OLEH FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia, Bandung.
Situasi Wabah Corona (Covid-19) yang dua bulan terakhir berjalan, secara radikal telah mengubah dimensi sosial-kultural kita. Pada kelas menengah metropolitan situasi yang paling mencekam adalah psikologi: kecemasan dan ketidakpastian. Adapun pada golongan rawan miskin dan kaum miskin urusannya menukik langsung pada ekonomi.
Bagaimana kita menempatkan skala prioritas dari dampak Covid-19 ini? Bicara urusan raktyat, pemerintah yang punya tanggungjawab. Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota hingga kepala desa sedang ditantang, apakah punya kecerdasan sekaligus sikap kemanusiaan dalam melayani rakyatnya?.
Slogan “dirumahaja” adalah strategi tangguh melawan Corona. Risiko “dirumahaja” adalah terputusnya kegiatan ekonomi konvensional. Tetapi dampaknya juga sungguh-sungguh “merumahkan” jutaan pekerja. PHK telah terjadi di banyak daerah. Sementara pekerja harian kehilangan nafkahnya.
Butuh Gizi, Bukan Asal Makanan
Pangan menjadi urusan paling dasar. Apalagi situasi Corona ini sangat membutuhkan keadaan badan yang sehat-bergizi. Gizi badan wajib seimbang. Itulah mengapa ketika pemerintah berkewajiban menanggung beban ekonomi keluarga miskin, mestinya tidak asal-asalan memberikan solusi pangan. Sayangnya, Kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Walikota Bandung memilih cara yang anti-sains dari bidang kesehatan karena tidak memperhatikan kaidah kesehatan. Rakyat digelontori bantuan model korban pengungsian dengan produk-produk instan impor rendah gizi.
Menangani korban pengungsian berbeda pula menghadapi pandemi Covid-19. Di situasi pengungsian urusan masak sangat repot. Apalagi harus berburu sayuran segar dan daging segar. Tetapi pada keadaan #dirumahaja” memasak adalah bagian dari kegiatan produktif. Ini yang tidak dibaca sebagai analisis sebelum menggulirkan kebijakan publik.
Sebenarnya kalau kita mau membaca “Pedoman Umum Pembagian Sembako 2020” telah tertuang aturan yang cukup bagus. Pedoman yang ditandatangani Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Selaku Ketua Tim Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Nontunai Desember 2019 tersebut antara lain menyebutkan “tidak boleh digunakan untuk pembelian: minyak, tepung terigu, gula pasir, MP-ASI pabrikan, makanan kaleng, mi instan dan bahan pangan lainnya yang tidak termasuk dalam butir a-d di atas. Bantuan juga tidak boleh digunakan untuk pembelian pulsa dan rokok. Program Sembako mengakomodir ketersediaan bahan pangan lokal,” (halaman 27).
Bantuan Berpihak pada Pabrik
Bisa jadi para Gubernur, Walikota atau Bupati punya alasan peraturan itu tidak mengikat secara hukum pada urusan urusan wabah Corona. Tetapi alangkah naifnya jika ada peraturan yang telah dibuat untuk skema nasional dan pantas diterapkan justru diabaikan.
Jika tidak memakai aturan itu, lantas kepala daerah memakai aturan yang mana? Mengapa kebijakannya kemudian lebih awal menguntungkan pabrik besar? Apakah motif ekonomi diskon dari pabrik besar? Apakah stok pangan kita di lapangan kurang? Ini sangat aneh.
Nyata jelas para kepala daerah itu lebih banyak belanja produk impor ketimbang berpikir lebih lapang mengendalikan keadaan sosial, terutama pada relasi dunia pertanian dan perdagangan lokal. Serta-merta di situ tak berempati pada dimensi kesehatan yang sedang dibutuhkan di masa menghadapi wabah Corona. Sebuah kebijakan yang antisains dalam hal kesehatan dan antisosial dalam kebijakan ekonomi rakyat kecil, terutama pada pedagang kecil dan petani.
Ketika pedagang kecil sepi pembeli mestinya uang rakyat trilunan itu untuk dinamika perdagangan para pedagang kecil. Ketika petani dan peternak lokal memanen hasil panennya, mestinya paling mendapat berkah dari kebijakan. Naas, kebijakan buruk ini didiamkan oleh Anggota-Anggota DPRD.
Penyaluran Asal-asalan
Tak berhenti di situ, distribusi bantuan berlangsung lambat. Pejabat selalu bilang, kami bekerja keras. Nyatanya hanya keras dalam urusan suara, rajin konferensi pers tapi gagap dalam aksi. Kalau dikritik biasanya mengeluh “ini urusan tidak gampang,” sebuah apologi, alias ngeles.
Selain telat urusan penyaluran, dari banyaknya pintu bantuan dari pemerintah itu tidak berjalan baik karena data yang bermasalah dan saluran yang tidak kompak dengan menimbulkan kericuhan sosial di level RT/RW. Belum lagi nantinya pemerintah akan ditantang oleh jumlah alokasi tersebut apakah mencukupi jumlah orang miskin lama dan miskin baru atau tidak?.
Apakah yang salah itu pihak dinas sosial yang memasok data? Atau karena urusan kecakapan pemimpin dalam menyikapi masalah data? Bukankah data di negeri ini harus selalu dicurigai validitasnya? Mengapa kaget ketika timbul masalah di lapangan?
Pilihan Bantuan Uang Tunai
Belanja bantuan sosial dengan menyalurkan barang berkilo-kilo itu ongkos distribusinya akan tinggi. Selain barangnya tidak bergizi dan tidak berpihak pada produk lokal, ternyata juga boros pengeluarannya. Cobalah nanti dihitung dari model penyaluran bantuan sosial ala pemerintah yang sekarang dijalankan ini. Kita akan melihat pemborosan terjadi di banyak lini. Kesimpulannya, ternyata orang miskin hanya mendapatkan porsi kecil dari serangkaian anggaran kegiatan bantuan sosial itu.
Khusus pada kasus pandemi Covid-19 ini, sungguh akan berbeda misalnya jika berani mengambil kebijakan membagikan uang secara tunai. Penyaluran tunai lewat mana? Pertanyaan ini mudah dijawab, dengan analog, menyalurkan bantuan sembako lewat mana. Itu urusan teknis yang bisa ditindaklanjuti dalam kebijakan lokal. Dengan uang tunai misalnya, justru rakyat penerima uang masih memiliki peluang besar mengalirkan uang ke pedagang kecil di sekitarnya (bukan belanja langsung ke pabrik) sehingga berperan menghambat dinamika pasar kecil. Kebijakan menyalurkan bantuan dalam bentuk tunai bisa saja muncul masalah, tetapi masalahnya tidak anti-sains kesehatan dan antisosial. Dengan kata lain, distribusi uang lebih manusiawi.
Situasi Corona jelas beda dengan situasi pengungsian akibat bencana alam. Dalam situasi Corona, sekalipun PSBB diberlakukan rakyat masih bisa bertransaksi dan sejumlah kegiatan yang memungkinkan orang bertahan dalam hidup dengan situasi “rumahan”. Jangan memperlakukan rakyat sebagai objek yang rendahan. Pejabat yang baik akan memegang prinsip, “Apa yang rakyat makan, sama dengan apa yang saya makan”.
Mengapa kepala daerah senang belanja produk makanan instan? Saya khawatir jangan-jangan Gubernur, Walikota dan Bupati sehari-harinya makan produk serba instan. Saya sedang mengkhawatirkan rakyat kurang gizi. Jangan-jangan pula sebenarnya kepada daerah dan para politisi kita ini juga kurang gizi. []
(Naskah ini dimuat di Rubrik Opini Harian Pikiran Rakyat Senin, 3 Mei 2020).