HUT RI:Strategi Budaya Menuju Kedaulatan Pangan

CIMENYAN: Biasanya setiap tanggal 17 Agustus, di setiap RW banyak lomba: balap karung, balap kerupuk, panjat pinang dan sebagainya. Mereka dengan gembira ikut pesta rakyat ini karena kecintaan kepada tanah air. Jadi, lomba 17-an sudah jadi budaya semua rakyat Indonesia. Di Kawasan Pasir Impun, tepatnya Kampung Sekebalingbing Kec. Cimenyan Kab. Bandung, Yayasan Odesa Indonesia menambahkan hal baru dalam even budaya ini: Lomba Makan Daun Afrika, si daun pahit! termasuk menampilkan Kelor pada acara karnaval.

Daun Afrika (Vernonia Amygdalina) sudah banyak ditulis dalam jurnal-jurnal akademis dunia. Mempunyai khasiat kesehatan yang cukup tinggi, seperti halnya kelor (moringa oliefera). Di sekitar Bandung, tanaman-tanaman obat seperti ini berserakan di mana-mana menjadi tanaman liar yang mengganggu kebersihan dan keindahan halaman, sehingga dibuang percuma. Sementara, banyak penduduk yang terkena diabetes, stroke, liver atau kurang gizi. Ketika sakit itulah mereka mengonsumsi obat-obatan. Bahkan ada obat impor, yang sebetulnya bahan farmasinya dari bumi Indonesia.

Kita harus memperkenalkan manfaat dari tanaman-tanaman yang tumbuh di bumi Indonesia sendiri. Setelah diperkenalkan, kemudian dibiasakan untuk dikonsumsi. Setelah kebiasaan itu terbentuk, maka akan jadi budaya baru: budaya kembali ke alam sendiri; budaya berdaulat atas pangan dan obat-obatan yang tumbuh di kampung halaman.

Odesa-Indonesia, Ketua RW, dan Karang Taruna bekerja sama membudayakan kembali tanaman ibu pertiwi. Pemuda-pemuda taruna karya membangun sebuah tank yang dinamai Tank Taoci (Tanaman Obat Cimenyan). Maka Tank Taoci pun ikut pawai kampung dan dapat sambutan meriah. Tank itu simbol ketahanan, dan tanaman obat adalah bagian dari pangan. Jadi Tank Taoci itu simbol ketahanan pangan, ketahanan kesehatan, dan kecintaan terhadap tanah air sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang harus kita kelola dan syukuri.

Di kawasan Pasir Impun yang tanahnya subur dan berhawa sejuk itu, anak-anak dan ibu-ibu ikut serta dalam lomba makan daun Afrika: daun yang sehari-hari di depan mata, tapi terasingkan karena ketidak tahuan. Ibu-ibu dan anak-anak adalah unsur peting dalam pembudayaan tanaman pangan. Ibu adalah chef rumahtangga yang harus selalu dikenalkan dengan informasi-informasi kesehatan rumah tangga, khususnya dalam hal makanan dan obat. Anak adalah masa depan. Anak adalah harapan bangsa. Tentu mereka harus sehat dan kuat, tidak letoy.

Amerika tahun 1929 terkena depresi “the Great Malaise”, dan hampir bangkrut. Mereka tak ingin kehilangan masa depan anak-anaknya. Untuk mendongkrak gizi, Amerika harus membudayakan makan bayam. Maka dibuatlah komik dan film Popeye. Pesannya: makanlah bayam supaya kuat. Kendati diketahui bahwa komposisi gizi bayam tidak setinggi yang dikatakan, tapi makan bayam kemudia jadi budaya anak-anak.

Korea juga tengah menggalakkan sayur asli Kimchi. Mereka membuat film kartun anak-anak Kimchi Warrior. Salah satu episode yang menarik adalah “Kimchi Warrior vs Malaria.” Dan kurang ajarnya (he hee….) salah satu episodenya adalah tentang ketidakberdayaan orang India menghadapi jutaan nyamuk malaria yang mengepung kompleks Taj Mahal. Maka datanglah Kimchi Warrior dan membasmi jutaan nyamuk itu.

Pesannya dua: Kimchi adalah obat penahan malaria, dan bahwa Korea akan menduniakan Kimchi. Sila lihat Youtube tentang Kimchi Warrior ini. Maka sebetulnya, ketika kita akan memberdayakan masyarakat, atau ingin menegakkan kedaulatan pangan, kembalilah kepada kearifan lokal tanah air. Dekatkan setiap warga dengan tanah airnya, jangan diajak mengonsumsi produk luar kalau tidak terpaksa. Kemudian, susunlah sebuah strategi budaya. Insyaallah, dengan keragaman hayatinya yang luar biasa, Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia. Nanti kita bisa menepuk dada: Indonesia Feeds the World! #Odesa [Budhiana Kartawijaya]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja