Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia
Teman saya, Basuki Suhardiman, ngotot bertani. Bagi saya yang sudah lama kenal, bukan hal yang aneh karena saya tahu alasan mengapa ia harus berakrobat mengurus pertanian. Tapi bagi teman-teman yang lain mungkin dia dibilang kurang kerjaan. Pasalnya, profesinya tidak nyambung dengan dunia pertanian.
Di Institut Teknologi Bandung (ITB) dia memegang urusan Teknologi Informasi. Ia juga punya usaha-usaha yang berurusan dengan internet. Pernah juga ia menjadi bagian penting dari IT Komisi Pemilihan Umum 2004 silam. Basuki Menanam Kopi Karena Alasan Ideologi
Sebelum mendirikan Yayasan Odesa Indonesia bersama kami, ia sudah aktif urusan tani, membibit tanaman kopi, berladang kopi, dan juga memiliki pabrik kopi. Ia pernah ia bilang, “kalau mau bisnis itu yang paling hebat dan jaminan berhasil hanya tani,” katanya dengan menjelaskan beberapa argumen praksis sampai ideologis.
Bagi Basuki, urusan tani bukan semata nyari duit, tapi ia berpikir bahwa harus ada orang yang serius bergerak (bukan hanya berpikir atau main-main) dalam urusan tani. Baginya, pertanian adalah ideologi, membela rakyat penghuni negara Indonesia karena bangsa ini lemah akibat para petani tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, terutama yang paling mendasar adalah ilmu pengetahuan. Petani kebanyakan terlantar bukan karena kekurangan subsidi, sebab seperti pepatah, “orang bisa berbakat untuk mendapat duit, tetapi untuk bisa mengatur uang membutuhkan otak yang cerdas.”
Para petani banyak yang tidak bisa memaksimalkan perannya di arena kegiatan ekonominya karena kapasitasnya tertinggal. Basuki sering bilang, urusan literasi di Indonesia tertinggal 700 tahun lebih dari bangsa-bangsa maju. Sementara pertanian kita masih zaman Sultan Agung. Bahkan peternak kita masih berpola kerja Damarwulan. Ada banyak ilmu baru yang lebih mudah dan efektif tetapi tidak dilakukan petani. Mengapa? Karena setiap ilmu pengetahuan baru harus disampaikan, diujicoba dan disebarluaskan. Indonesia tidak melakukan itu. Karena tidak ada inovasi pengetahuan, tani pekarangan (square foot gardering) yang banyak diterapkan di banyak negara lain dan terbukti berkontribusi memajukan ekonomi rumah tangga petani kecil juga tidak berjalan. Punya ladang sedikit tidak menghasilkan panen yang sepadan dengan modal dan pekerjaan. Punya tanah luas sedikit saja malah dijual untuk dibelikan motor/mobil. Dan ini adalah malapetaka dunia pertanian, malapetaka orang-orang desa.
Banyak impiannya untuk membagi ilmu dengan cara praktik tersalurkan ketika kami mendirikan Odesa-Indonesia. Sebab, jika sebelumnya ia hanya menyalurkan “bakti ideologi” taninya melalui jaringannya secara sendiri, sekarang ia bisa leluasa dan lebih tersistem setelah ada organisasi Odesa Indonesia. Di antara yang dia lakukan adalah, mengurus petani Toha, memaksimalkan petani Agus, mengurus ustad Nanang dan lain sebagainya. Mereka semua memiliki kaki-kaki petani. Selain itu, adanya Odesa-Indonesia ia bisa menggelar banyak kegiatan yang sifatnya pendampingan seperti urusan kursus anak-anak desa di Cimenyan, dan bisa berbagi ilmunya kepada puluhan petani secara rutin.
Karena semangatnya yang luar biasa itu, ditambah lagi urusannya dengan petani semakin akrab, saya mengusahakan sebuah forum khusus supaya bisa lebih rutin menjadi fasilitator kegiatan keilmuan pertanian. Apalagi Prof.Daryatmoko yang sebelumnya aktif di Stanford University Amerika Serikat selama 28 tahun, dan kini mukim di Bandung, semakin antusias mengabdikan ilmunya bersama Odesa-Indonesia.
Basuki menggelar puluhan hektar kebun kopi yang diurus secara serius. Ia juga sudah membagikan lebih 80.000 bibit kopi yang bagus sejak 3 tahun lalu. Sudah semakin terlihat hasilnya. Saya senang karena bisa membantu mengawalnya menahkodai niatannya memperkuat tanaman kopi. Ini berbeda dengan kebayakan orang yang hiruk-pikuk berbisnis kopi tetapi tidak mau mengurusi petani lapisan bawah. Bagi kami, urusan utama kopi adalah urusan tanam (budidaya; bagian dari budaya atau gerakan kebudayaan) dan urusan bisnis adalah urusan nomor dua karena akar persoalan kelemahan kita adalah soal minimnya perkembangan kopi. Menjual hasil panen itu gampang, tetapi pasokan yang dijual lemah harus dibenahi.
Mengurus kopi bagi kami bukan segala-galanya, karena ada banyak peluang dalam pertanian untuk dibangkitkan. Kelor (Moringa Oleifera), tanaman rekomendasi FAO/WHO, kita galakkan karena punya alasan strategis dalam urusan gizi, demikian juga tanaman pangan, tanaman herbal dan tanaman medis lain seperti padi gogo, sorgum, hanjeli, binahong, bunga matahari, ciplukan, jahe, dan lain sebagainya.
Setahap-demi setahap kami menemukan formula dalam pertanian yang semangat gerakannya bersandar pada pembangunan sumberdaya manusia petani desa di Kawasan Bandung Utara. Setahap demi setahap, setelah melewati dua tahun (sejak 2016) kita juga mulai paham arah tujuan pertanian harus digerakkan. Misalnya kita menemukan formula pentingnya mengawal pertanian sebagai gerakan kebudayaan yang arahnya untuk tujuan mencapai keadaban bersandar pada empat pilar dasar, yakni memperkuat budidaya tanaman pangan, memperkuat ternak/satwa, memperkuat literasi, dan menempatkan teknologi untuk rakyat. Presentasi Basuki Suhardiman: Mengapa kita Harus Mengurus Pertanian
Kita juga membuang impian kosong tentang kedaulatan pangan karena itu merupakan mimpi yang tak akan terealisasi karena urusan pembibitan, pembenihan dan gerakan tani pekarangan saja tidak diurus, sementara seperti negara China, Kuba, Amerika Serikat, Venezuela, hingga daratan Afrika terdapat gerakan-gerakan yang serius seperti itu sehingga kehidupan petani kecil lebih sejahtera. Pemerintah Indonesia tidak punya konsep dalam menyelesaikan masalah-masalah di akar rumput. Sementara kalangan kelas menengah swasta yang punya minat pertanian kebanyakan hanya untuk hiburan atau gaya-gayaan, bukan untuk menjawab masalah yang dihadapi para petani kecil.
Sering kita menemukan, ada banyak orang berilmu dalam pertanian tetapi tidak mampu mengembangkan bersama para petani di perdesaan. Ada juga banyak petani cerdas dalam pertanian tetapi seringkali terpasung aktualisasinya, diabaikan oleh negara, bahkan kalau sedikit cerdas memproduksi pupuk seringkali dijebloskan bui. Kita mencoba melangkah dengan cara baru, dan orang seperti Basuki Suhardiman ini bisa membumikan ilmu pengetahuannya ke dalam gerakan yang konkret.
Kebangkitan pertanian itu bukan perkara mudah karena kita memang lemah dalam banyak hal. Ilmu, mental, hingga moral kita terhadap pertanian, termasuk cara pandang kita terhadap para petani sudah kelewat diskriminatif. Kalaupun ada dari sekian orang berpendidikan merasa iba terhadap petani, mereka hanya bisa iba, tetapi tidak bisa mengambil tindakan konkret untuk mengubahnya. Basuki terus melakukan itu. Ia mendorong para petani yang sudah memiliki ladang untuk serius mengurus ladangnya. Jika tidak punya ladang tapi punya pekarangan, ia mainkan gerakan tani pekarangan.
Susah payah dan sulit berhasil dilakukan memang karena yang dia hadapi adalah petani lapisan bawah yang benar-benar terpuruk. Sebagian besar petani tua tidak sekolah dan buta huruf, sebagian pada tenaga kerja pernah sekolah SD tetapi bersekolah di SD dengan kualitas yang buruk. Tetapi gerakan yang dilakukan Basuki bersama Odesa Indonesia terus berjalan, toh perbaikan demi perbaikan terus terlihat. Ada jalan panjang terentang yang harus dilakukan. Tetapi dengan cara yang terang, perjalanan kita terasa menyenangkan.[]
Komentar ditutup.