Oleh ANDY YOES NUGROHO. Pendiri Odesa Indonesia. Mantan Aktivis Pijar Indonesia
20 Juli 2020 lalu, Peringatan Wafatnya Intelektual AE Priyono berlangsung dalam banyak kegiatan. Teman-teman intelektual banyak yang merasa kehilangan dengan sosok AE Priyono. Saking apresitifnya, diterbitkanlah dua buku tentang sosok, pemikiran dan kiprah AE Priyono.
Sahabat Usman Hamid dan Taufid Haddad banyak berperan menahkodai kerja kebaikan ini karena selain berhasil mengurus puluhan naskah dalam waktu yang cepat di tengah problem Covid-19, juga berhasil menghimpun donasi untuk dua buku yang tentu tidak murah harganya itu.
Membaca kedua buku tersebut saya terkenang tentang “ngototnya” Mas AE membumikan demokratisasi yang konkret untuk menjawab problem keterbelakangan masyarakat Indonesia.
Dengan segenap kemampuan ilmu dan kapasitasnya, ia sungguh serius mengambil jalan perjuangan sebagai seorang ilmuwan sekaligus seorang pergerakan.
Kami berduka karena ditinggal sahabat dan senior yang kami hormati. Para ilmuwan di Jakarta yang akrab dengan beliau juga berduka sampai-sampai banyak muncul tulisan tentang sosok dirinya. Itu menandakan bahwa para ilmuwan, terutama dari kalangan sosial, ekonomi, politik dan keagamaan menaruh perhatian besar terhadap dirinya.
Mas AE memang bukan selebritis sehingga wajar jika banyak yang bertanya mengapa dirinya mendapat banyak pujian dan penghormatan secara khusus. Bahkan bukunya pun sampai harus dua dalam waktu cepat dan diterbitkan secara bersamaan.
Buat saya, ini sebuah kewajaran, sebagaimana wajarnya kita menghormati ilmuwan sosial seperti Pak Arief Budiman yang menyusul Mas AE pada 23 April 2020. Semoga Pak Arief damai dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa.
Dua buku tentang Mas AE Priyono ini menjadi menarik kalau dibaca. Betapa hidup seorang ilmuwan itu mesti kokoh dengan prinsip.
Mas AE menjalankan hidup sebagai ilmuwan dengan segala resikonya, yakni tidak cepat tenar, tak selalu dihargai dengan materi yang setimpal, dan bahkan banyak gagasannya yang tak mudah diterima oleh publik luas.
Ini memang resiko. Ibarat barang dagangan, “barangnya unik berguna tetapi konsumen lebih memilih barang instan dan tentu saja murah.” Atau jika dengan ibarat lain, pemikiran Mas AE ini hanya menuju pada satu segmen khusus di mana selera konsumen itu memiliki karakter khusus, yakni market ideologis. Jadinya wajar kalau saat meninggal, penghormatan itu datang juga dari kalangan ilmuwan.
Saat menulis ini, saya sedang mempersiapkan acara peringatan #100HariAEPriyono di Temanggung. Juga dapat kabar di Yayasan Odesa Indonesia Bandung pekan ini juga menggelar diskusi ilmiah untuk target acara yang sama. Di Temanggung sosok Mas AE cukup dikenal karena pernah menjadi bagian dari Redaktur Buletin Stanplat yang dulu kami kelola. Banyak juga kalangan petani dan aktivis di NU atau Muhammadiyah yang bersinggungan dengannya.
Merenung sejenak…..
Apa pentingnya dua buku ini buat masyarakat lokal berkultur petani? Apa pula pentingnya buat mahasiswa pergerakan?
Ada beberapa catatan saya sehingga Anda penting membaca kedua buku ini:
1) Membangkitkan kesadaran keilmuwan kepada masyarakat desa. Bahwa hidup dengan ilmu pengetahuan dan amal pergerakan itu akan menjadikan diri kita lebih bermartabat. Intinya kalau kita mau berharga dalam pergerakan ya harus memakai ilmu. Kalau punya ilmu ya harus diamalkan.
2) Harus ada di antara kita yang merelakan hidupnya bergulat serius di garis keilmuan dan pergerakan karena dengan itu kehidupan politik bisa memiliki sosok pengontrol. Kita tahu, politik kita, atau meminjam istilah Mas AE, demokrasi kita belum memberikan kebaikan pada nasib rakyat kecil. Sementara para politisi yang berhasil duduk di kekuasaan belum bisa mewujudkan target demokratisasi. Karena itulah mengapa para politisi penting membaca buku ini, dan buku-buku pemikiran Mas AE lainnya. Dengan memahami gagasan Mas AE, otomatis kita akan mendapatkan cakrawala hidup berpolitik dengan nilai-nilai kebaikan.
3) Menjadi orang pergerakan itu berbeda dengan menjadi aktivis. Kalau aktivis itu kerjanya praktis, sementara orang pergerakan itu mengombinasikan antara teori dan praktik. Untuk disebut aktivis cukuplah rajin kumpul berorganisasi, bahkan cukup bergerombol dan demonstrasi. Tetapi menjadi orang pergerakan tak cukup itu karena orang pergerakan senantiasa hidup konsisten memperjuangkan gagasan dan terus menerus melakukan perbaikan dengan model-model berorganisasi yang inovatif.
4) Menjadi penulis dengan gagasan yang kuat itu senantiasa dibutuhkan, bahkan tak harus berpikir siapa yang membaca. Tentu maksud saya bukan kita boleh menulis ngawur sehingga pembaca gagal paham. Maksudnya adalah, bahwa gagasan berat harus diproduksi tetapi dengan kejelasan visi dan petunjuk praktis. Kita sebagai pembaca menyesuaikan nilai berbobot dari sang penulis. Yang dilakukan Mas AE tidak sembarangan menulis, melainkan dengan kesetiaan mengawal gagasan besar keindonesiaan. Gagasan-gagasan pemikiran itulah yang penting didistribusikan oleh kita sebagai sumber mata air pergerakan.
5) Bagi mahasiswa, kedua buku ini sangat penting direnungkan karena dengan segumpal catatan kehidupan Mas AE Priyono memberikan cermin kepada kita bahwa martabat hidup manusia ditentukan oleh karya, oleh ilmu. Dan ilmu yang tertulis itu adalah monumen penting yang akan melampaui usia manusia.
Mari membaca buku ini. Warisan Politik AE Priyono