Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia. IG Faiz Manshur IG Odesa Indonesia
Kawasan Bandung Utara adalah kawasan bermasalah. Masalahnya terletak pada kerusakan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud terkait dengan dua hal besar, yakni alih fungsi lahan dari huma dan hutan menjadi hunian dan alih fungsi menjadi lahan pertanian. Dampak daripada kerusakan lingkungan yang puluhan kali dirasakan masyarakat adalah banjir. Itu yang dipandang secara umum. Namun di luar banjir air dan banjir lumpur, dua dampak lain menyertai, yakni kehilangan produksi oksigen dan hilangnya produksi alamiah air bersih.
Bumi telah pucat; tanah cokelat kemerahan adalah tanda tanah yang sakit. Mustahil ada kehidupan sehat di bumi yang sakit. Masyarakat petani, pelaku utama kebudayaan karena mau berbudidaya di Kawasan Bandung Utara itu telah lama hidup dalam keterbelakangan dan kemiskinan. Air bersih semakin susut; ditambah pembangunan untuk memenuhi hak dasar rakyat seperti sarana pendidikan dan sarana kesehatan lambat dikerjakan. Musim kemarau kekeringan melanda, pekerjaan pertanian lekat dengan problem pengangguran terselubung. Saat musim hujan mereka bisa bertanam, sementara warga kota Bandung kebanjiran air bah berbonus lumpur. Adapun mereka yang mampu membangun villa, hotel, rumah besar dan tempat wisata bisa numpang waktu menikmati panorama alam.
Problem telah meluas karena bertahun-tahun tidak ada solusi mendasar karena masalah dipandang pada hilir, yakni banjir. Sedangkan penyebab banjir ini tidak banyak yang tahu secara lengkap unsur-unsur sektornya. Kalaupun pemerintah tahu, cara memandangnya parsial dan tak punya pedoman kerja.
Video Krisis Ekologi Bandung Utara
Setiapkali persoalan Kawasan Bandung Utara menyeruak ke media masa, yang dominan dari pembahasan selalu berkait dengan peraturan daerah, peraturan kawasan, izin pembangunan. Itu sungguh tak salah karena sekalipun urusannya multidimensional, nomenklatur pejabat harus berurusan dengan peraturan. Adapun soal praktik pertanian monokultur menjadi persoalan kedua yang itu juga sering tidak serius dilihat secara sungguh-sungguh melalui kacamata proses perubahan tradisi kerja para petani.
Kemudian sekarang semua menjadi bingung. Istilah Kawasan Bandung Utara (KBU) disebut krisis. Kata krisis ini menandakan persoalan serius. Para pejabat yang bersekolah makin pinter membuat istilah dengan menyebut multidimensi. Dengan kata lain, masalah sudah ruwet ditambah runyam dan akhirnya membuat banyak orang tergeli-geli.
Tapi menggunakan istilah multidimensi memang tampak keren. Sudah keren ya tidak perlu mendeskripsikan artinya. Toh masyarakat kita juga senang dengan istilah keren walaupun tidak tahu artinya. Dengan kata lain, membuat istilah baru itu strategi penting untuk menjawab pertanyaan. Soal problem nyata tidak perlu dijawab karena tak menguntungkan juga.
Kisah Tanah Merah Penyebab Banjir Lumpur Bandung
Barangkali saja kalau dideskripsikan lebih lanjut maksud dari kata multidimensi itu adalah,”supaya kami dimaklumi ketidakberdayaannya dan tidak disalahkan terus menerus, dan moga-moga tetap bisa menjabat tanpa kehilangan citra. Syukur-syukur dengan viralnya berita krisis KBU itu kami dapat anggaran lebih besar dan masalah tetap multidimensi berkelanjutan disertai anggaran turun lebih lanjut.”
Kalimat yang saya susun itu memang sadis. Pejabat dinas atau kepala daerah pastilah tersengat. Kok menuduh sembarangan. Ya mohon dimaklumi karena sekalipun saya tidak sekolah, saya ini kadang bisa meniru kaum intelektual menggunakan istilah secara ngawur tanpa ada hubungan dengan persoalan yang nyata. Saya melihat bahwa kalangan pejabat dan intelektual diam-diam sangat muldimensional dalam menyerap anggaran dari multisektor; terbukti banyak kegiatan di akhir tahun yang menghubungkan multisektor dengan banyak rapat dan sosialisasi baik di kota maupun di desa yang tujuannya bukan menyerap air hujan, melainkan menyerap anggaran. Bahkan datangnya bibit-bibit tanaman yang kecil-kecil belum layak tanam, yang kalau diperlihatkan petani bisa membuat geli multidimensi karena bibitnya mudah mati.
Melihat Padang Pasir Bandung Utara
Beranjak dari multidimensi, muncul istilah baru. Sang pembaharu istilah itu adalah Bupati Kabupaten Bandung Bapak Dadang Nasir. Ketika Kertasari dihajar banjir jumat 6 Desember 2019 lalu, Bapak Bupati Kabupaten Bandung mengatakan para petani serakah karena menanam sayur seluruhnya tidak mau menyisakan lahan untuk tanaman keras.
Eh bapak!
Para petani itu mengalami masalah multidimensi juga lho. Bibit tanaman anekaragam hayati tidak tersedia pak. Kalau beli mahal bapak. Barangkali petani itu sama dengan para politisi yang problemnya terkonsentrasi pada anggaran. Kalau tidak punya anggaran ya sudah, tidak usah repot-repot mengusahakan kegiatan, apalagi repot-repot merintis usaha dari kecil.
Lahan Kertasari itu luas butuh berjuta-juta bibit tetapi tidak ada suplay bibit yang mencukupi sementara kebutuhan tani penggarap juga multidimensi. Sementara google menunjukkan bahwa Bapak Bupati Bandung dan juga Kementrian Pertanian sangat rajin tampil di media massa atas publikasi kesuksessan tanaman hortikultura. Lihatlah bapak. Betapa berita itu tidak bohong.
Berapa porsi anggaran untuk menggenjot sayuran, termasuk istilah-istilah beken Pemkab Bandung, juga Kabupaten Bandung Barat yang sangat keren menampilkan berita ekspor sayuran, ekspor bawang, sentra bawang putih dan seterusnya? Berapa jumlah bibit pertanian buah-buahan untuk lahan pertanian berbukitan? Berapa biaya dikeluarkan untuk itu? Sementara di setiap kawasan pertanian tak ada pembibitan yang bisa merutinkan petani mendapatkan bibit tanaman yang dibutuhkan seperti bibit okulasi nangka, sukun, alpukat, sirsak, dan jenis tanaman lain yang bisa mengatasi erosi.
Kalau Bapak Ridwan Kamil sih lebih elegan dan sukses menjawab isu Kawasan Bandung Utara. Bisa menyalahkan kepala daerah bawahannya agar tak mudah memberi izin pembangunan, kemudian serta merta menggoreng isu 25juta bibit pohon tanpa menyiapkan pembibitan, dan isu besar 25juta pohon itu untuk Jawa Barat sedangkan aksi tanam di Kawasan Bandung Utara sejumlah 17.000 pohon.
Menurut saya ini bagian dari kecerdasan emosional karena mampu membuat orang bersimpatik penuh emosi dan citranya bagus tanpa kendali. Ya mungkin hanya saya yang emosional memperkarakan jumlah bibit. Soalnya saya ini terkadang lupa berpikir multidimensional bahwa untuk kegiatan apapun dari seorang pejabat itu harus mengutamakan seremoni multidimensi sehingga membuat banyak orang geli.
Saya ini sering ketularan petani, hanya tahu bahwa sekian meter lahan bisa ditanami sekian pohon, sekian hektar untuk sekian persennya bisa ditanami pohon sekian, dan saya hanya berpengetahuan dari realitas, terdapat banyak lahan mangkrak yang bisa ditanam. (Eh, ngomong-ngomong lahan kota Bandung di sebelah utara yang mangkrak masih ada lho. Ndak ditanami juga). Saya semakin geli kalau tanah mangkrak milik negara itu menjadi bagian dari problem multidimensi. Saya hanya tahu kebutuhan petani yang telah lama menunggu bibit tetapi mereka tidak berpikir multidimensional sehingga kerjanya hanya menunggu para pemimpin beraksi.
Masalah ini saya komparasikan dengan seorang pembibit kopi level kerja desa yang membibit kopi 200.000 bibit dalam 3 tahun terakhir dan sudah ditanam di perbukitan Singdanglaya, Cilengkrang dan beberapa desa Kecamatan Cimenyan. Kemudian kepada seorang pembibit yang sedang sibuk membibit kelor dan kopi menjawab bahwa program pembibitannya dalam bulan Desember 2019 hingga Pebruari 2019 memiliki target 75.000 bibit tanaman keras.
Saya tidak kagum terhadap pembibit kelas desa ini karena itu dikerjakan tanpa pemikiran multidimensi. Beda dengan bapak-bapak pejabat yang anggarannya banyak tetapi berpikir multidimensi sehingga anggaran dipecah-pecah sampai hancur tetapi menghasilkan bibit-bibit pencitraan besar. Intinya para petani ini hanya bisa bekerja. Soal ada wartawan meliput atau tidak, mereka tidak berpikir multidimensional, apalagi rasional menghitung peningkatan elektabilitas. Makanya saya kagum dengan Bapak Gubernur yang bisa menyediakan bibit dalam jumlah sedikit—itupun tanpa program pembibitan—tetapi bisa menghasilkan bibit pencitraan yang aduhai menawan bermulti-multi nitizen dibuat terpana karena alam samangking hijau ketika dilihat di layar ponsel.
Barangkali Bapak Gubernur ini memang perlu mendorong para pembibit berdigital supaya untuk mendapatkan citra yang keren tidak usah membibit dalam jumlah banyak yang penting sedikit usaha panen citra berjuta-juta. Saya tidak perlu membayangkan bahwa seorang Bupati Seperti Pak Dadang Nasir harus tekun bekerja mendesain pembibitan untuk setiap desa sehingga nanti para petani di setiap desa itu lebih mudah dan murah mendapatkan bibit tanaman yang dibutuhkan. Kelewat lancang saya kalau begitu. Apalagi mendorong Bapak Dadang Nasir juga Bupati Kabupaten Bandung Barat menggeser anggaran iklan atau memotong anggaran perjalanan dinas untuk anggaran pembibitan yang biasanya untuk pembibit level desa sebenarnya hanya butuh 150-200 juta cukup.
Masalah pejabat apalagi Gubernur itu harus dimaklumi karena sudah multidimensional sehingga alokasi kerja pembibitan lebih baik diarahkan untuk bibit-bibit pencitraan di media massa. Cerdas sekali program digitalisasi e-tanam itu karena dengan digitalisasi tampak keren, websitenya juga tampak hijau. Merintisnya sudah dua tahun. Kecerdasan itu khas wirausahawan Indonesia yang biasanya meletakkan problem marketing dan mengabaikan usaha produksi.
Menjadi wirausahawan katanya, harus mampu mengatasi problem marketing. Kalau sudah bisa marketing kemudian bingung apa yang mau dijual, lalu habis waktu mencari barang baku produksi itu urusan lain. Yang penting tidak berproduksi karena berproduksi itu mensyaratkan mentalitas tangguh. Apalagi sekarang era digital; langsung we marketing online. Jualan isu, alias angin. Dan saya tidak menyarankan kepada Bapak Gubernur untuk membibit karena urusannya sungguh tidak keren; harus berlepotan dengan tahi ternak, tanah penuh cacing, kepanasan dan kehujanan. Sementara kalau merintis digital itu mudah urusan; bekerja dari ruangan tanpa kotor, bisa ngopi enak. Soal bahwa aktor penghijauan yang utama sebenarnya adalah petani, sementara petani tak punya ponsel itu urusan lain.
Hidup di era milenial dengan problem multidimensi barangkali memang tak perlu mementingkan urusan tanah, yang penting ponsel awet baterai, wifi lancar, dan kita bisa menggulirkan isu multidimensi. Teknokrat memang harus kokoh dengan prinsipnya.Nanti kita bisa sebut petani yang tidak nurut program teknokrat adalah petani ketinggalan zaman yang menjadi bagian dari problem multidimensi.
Kalau petani masih tanam sayur tanpa menyertakan tanaman keras mari kita sebut serakah. Urusan selesai. Kalau masih muncul persoalan multidimensi, sesama kepala daerah bisa saling berantem. Lumayan, rakyat punya tontotan. Selanjutnya mari kita hitung elektabilitas. Soal ada yang geli itu mungkin bagian dari persoalan multidimensi. []