Suatu siang di bulan November. Di daerah pegunungan kawasan Kabupaten Bandung Utara yang semakin rusak itu, masih ada satu dua mata air, meski sudah sangat jarang. Airnya sangat jernih. Setelah lelah berjalan, haus menyerang. Saya berani minum langsung, mungkin sekira 1 liter.
Segar sekali. Alhamdulillah perut tidak sakit dan bisa lanjut perjalanan menjelajah perkampungan. Tak jauh dari lokasi mata air itu, warung-warung kecil ada di kiri kanan jalan. Yang dijual di situ antara lain: air kemasan! Ironi ekonomi pedesaan.
Kata teman saya, budayawan Hawe Setiawan, urang Sunda menyebut tanah tempat hidupnya dengan istilah “lemah cai” orang Indonesia menyebutnya “tanah air”. Mungkin cuma Sunda dan Indonesia yang menyebut tanah dan air ini (atau ada lagi?). Beda dengan barat yang menyebutnya ibu pertiwi, motherland, fatherland dll.
Tapi begitulah tanah dan air diperlakukan.
Maka nikmat mana yang kamu dustakan?