Oleh Faiz Manshur. Ketua Odesa Indonesia.
Saya termasuk orang yang banyak berhutangbudi pada Cendekiawan AE Priyono. Melalui tulisan ini, saya menyampaikan tiga pengalaman saya berhubungan dengan Mas AE Priyono, yaitu kegiatan Gerakan Lokal Temanggung dengan Buletin Stanpat, Civic-Islam dan Yayasan Odesa Indonesia.
AE Priyono (62 Tahun). Nama ini terkenal dikalangan aktivis pergerakan nasional. Peminat kajian ilmu sosial barangkali bisa dianggap kurang lengkap jika tidak mengenal sosoknya. Ia seorang peneliti berkelas, seorang jurnalis yang mahir, pengamat politik yang kritis dan juga pegiat gerakan sosial yang aktif. Dari rangkaian banyak identitas itu saya lebih suka menyebutnya sebagai seorang ilmuwan sosial.
Saya mengenal namanya sejak masih di belajar Pesantren Sarang Rembang di tahun 1995, menjelang pindah ke Yogyakarta. Mengenal namanya dari buku Kuntowijoyo bersampul merah berjudul “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi” di mana AE Priyono sebagai penyunting dalam buku Karya Dr. Kuntowijoyo.
Buku itu saya pinjam dari Perpustakaan Masjid Baiturrahman Simpang Lima Semarang. Karena buku itu tebal dan saya kerepotan memahaminya, pasti butuh waktu lama sehingga saya buru-buru memfotocopy kemudian mengembalikan buku aslinya.
Membaca bidodata AE Priyono tertulis lahir di Temanggung, kebetulan satu Kabupaten dengan saya. Berlanjut di Yogya, saya masuk Perguruan Tinggi Islam Salaf (PTIS) Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta, setahun kemudian kuliah di Universitas Islam Indonesia,–dan sering nongkrong di sekretariat Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia di jalan Cik Ditiro, Pusat Kota Yogya yang dekat dengan Gramedia dan pasar buku di loak tempat saya sering membeli buku.
Dari seringnya mangkal di Sekretariat HIMMAH di era Gusti Nida Yasmin (Pemimpin Umum) dan Tedi Novan (Pimpred) itulah saya menemukan banyak tulisan Mas AE Priyono, termasuk membaca tulisan-tulisan senior sebelumnya seperti Dr. Moh.Mahfud MD, Dr. Hamid Basyaib.
Pemikiran
Mas AE Priyono adalah seorang penulis yang memiliki karakter. Ia minat besar terhadap sastra dan jurnalisme sehingga tulisan-tulisan matang. Sejauh pengenalan saya baik lewat tulisan maupun hubungan secara “lisan”, ada tiga hal yang mendominasi dalam “otak” Mas AE Priyono, 1) Ilmu Sosial, 2) Keislaman dan 3) Keindonesiaan. Tiga hal itu semuanya juga bukan dalam pengertian kegiatan keilmiahan belaka, melainkan memiliki “kepentingan” arah (visi) untuk praktik gerakan dengan tujuan (misi) membawa perbaikan nasib kaum papa.
AE Priyono bukan tipikal ilmuwan yang orientasinya sekedar untuk keperofesian, melainkan memiliki keperluan untuk perubahan sosial, terutama untuk kemanusiaan dan tegaknya keadilan sosial. Ia bukan dosen formal, bukan juga PNS, tetapi urusan pendidikan dan pelayanan terhadap banyak orang tak usah diragukan lagi. Penelitian, observasi, keliling lapangan dan menyediakan waktu berkumpul dengan aktivis pergerakan lokal sangat ia gemari.
Dedikasi untuk ilmu dan amalnya sangat tinggi, bahkan melewati kepentingan rumah tangganya. Boro-boro mikir kepenting kekayaan pribadi. Yang ia pikirkan adalah tanggungjawab rumah tangganya terpenuhi tanpa harus meninggalkan tanggungjawab sosialnya. Dan melakukan tanggungjawab sosial sebagai hal yang paling penting dalam hidupnya.
Sekalipun ia seorang sarjana hukum, tetapi saya tidak melihat ada ketertarikan bidang hukum. Hukum dalam pandangan Mas AE Priyono lebih pada usaha perwujudan keadilan sosial. Karena itu Mas AE Priyono lebih suka membicarakan Hak Asasi Manusia dan itupun selalu berkait dengan ilmu sosial atau keislaman.
Produksi Karya
Bagi saya, tulisan-tulisan Mas AE Priyono itu menarik karena –sekalipun tidak mudah dipahami secara serampangan- namun memiliki gizi yang tinggi. Ilmiah/berlogika kuat, tidak gegabah dalam urusan tafsir, dan memandu orang membuka kemungkinan memandang sesuatu yang cara lain.
Dalam urusan tulisan, Mas AE Priyono adalah sosok yang tekun, setekun Dr Arief Budiman terutama dalam menafsir pemikiran-pemikiran penulis Barat. Keduanya bisa merinci setiap esensi keilmuan dan memberikan intepretasi yang jernih. Beda antara Mas AE dengan Pak Arief Budiman adalah dalam hal mengambil model penulisan. Mas AE Priyono memilih gaya “ilmiah murni” sedangkan Arief Budiman lebih suka mengambil gaya “lebih mudah dipahami.”
Mas AE Priyono juga sangat berhati-hati dan tidak sembarangan dalam hal menulis. Ia selalu mengambil rujukan yang tepat. Kebetulan saya sempat mengurus naskah-naskah Om Remy Sylado. Baik pola kerja saat menulis maupun editing nyaris sama; super teliti dan bekerja menyertakan data atau fakta. Dalam memproduksi gagasan, keduanya sama-sama kuat, sama-sama ambisius, sama-sama membawa semangat pencerahan dan sama-sama edan dalam bacaan. Bedanya, Mas AE Priyono bekerja tanpa kontrol waktu sampai lepas dini hari, sementara Om Remy Sylado bekerja dengan membagi waktu secara tertib.
Produksi Gerakan Lokal
Sewaktu saya beraktivitas di Jakarta (tinggal Depok) tahun 2004, saya dihubungi oleh Andy Yoes Nugroho (Mantan Aktivis Pijar Indonesia) yang saat itu sedang getol usaha menggulingkan Bupati Temanggung Totok Ary Prabowo karena masalah Korupsi. Andy Yoes tahu saya karena saya menulis politik Temanggung. Melalui email, ia mengajak ketemu saya karena punya niat untuk urusan penulisan Temanggung.
Singkat kata kami bertemu di kontrakan Usaha Andy, di Utan Kayu Jakarta Timur. Di sana ada juga orang Temanggung, namanya Tri Agus Siswowiharjo, yang juga Mantan Aktivis Pijar pernah dipenjara karena mengedarkan SDSB, selebaran subversif dengan kepanjangan Soeharto Dalang Segala Bencana.
Terjadi pembicaraan pentingnya mendesain gerakan lokal dan menyisir beberapa orang Temanggung yang ada di Jakarta. Bagi tugas. Masing-masing menghubungi orang yang dikenal. Dan salahsatu tugas saya adalah menghubungi Mas AE Priyono.
Pak Tri Agus sendiri sudah kenal lama karena sering berjumpa untuk urusan kegiatan politik di Jakarta. Sedangkan saya sendiri sudah kenal tetapi hanya kenal melalui karespondensi, waktu itu dari Maillinglist Islam Liberal di mana saya sering diskusi bersama Mas Ulil Abshar Abdalla dan teman-teman. Seminggu kemudian, saya bertiga bersama Andy Yoes dan Tri Agus pun bertemu dengan Mas AE Priyono, lagi-lagi di Utan Kayu karena beliau waktu juga masih memiliki urusan dengan Komunitas Utan Kayu (TUK).
Beberapa bulan kemudian kami berhimpun bersama untuk mendirikan gerakan lokal. Dimulai dari Kegiatan menerbitkan Buletin Bulanan bernama Stanplat. Cepat sekali gerakannya. Banyak warga Temanggung dari millist yang dihimpun oleh Andy Yoes bergabung.
Dimulai dengan gosip politik kemudian menjadi sebuah pertautan kerja sosial. Mas AE, diluar dugaan saya, sangat semangat, sering kami bertemu hanya untuk urusan naskah gerakan lokal. Bahkan untuk banyak hal Mas AE juga terlibat mengorganisir orang Temanggung yang dikenalnya. Ada Mas Zaim Saidi tetangga yang kebetulan Asli Parakan Temanggung yang ditarik untuk terlibat termasuk untuk urunan.
Ada Mas Putut Trihusodo, asal Temanggung (waktu itu Wakil Pemimpin Majalah Gatra) yang “ditugaskan Mas AE Priyono” agar sering nraktir saat kami rapat, biasanya di Restoran “Nyam-Nyam” Kalibata dekat Kantor Majalah Gatra. Dan ada pula Mas Anif Punto Utomo, teman Mas AE di Republika yang ditarik untuk terlibat urusan penulisan.
Menyusul kemudian Profesor Djumali Mangunwidjaja dari IPB “diseret” Mas AE ikut ramai-ramai menulis. Dari komposisi secara tidak langsung terbentuklah semacam “himpunan jurnalis” Temanggung, ditambah Susi Ivvaty dan Lisdaniati (wartawan Kompas) yang juga terlibat bersama.
Waktu itu saya juga menghubungi senior saya Mas Al-Hadziq, mantan Wartawan Jawa Pos, (Sekarang Bupati Temanggung), tetapi waktu itu belum tertarik kegiatan Temanggung karena sibuk berpolitik di DPP Partai Kebangkitan Bangsa.
Di Temanggung sendiri ada Mohammad As’adi (wartawan Republika), kakak Zaim Saidi yang juga wartawan republika. Kemudian ada yang yunior, Agung Dwihartanto Mahasiswa di Yogya yang sedang getol belajar menulis. Ketika teman-teman Jurnalis dari berbagai kota asal Temanggung berhimpun, muncullah penulis-penulis lain, seperti Mukidi, Muhisom, Sujarwo Kaulani, Yusron, Abdullah Fakir, Joko Suseno, Muniroh, Ifa Hanifah, dll.
Mas AE Priyono bilang, lho, “orang Temanggung itu pada senang jurnalistik ya?”
Pendapat itu keluar sebagai bentuk kekagetan karena Mas AE ini, sebagaimana saya dan Tri Agus, kurang punya pengenalan yang baik tentang kampung halaman. Berbeda dengan teman-teman lain yang punya pemahaman lama tentang kampung halamannya.
Tadinya saya tidak berniat untuk mengajak Mas AE Priyono untuk sekadar urusan naskah. Tidak lebih. Tetapi rupanya Mas AE Priyono ini orangnya tidak mudah puas.
Sekalipun ia sangat sibuk urusan penelitian, penyuntingan buku dan tetek mbengek keusilan urusan politik, ia sangat serius berpikir agar gerakan ini diwadahi dalam bentuk keorganisasian. Serius karena Mas AE melihat ada potensi bekerja konkret mengurus kegiatan lokal sebagai bagian dari trasformasi sosial.
Akibatnya saya sering kerepotan membalas email-email karena permintaan data dan informasi dari lapangan. Karena saya tidak menguasai data banyak tentang Temanggung, sering saya lempar ke Andy Yoes dan kemudian Mukidi di Temanggung “menjadi korban” untuk melaporkan akses informasi lokal.
Pernah suatu ketika kami ajak Mas AE Priyono ikut acara kegiatan pertemuan perantau Temanggung di Taman Mini Indonesia Indah (kalau tidak salah tahun 2006). Acaranya kesenian, banyak seniman asal Temanggung yang bergabung juga, termasuk Didik Nini Thowok dan Titiek Puspa.
Dari situ Mas AE Priyono terheran-heran menonton Kubro Siswo. Soal di masa kecilnya pernah melihat itu urusan biasa. Tetapi siang itu mendadak beliau tertawa ngakak lama melihat joget Kubro Siswa dengan lagu-lagu santri campuran Jawa. “Ini santri atau abangan?”
Mas AE langsung cerewet mempertanyakan perihal Kubro Siswo. Saya sendiri ndak ngerti banyak sejarahnya, dan anehnya sampai waktu yang lama Mas AE mengejar saya agar mencari literatur tentang Kubro Siswo. Saya tak berhasil (tentu saja karena malas) dan Mas AE Priyono jalan sendiri nyari literaturnya. Beberapa bulan kemudian saya tanya, sudah dapat sejarahnya?
Ia jawab, “dapat tapi ndak memuaskan.” Saya pun menjawab, “Syukurin. Njenengan ini kurang kerjaan banget, apa-apa harus ilmiah. Gitu saja diuprek-uprek,” ledek saya.
Urusan ilmu beliau sangat serius. Demikian juga dalam hal pergerakan. Hal ini ditandai dengan semangatnya melahirkan organisasi. Ia menggagas perkumpulan untuk menaungi buletin bernama Stanplat. Lahirlah PIKATAN: Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan di mana Mas AE yang memberi nama dan juga menyusun AD/ARTnya.
Mas AE Priyono aktif menulis setiap bulan. Ia menulis opini ringkas 4.500 karakter. Tadinya ia minta minimal panjang tulisan 8.000 karakter. Saya bilang, “ndak mungkin Mas. Ini bulletin kecil. Kalau dua halaman ndak bagus. Cobalah dengan gaya yang padat, dan jangan lupa sedikit diturunkan diksi-diksi ilmiahnya,” demikian pesan saya.
Suatu hari bilang, “gara-gara Stanplat, akhirnya saya bisa nulis pendek juga, haha……” ujarnya terkekeh.
Perjalanan pun terus berlanjut. Stanplat tertib rutin setiap awal bulan, bertahan paling tidak dalam durasi tiga tahun dengan 23 edisi. Setelah tidak terbit karena kesibukan masing-masing, saya dan Mas AE Priyono masih tetap berkomunikasi, bahkan sesekali bertemu. Pembicaraan kami tak lain seputar kajian ilmu sosial. Terus demikian.
Belakangan, pada pertengahan 2014 tiba-tiba Mas AE Priyono Menghubungi saya, “saya pingin begini, bla-bla…bla, panjang lebar menceritakan niatnya melalui Inbox di Facebook. Mungkin karena beberapa minggu saya belum serius merespoin ajakan pertemuan, Mas AE menelpon dan mengajak bicara tentang ide Civic Islam. Ia merayu saya untuk segera menemuinya di kantor barunya, di mana ia menjadi direktur LP3ES di Pejaten dekat Kantor Republika.
“Ini ada Tuan Datuk (Imam Masfardi), main lah ke sini. Bebas mau siang atau malam. Ajak juga itu Mas Putut, lama enggak ketemu.”
Saya pun menemui, dan dari situ “saya dihasut” serius untuk menggarap impiannya mengamalkan gagasan yang ia bingkai dalam sebuah istilah “Civic Islam.” Di antara banyak hal yang ia sampaikan dalam belasan kali pertemuan, ada keinginan besar yaitu mengobarkan semangat keislaman ke jalan keadilan sosial. Mazhab yang dibangun adalah jenis Republikanisme sebagai solusi atas liberalisme yang gagal membawa politik ke jalan keadilan sosial.
Waktu itu saya memahami niatnya, bahwa mejadi Direktur LP3ES itu jangan sampai hanya bekerja tanpa prestasi. Ia ingin menggunakan LP3ES sebagai wahana konkret perjuangan demokratisasi. Ia ingin pekerjaanya bisa membawa pengaruh politik dengan model-model kajian. Ia melihat Islam mengalami kehilangan arah.
Dasar Mas AE Priyono mengatakan Islam di Indonesia kehilangan arah itu mulanya saya perdebatkan dulu bersama Andy Yoes dan Imam Masfardi. Kemudian sekaligus saya tantang untuk membingkai dalam tulisan yang jelas. Saya bilang, “karena ini perkara serius, saya akan galang teman-teman mendengarkannya, begitu saya menantangnya. Tak sampai dua hari ia menyusun makalah utama yang seminggu kemudian saya undang ke Bandung untuk presentasi di hadapan teman-teman aktivis pergerakan.
Makalah masih tersimpan berikut dengan penjabaran-penjabarannya dalam tulisan sepanjang 1 tahun kemudian.
Beberapa hal yang paling mendasar dari Mas AE Priyono yang patut disebutkan di sini adalah:
1) Kekecewaan Mas AE Priyono atas perilaku politik elit yang tidak memanfaatkan kebebasan (“liberalisasi”) untuk memperjuangkan kepentingan rakyat miskin.
2) Kegelisahan Mas AE Priyono terhadap kemunduran Demokrasi karena melihat varian-varian politik ke arah otorianisme kelembagaan dan juga seringnya terjadi partisipasi politik yang kepentingannya untuk ekonomi elit.
3) Kecemasan Mas AE Priyono melihat kesempatan di ruang publik yang bebas tetapi diskursus demokrasi alternatifnya lemah.
4) Kecemasan Mas AE Priyono melihat ancaman demokrasi dari kekuatan Islamisme. Islam-politik formal tidak menjawab persoalan. Islam-Politik Informal banyak terperosok pada fundamentalisme, konservatisme anti politik, dan juga terjadi eskapisme politik/anti-sosial.
Di luar empat alasan objektif tersebut, pemikiran Civic Islam tersebut juga memiliki dua tujuan:
- Merawat warisan pemikiran tokoh-tokoh seperti Cak Nur, Kuntowijoyo, Gus Dur, Johan Efendi dll.
Memberikan solusi bagi para bagi pegiat sosial dengan haluan politik republikanisme.
Civic Islam berjalan dengan kegiatan kajian-kajian pemikiran Keislaman dan Keindonesiaan. Beberapakali kami menerbitkan publikasi bekerjasama dengan Republika melalui Mas Nasihin Masha. Saya sendiri waktu itu menjalankan dengan kemampuan seadanya, prinsipnya harus terus memproduksi kegiatan semampunya sekalipun tanpa modal finansial.
Sementara kabar dari LP3ES semakin hari ternyata kurang enak dirasakan Mas AE Priyono yang tidak kondusif sehingga lebih banyak menyita energinya. Saya tidak mempersoalkan apa yang terjadi di LP3ES karena saya bukan bagian dari lembaga itu. Tugas saya adalah membawa amanat Mas AE Priyono untuk menjalankan misi pergerakan.
Kegiatan kecil-kecil tanpa biaya serta produksi literatur terus dijalankan oleh saya, Andy Yoes, Pak Budhiana Kartawijaya, Asep Salahudin, Pungkit Wijaya, Ilham, dkk. Kami sempat mempublikasikan website http://civicislam.id dan sebagian publikasi dibantu teman saya Ahmad Iman dan Nafisul Huda (keduanya Alumni UII Yogyakarta) di laman website katakini.com
Dari Civic Islam Mewujud Odesa Indonesia
Target kami memang harus menjadi goal pergerakan yang lebih sistematis. Tetapi kondisi tidak memungkinkan. Baru kemudian ketika saya pindah ke desa di utara Kota Bandung (Januari 2016), mulai menemukan sasaran garapan untuk basis pergerakan. Ada persoalan besar kemiskinan dan keterbelakangan yang harus diurus.
Teman-teman yang sebelumnya sudah bergiat Civic-Islam pun masuk ke desa-desa dan dari situlah kami mulai membuat formula pergerakan. Mas AE Priyono tetap memantau dan kami terus menyampaikan kegiatan-kegiatannya.
Sempat saya sampaikan kepada Mas AE Priyono, “soal Anda meminta saya harus menggarap Masjid, Pasar dan Alun-Alun (Ruang Publik) tidak bisa saya lakukan. Kondisi tidak laras dengan apa yang dibayangkan. Butuh banyak modifikasi. Tetapi kalau substansi gagasan Pak Kuntowijoyo yang menanyakan “Apa Gunanya Islam” dan juga tantangan Gus Dur agar ada gerakan Islam substansial, itu bisa kami usahakan”, demikian kurang lebih saya sampaikan pandangan saya kepada Mas AE melalui telpon menceritakan rencana pendirian lembaga untuk pelayanan orang miskin di perdesaan Kawasan Bandung Utara.
Mas AE Priyono tidak kaku dalam organisasi. Ia sepenuhnya menyerahkan kepada kami perihal model praksisnya. Akhirnya kami mereka-reka kelembagaan, terutama ketika Pak Enton Supriyatna (Pimred Koran Harian Galamedia) waktu itu mendesak saya berulang-ulang agar segera mendirikan lembaga.
Pada bulan September 2016 kami mengodok rancangan organisasi. Kejar target bulan Oktober harus sudah jelas. Maka, pada 30 September 2016 muncul nama Odesa Indonesia. Apakah lembaga ini akan berupa Yayasan atau Perkumpulan cukup membutuhkan waktu. Akibatnya, baru pada akhir Mei 2017 kami mengambil kepastian organisasinya berupa Yayasan. Tanggal 5 April 2017 Pihak Kemenkumham melalui Notaris menyetujui pendirian Yayasan Odesa Indonesia.
Dalam pendirian itu beberapa orang masuk. Saya sebagai ketua bersama Agung Prihadi sebagai sekretaris dan Khoiril Anwar sebagai Bendahara. Sedangkan Pembinanya terdiri dari Budhiana Kartawijaya, Hawe Setiawan dan Basuki Suhardiman. Adapun Pengawasnya adalah Enton Supriyatna, Asep Salahudin dan Andy Yoes Nugrono. Sewaktu pendaftaran sebenarnya saya harus memasukkan juga Mas AE Priyono dan Mas Marzuki Wahid. Tetapi saat itu saya mikir, males nyari KTPnya.
Semua tidak masalah karena urusan nama dalam pendirian adalah formalitas. Tetapi substansinya Mas AE Priyono adalah pemikir penting di balik berdirinya Yayasan Odesa Indonesia. Ruh Civic Islam tetap hidup berkembang menjadi gerakan yang berurusan dengan Pangan, Ternak/Satwa, Literasi dan Teknologi. Semangat dasar Odesa Indonesia adalah keberpihakan terhadap kaum marjinal; berpikir inklusif penuh solidaritas, dan tetap berani menyuarakan pembelaan terhadap kepentingan publik.
Komunikasi saya dengan Mas AE Priyono semakin berkurang, tetapi terkadang masih membicarakan kegiatan kegiatan Odesa Indonesia dan sekadar tegur sapa. Karena sudah sangat sibuk urusan Odesa Indonesia, produksi naskah Civic Islam di website www.civicislam.id juga berhenti. Beberapakali beliau menyampaikan rasa puasnya melihat foto atau video kegiatan yang kami lakukan, terutama saat ia melihat kegiatan literasi di perdesaan dan juga kegiatan budidaya tanam yang sering kami kabarkan melalui website https://odesa.id dan laman Facebook masing-masing pengurus Odesa.
Hal yang membuat saya menyesal adalah, bahwa di tengah banyaknya kegiatan pendampingan kaum papa, penelitian dan juga publikasi, Mas AE Priyono belum pernah bareng blusukan secara langsung. Selalu punya keinginan untuk hadir ke lokasi, tetapi selalu juga ada urusan yang menunda, dan akhirnya kabar duka muncul setelah seminggu sebelumnya kabar sakit itu datang.
Semua telah berlalu. AE Priyono telah menuntaskan perjalanan hidupnya sebagai seorang ilmuwan. Ia adalah seorang yang menaruh perhatian besar urusan kebijakan publik, karena itu ia selalu keras mengkritik praktik politik yang kotor. Segala ilmu pengetahuan yang digali maupun diproduksi semata untuk memperbaiki keadaan nasib orang-orang marjinal.
Selamat Jalan Mas AE Priyono……
Komentar ditutup.