Kenangan Pemilu 1971: Kepala Bocor (2)

Pemilu 1 971 adalah langkah penting bagi pemerintahan orde baru untuk memperkuat legitimasinya. Ada sepuluh peserta yang ikut kompetisi dalam hajatan demokrasi tersebut, yaitu Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Golongan Karya, Partai Kristen Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Nasional Indonesia, Partai Islam Perti, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Sembilan kontestan jujur mengakui dirinya partai, satu lagi ogah disebut partai.




Inilah persentuhan pertama kalinya saya dengan dunia politik. Dalam keceriaan kanak-kanak, saya mengikuti kegiatan Bapa. Tapi Aktivitasnya tidak sebagai juru kampanye partai politik, melainkan sebagai panitia pemilu tingkat desa. Saya ingat, waktu itu ikut Bapa naik delman keliling ke beberapa kampung mengajak masyarakat memberikan hak pilihnya di hari pencoblosan.

Dengan pengeras suara merek “Toa” yang dipinjam dari masjid, Bapa berteriak-teriak menjelaskan hal ihwal pemilu. Tentu saja sambil membagikan selebaran dan contoh gambar peserta pemilu. Tapi belum jauh perjalanan, hujan turun lebat. Kami (saya, Bapa, kusir delman, dan seorang lainnya) basah kuyup. Kami pulang sebelum pekerjaan tuntas.

Ketika pegawai negeri sipil diharuskan bersikap monoloyalitas dengan hanya mendukung Golkar, Bapa sebagai PNS guru malah memilih Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Pilihannya pada Parmusi, selain sangat ideologis juga semacam romantisme pada kejayaan Masyumi di era Soekarno. Parmusi dianggap jelmaan Masyumi.

Meski demikian, Bapa tidak pernah berkampanye untuk Parmusi. Paling banter, memasang alat peraga dari seng berukuran cukup besar di pinggir jalan depan rumah. Selepas Pemilu 1971 Parmusi berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan, alat peraga berlambang bintang bulan itu berpindah tempat dan fungsi menjadi pelapis daun pintu kamar mandi.

Bagi saya, peristiwa politik tahun 1971 itu tidaklah luar biasa. Ada yang lebih membekas pada fisik dan ingatan saya. Yaitu luka di kepala, tepatnya di dahi sebelah kanan. “Peristiwa berdarah-darah” itu bukan akibat tawuran antar-pendukung parpol, melainkan tertumbuk batu ketika sedang main “rorodaan” dengan kakak saya.

Rorodaan adalah gerobak kecil buatan Bapa untuk mengangkut barang, tapi juga bisa dijadikan mainan. Di bagian depan kiri-kanan terdapat kayu memanjang sebagai penarik atau pendorong. Pada hari “H” pemilu itu saya bergantian dengan kakak menjadi penarik dan penumpang rorodaan. Saat giliran saya jadi penumpang dan rorodaan tengah melaju, saya merunduk ke bagian depan rorodaan terlalu rendah dan “bruuk…” kepala menumbuk batu jalanan.



Saya menangis dan kakak panik melihat darah mengucur. Sementara Bapa dan Mamah sedang berada di tempat pemungutan suara (TPS) di kampung sebelah. Entah siapa yang memberi tahu, tidak lama kemudian Mamah pulang dan menangani luka saya.

Kelak, belasan tahun kemudian, luka di dahi kanan itu ada temannya di pelipis kiri. Luka tersebut akibat tabrakan saat naik Vespa sepulang sekolah (SMA), tidak jauh dari Terminal Pancasila. Saat itulah untuk pertama kalinya saya mengalami pingsan, digotong orang ke rumah sakit dan dikira sudah tidak bernyawa. -Enton Supriyatna Sind

Keranjang Belanja