalangan petani, Odesa-Indonesia hanya percaya program pemberdayaan itu berhasil jika dilakukan pendampingan secara berkelanjutan dan melebar ke arah penyelesaian urusan kesejahteraan warga se kampung.
“Karena di Buntis ini sebagian sudah punya kebun kopi, maka pendampingannya langsung pada pasca panen. Perlu dimulai tanaman lain, yaitu tanaman obat Kumis Kucing yang bisa dipanen lebih cepat dalam masa 3 bulanan. Kita nanti juga dorong tanaman jenis lain untuk penghijauan, dan juga tanaman skala pekarangan dengan polybag agar petani punya penghasilan tambahan,”jelasnya.-Sadur Sentosa.