Agribisnis dan Keramahan di Masjid de la Vega

Oleh: IRAWATI PRILLIA. Ibu rumah tangga merangkap pekerja laboratorium. Tinggal di sebuah desa bernama Stockheim, kota Düren, di barat Jerman. Kumpulan catatannya bisa dibaca di https://www.keluargapelancong.net/

Setiap kali mengunjungi kota-kota baru, negeri-negeri baru, kami usahakan untuk mengunjuni salah satu atau dua masjid setempat. Jika memungkinkan ya ikut sembahyang berjamaah, atau setidaknya sembahyang tahiyatul masjid.

Di masa pandemi, kunjungan semacam ini menjadi momen langka. Banyak masjid tutup atau membatasi jam buka. Saat berkeliling beberapa kota Andalusia di bulan Oktober tahun ini, kami tak selalu beruntung ketemu masjid yang buka di luar jam sholat wajib.

Masjid
Masjid

Mengetahui ada masjid tak jauh dari penginapan kami di Granada, kami bertiga, saya, suami, dan anak lelaki, putuskan mampir sebentar siang itu. Di googlemaps, namanya tertulis dalam bahasa Spanyol: Mezquita de la Vega. Letaknya di Atarfe, sekitar 10 km darah barat laut kota Granada.

Dari foto-fotonya, masjid ini kelihatan kecil, tapi cantik sekali. Versi moderen masjid yang pernah kami saksikan di Maroko. Hari itu, kami memiliki jadwal masuk ke Alhambra di sore, masih ada waktu beberapa jam sebelum menuju Alhambra.

Masjid de la Vega berada di pinggiran sebuah kompleks industri. Mesin-mesin pabrik tetap membahana di hari Minggu. Kami memarkir kendaraan sewaan tidak jauh dari pagar sebuah pabrik. Lalu naik tangga ke arah jalan kecil di depan masjid. Pintu gerbangnya digembok.

Bangunan masjidnya tidak terlalu besar, dengan taman memanjang dari pagar ke arah bangunan utama. Tamannya sangat rindang, pohon-pohon pinus menjulang, burung berkicau tiada jeda. Tak ada seorang pun terlihat meski pintu masjid tampak terbuka. Seekor anjing sedang duduk-duduk di dekat pintu gerbang.

“Ya, sayang deh, masjid ini tutup juga,” ujar saya agak kecewa.

Kami bersiap pergi setelah memotret bagian depan dan taman masjid dari luar pagar ketika seorang bapak usia 60-an tahun melambai dekat pintu yang terbuka. Beliau mengatakan sesuatu. Kami tak mendengar sebab jaraknya jauh, hanya balas melambai. Beliau mendekat, membuka gembok gerbang.

“Speak Spanish, Arabic?”

“No, English,” saya jawab.

“Kalian mau sholat di sini?”

“Iya, kalau kalian perbolehkan….”

“Oh, tentu saja. Kalian tahu masjid ini dari mana?”

“Dari googlemaps.”

“Masya Allah!”

Beliau, bapak asal Maroko yang kemudian kami ketahui bernama Nasir mengajak kami masuk. Menunjukkan ruang sholat lelaki, ruang sholat perempuan, dan ruang berwudhu bagi perempuan.

Ruangan khusus perempuan berada di bagian belakang gedung. Saya taksir luasnya sekitar 50-60 meter persegi. Setengahnya tertutup karpet agak usang. Demikian pula dengan sajadah-sajadah di atasnya. Samping sajadah terdapat tumpukan kursi dan onggokan barang-barang lain.

Walau terlihat kurang rapi, ruangan tersebut bersih. Bagian depan, setelah pintu masuk, kita langsung berada di ruang sholat lelaki. Ruang sholat lelaki sedikit lebih luas dibanding ruang sholat perempuan. Di sebelahnya terdapat toilet serta satu ruangan lebih kecil, sepertinya ruang belajar.

Kami keluar setelah mengisi kotak infak sekadarnya. Memotret dan berswafoto di depan bangunan dua lantai berwarna putih ini. Bersiap-siap akan pamit. Nasir sedang memasang meja dan kursi di halaman.

“Saya sedang merebus air. Kita minum teh bersama,” katanya.

Kami langsung ditinggal pergi sebelum sempat protes. Seorang bapak tua lainnya muncul dari bangunan samping masjid. Memperkenalkan diri sebagai Shuaib. Seorang muslim asal Spanyol, mualaf sejak 40 tahun lalu. Bahasa inggris Shuaib patah-patah, akan tetapi kami tetap nyambung ketika mengobrol. Berbincang sejenak, Shuaib mengajak kami ke halaman belakang masjid.

Mengikutinya, kami akhirnya paham maksud ajakannya. Tak lama, terdengar suara aneka binatang ternak. Belasan domba mengembik ketika Shuaib menyapa. Demikian pula dengan ayam-ayam betina dan seekor angsa di kandang sebelahnya.

Saya melihat tumpukan kompos dan wadah penampung air. Kami berjalan lagi ke halaman belakang masjid nan luas memanjang. Mestinya luasnya lebih dari dua ribu meter persegi.

“Ini kebun milik masjid. Semuanya dikelola secara natural, ekologis,” Shuaib mulai bercerita tentangnya.

Beliau menjelaskan satu per satu komoditi yang mereka tanam. Tak jauh dari kami, Nasir memetik buah kesemek alias buah Kaki dalam bahasa setempat. Keranjang di dekat kakinya telah penuh buah delima. Dia tertawa ketika saya katakan baru kali ini melihat pohon buah kesemek dari dekat. Di Jerman, kami membeli buahnya di supermarket, saya bilang.

Pekarangan Masjid
Pekarangan Masjid

Mereka menanam aneka sayuran, buah-buahan, tanaman herbal. Satu dua komoditi saya kenal. Seperti daun kale, labu, pohon zaitun, swisschard, daun mint. Menurut Shuaib, tiga orang mengelola kebun, dibantu oleh beberapa sukarelawan. Hasilnya dibagikan gratis kepada anggota komunitas.

Sesekali mereka menjual daun mint kepada jamaah sholat Jumat. Mereka membeli petak tanah di sebelahnya, berencana mengelolanya sebagai kebun juga. Meski tanah di sana terlihat kering sebab beberapa lama tidak turun hujan, Shuaib mengatakan, mereka tidak memiliki masalah dengan pengairan. Muslim Al-Andalus dahulu sangat berjasa dalam menciptakan sistem pengairan lahan pertanian, kata Shuaib.

Kembali di halaman depan, kami duduk di bangku yang disediakan Nasir. Di meja, tertata sebuah nampan. Di atasnya berjejer alat makan, gelas-gelas teh di samping dua teko logam, serta kesemek dan delima yang baru dipetik. Imraan, anak lelaki saya, kerasan bermain-main dengan kucing-kucing masjid. Ada 20-an kucing, 2 anjing, tinggal di area masjid. Anjing yang sebelumnya menjaga di depan masjid, masuk dan duduk di dekat kami.

Abdulmalik, muslim Spanyol lainnya baru tiba, menyapa kami sebentar. Beliau langsung bekerja di kebun. Shuaib datang lagi membawa sepiring telor mata sapi, produksi ayam mereka hari itu. Nasir menata sekeranjang roti hangat, madu, mentega, potongan keju, sebotol kecil zaitun asli di atas meja. Lalu ia menuangkan teh campur daun mint khas Maroko ke gelas-gelas.

Minyak zaitun selalu tersedia di tempat-tempat makan di Andalusia. Selama perjalanan, entah berapa ratus ribu atau bahkan juta hektar pohon zaitun kami saksikan. Mereka memanfaatkan minyak zaitun sebagai olesan roti atau memasak. Buahnya diacar dan dikonsumsi. Kami makan dan minum bersama, meneruskan cerita.

Nasir, asal kota Marakech, Maroko, sudah sekitar 25 tahun di Spanyol. Sebelumnya merantau 6 tahun di Italia. Dekat kota Rimini, katanya. Nasir familiar dengan tanaman herbal. Sambil makan, beliau menerangkan beberapa manfaat buah delima. Kulit delima direbus, diminum untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan virus, katanya.

Shuiab sudah pernah ke Malaysia, dan ingin ke Indonesia, insyaallah. Shuaib adalah ahli gerabah. Rumah sebelah masjid, ternyata adalah workshop miliknya. Ia kelola bersama anak lelaki dan seorang pekerja lainnya. Hasilnya bermaca-macam.

Mulai bikin genteng, ubin lantai, sampai art work, seperti ubin-ubin keramik masjid, guci dan suvenir keramik Andalusia. Kami sempat menengok workshop tersebut. Salah satu karya Shuaib, pemilik merek Al-Yassar, kami lihat di salah satu sudut bazar Alcaiceria di pusat kota Granada.

Sementara itu, Mezquita de la Vega berdiri sejak tahun 2011. Granada merupakan salah satu kota di Spanyol dengan jumlah penduduk muslim terbanyak, Shuaib menerangkan. Di kota Granada dan wilayah sekitar terdapat setidaknya 10 masjid.

Saya bilang, “Kami pikir tadi masjid ini tutup, karena pandemi.”

“Masjid ini adalah sebuah zawiya, terbuka bagi siapa saja. Saat ini jamaah sholat memang tidak sebanyak biasanya, kecuali saat Jumaatan. Tapi kami selalu buka,” jawab Nasir.

Bagi sebagian komunitas muslim, sebuah zawiya tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Namun juga tempat sebuah komunitas melakukan beragam kegiatan. Beberapa zawiya, bahkan menyediakan tempat tinggal bagi musafir. Kami pernah mengunjungi sebuah zawiya seperti itu di Jerman. Yang salah satu musafirnya datang dari Argentina.

Waktu menjadi musabab perpisahan kami siang itu. Kami pamit, meneruskan perjalanan ke Alhambra. Walau tak lama, pertemuan dengan mereka sungguh menghangatkan hati. Kejutan dari Sang Kuasa. Bagi kami, agar merasakan keramahan saudara kami di bumi Al-Andalus. Anak lelaki saya saking terkesannya sampai ingin datang lagi ke masjid ini. Semoga saja ada rezekinya.[]

KUNJUNGI KELUARGA PELANCONG

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja