Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia IG Faiz Manshur IG Odesa Indonesia
KAPAN KITA BERBAGI EMPATI?
Kawanan monyet bisa berbagi tanpa belajar ilmu sosial. Kawanan sapi bisa saling bersolidaritas membentuk lingkungan saat singa datang hendak menerkam. Dan orang-orang suku yang buta huruf bisa saling mengasihi tanpa perlu berpendidikan tinggi. Dan lebah bisa hidup makmur tanpa ketimpangan.
Soal berbagi kita mulai dengan pertanyaan ini:
“Sebaiknya kita berbagi setelah kaya atau saat ada orang lain membutuhkan pertolongan kita?”
Di antara kita, ada kecenderungan yang belum tuntas dalam mengambil jalan hidup menghadapi realitas sosial. Slogan “Manusia adalah makhluk sosial” dimiliki setiap orang, tetapi mengapa banyak orang modern cenderung a-sosial?.
Membantu Fakir Miskin Bertahan Hidup
Ada dikotomi yang perlu dipecahkan; satu pihak sedang merasa wajib menolong orang lain sesegera mungkin, satu pihak merasa lebih penting menunda tanpa kejelasan kapan membantu orang lain.
Masing-masing punya alasan. Orang yang aktif mendorong solidaritas pertolongan (sosial) punya argumen belas-kasihan (bisa jadi sekadar simpati, bisa pula empati) wajib dilakukan selagi melihat realita yang mengharuskan kita segera bertindak. Sementara satu pihak lagi merasa belum perlu melakukan karena tidak berguna atau merasa dirinya masih kekurangan.
Ada ilustrasi yang menarik untuk menggambarkan kecenderungan dikotomis tersebut. Pernah suatu hari seorang relawan di Odesa Indonesia menceritakan kalau temannya tidak lagi mau aktif berkegiatan mengajar anak-anak miskin di desa. Relawan ini bercerita kepada saya kalau temannya itu dilarang orang tuanya dengan alasan bahwa kegiatan mengurus orang lain itu belum perlu dilakukan. Ada ungkapan, “buat apa mengurus orang lain kalau mengurus diri kita saja belum bisa.” Kemudian saya tanya, lalu ngapain setiap sabtu dan minggu? Relawan itu menjawab, “paling juga nonton teve atau jalan-jalan.”
Haruskan Berempati itu Menunggu Kaya?
Saya juga teringat cara pandang seorang pengusaha yang pernah bilang di depan saya, “nanti kalau kita sudah kaya, kita bisa berbuat baik. Untuk sekarang tidak usahlah kita berkegiatan sosial.”
Omongan itu saya ingat pada tahun 2007 silam. Itu artinya sudah 13 tahun lalu. Dan sekarang kekayaan dia meningkat berlipat-lipat, tetapi entah kenapa tak juga kunjung melakukan hal-hal yang sifatnya sosial. Bahkan dengar kabar, dirinya lebih banyak berinvestasi bisnis, mengembangkan dan terus mencoba mengembangkan kekayaan. Dan yang membuat saya miris, keluarganya amburadul karena keseringan konflik harta, alias tidak bahagia, alias tidak bisa mendorong survival berkelanjutan sekalipun dalam rumpun terbatas di keluarganya.
Dua kasus ini hanya contoh dari sekian banyak kecenderungan. Saya yakin teman-teman punya kasus yang berbeda, yang substansinya sama.
Jadi bagaimana kita melihat cara berpikir semacam ini?
Beberapa jawaban sering muncul dari kalangan intelektual kita dengan representasi pengetahuan psikologi. Misalnya menyatakan, bahwa kecenderungan orang lebih suka menunda-nunda perbuatan baik dengan serangkaian alasan itu karena punya kultur (cara pandang) yang diwarisi oleh lingkungan awalnya (keluarga) yang merasa bahwa orang lain merupakan ancaman, termasuk keluarganya sendiri. Kecenderungan rebutan warisan misalnya, merupakan simbol dari keluarga yang tidak mampu mengembangkan empati sosial tersebut.
Substansi dari “mengurus diri sendiri sebagai skala prioritas” sering dikatakan banyak pakar sebagai cara sempit berpikir atau ketidakmengertian mereka tentang keselamatan hidup homo sapiens yang hanya bisa dicapai dengan terus mengembangkan kebersamaan. Kemudian slogan “kaya dulu baru menolong” oleh banyak pakar dianalogkan sebagai cara survive reptil yang naluri empatinya minim. Reptil lebih suka mengutamakan dirinya dan salahsatu kesuksesan survive-nya ialah tidak berbagi makanan sekalipun pada kerabat atau temannya. Ringkas kata, survive-nya reptil tergantung pada individu. Dan manusia bukan reptil. Lain dari itu kita juga bisa belajar dari model survive spesies lain yang lebih dekat dengan survive-nya manusia, seperti kawanan monyet atau lebah.
Dua puluh tahun lalu, Daniel Goleman dengan dua bukunya, Emotional Intelligence dan Social Intellicence mencoba menjawab problem nalar kemanusiaan masyarakat modern. Kita mendapatkan banyak pengetahuan dari kedua buku tersebut. Tetapi kita juga boleh tidak puas. Dan belakangan muncul ilmu-ilmu baru yang melengkapi kelemahan psikologi dengan kajian biologi evolusioner. Yang menarik dari biologi evolusiner untuk melihat relasi manusia ini adalah, selalu terang menggambarkan kecenderungan-kecenderungan hidup spesies yang meliputi sejarah, naluri dan orientasi.
Membangun Cara Pandang Baru Empati
Salahsatu buku menarik yang saya baca adalah “Leaders Eat Least”, karya Simon Sinek. Buku ini menjadi bagian dari buku sebelumnya yang berbicara soal model kepemimpinan. Ia juga mahir menceritakan keterpurukan perusahaan karena masalah-masalah yang ditimbulkan kepemimpinan yang kurang baik dalam memperlakukan karyawannya.
Satu contoh misalnya, tidak berkembangnya perusahaan disebabkan tidak solidnya internal, bukan karena masalah eksternal; disebabkan oleh ketidakbahagiaan karyawan akibat tekanan kerja yang tidak manusiawi. Sinek juga mengolok-olok slogan para CEO atau Manager Perusahaan yang memegang prinsip “konsumen adalah raja” sementara karyawannya sendiri diberlakukan seperti budak. Lagi pula CEO dan Manager tidak pernah bertemu dengan konsumen, apalagi melayani. Mereka hanya mengenal statistik atau matrik dan memperlakukan angka-angka sebagai objek yang terus menjadi pusat perhatian. Tak pernah perusahaan itu memperhitungkan kemanusiaan. Karena tidak ada empati pada konsumen inilah kemudian pabrik tega gemar berbohong dengan iklan-iklannya.
Sinek juga mengkritik kekeliruan orang yang gemar menunda tindakan sosial. Ia katakan,” sebagai spesies yang lahir ketika sumber daya terbatas dan lingkungan sekitar amat berbahaya, kecenderungan alami kita adalah berbagi dan bekerjasama. Tetapi saat sumber daya berlimpah dan bahaya di luar sedikit, kita enggan berbagi dan bekerjasama. Sinek mencontohkan, Suku Badui atau Keluarga Mongolia nomaden tidak kaya raya, tetapi mereka senang berbagi karena mereka berkepentingan melakukannya.
Bantu Anak-anak Petani Miskin Bisa Sekolah
Untuk memperjelas bahwa solidaritas sosial dengan empati itu mesti dilakukan tanpa pertimbangan waktu apalagi menunggu kaya, Sinek punya argumen sosiologis bahwa, “semakin kaya kita, semakin tinggi pagar kita, semakin canggih keamanan kita untuk menjauhkan orang-orang, dan semakin sedikit yang kita ingin bagikan. Hasrat kita untuk memiliki lebih banyak, yang dikombinasikan dengan kurangnya pergaulan kita dengan “rakyat jelata”, mulai memisahkan atau membutakan kita dari kenyataan.
Akibat Pandemi Covid-19, sekarang ini sumber daya kita semakin terbatas. Kita melihat naluri-naluri berbagi semakin kuat. Tetapi itu bukan jaminan empati kita bisa tumbuh berkembang karena homo sapiens dalam menjalankan survive hidup tidak sekadar berpijak pada naluri semata.
Ada nalar yang bekerja mendayung biduk kehidupan kita. Dan nalar a-sosial reptil itulah yang perlu kita kaji. Kita ajukan pertanyaan, mengapa kita seringkali tidak mengembangkan naluri kemanusiaan, melainkan justru memakai standar hidup spesies lain yang biologinya tidak senyawa dengan kita?. Mengapa pula kita tidak melihat pola survive semacam lebah yang kolektifnya terbukti mampu mengatasi kesenjangan.[]
Konkret Berempati. Ragam Pilihan Menyalurkan Bantuan untuk Orang Miskin