OLEH: BUDHIANA KARTAWIJAYA. KETUA PEMBINA ODESA INDONESIA
Berserakan Kuburan di kampung-kampung Cimenyan Bandung. Ada fenomena apa?
Delapan Oktober 2016, Ibu Amah (56) meninggal dunia karena kanker tulang. Penduduk dusun Cadas Gantung itu wafat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Suaminya, Damin (62) seorang buruh harian pemecah batu, tak punya pilihan tempat untuk memakamkan ibu empat anak ini.
Dusun terpencil itu sangat jarang dikunjungi aparat pemerintah. Dalam ketiadaan pembimbingan itulah, mang Damin pasrah. Kandang ternak di belakang rumahnya terpaksa dibongkar.
Tanah secuil itu pun digali. Di sanalah Amah dimakamkan, mepet ke dinding bilik belakang rumah. Ya, makam di belakang rumah adalah fenomena umum kampung-kampung di Kecamatan Cimenyan. Kemana pun kita blusukan, maka kita akan menemukan kuburan, entah di belakang, samping atau depan rumah sekali pun.
Ada tiga penyebab mengapa rumah-rumah itu menempel dengan kuburan.
Pertama, pemerintah tidak memikirkan pemakaman umum sehingga masyarakat mencari jalan sendiri untuk memakamkan anggota keluarganya yang meninggal. Ketidakhadiran pemerintah dalam soal pemakaman ini. “Bila ditanya, kalau nanti ada anggota keluarga meninggal, mau dimakamkan di mana? Warga akan menjawab: duka atuh, kumaha engké waé (tak tahu…bagaimana nanti saja),” kata ustad Nanang Muhamad Yusuf, pengelola masjid di pinggir hutan, kampung Pondok Buahbatu.
Kedua, keluarga yang mampu, biasanya mewakafkan sebagian tanah di kampung itu untuk dijadikan makam keluarga. Namun lokasinya dekat rumah mereka juga. Bila ada orang lain yang meninggal bukan dari keluarga, jenazahnya bisa dimakamkan di makam wakaf tersebut sepanjang keluarga wakif (yang mewakafkan tanah) mengizinkan.
Ketiga, semula ada sebidang tanah kuburan yang awalnya jauh dari permukiman. Namun karena pertambahan penduduk, maka jumlah rumah juga bertambah dan merambah tanah kuburan. Akhirnya tercipta dusun baru yang menyatu dengan kuburan, seperti di kampung Cisanggarung.
Bahkan kata Ujang Rusmana, seorang pegiat pertanian dari kampung Cisanggarung, saking sulitnya mendapatkan tanah, ada saja yang mendirikan rumah di atas makam yang sudah tidak dikenal. “Di kampung saya, di bawah yang dekat dengan sungai itu ada rumah-rumah yang berdiri di atas kuburan lama,” katanya.
Seiring dengan penguasaan orang kota terhadap tanah di kawasan Cimenyan, semakin sedikit pula warga yang mewakafkan tanahnya. Kesulitan ekonomi dan terbelit utang menjadi penyebab dijualnya tanah warisan leluhur. Kalaupun masih punya barang sebidang atau dua, mereka lebih baik menjual tanah itu karena harganya cukup tinggi.
Nanang Yusuf memimpikan adanya pemakaman umum. Dia mengincar sebidang tanah untuk dijadikan pemakaman umum warganya. “Saya mengincar tanah untuk dijadikan pemakaman umum warga saya. Namun harganya mahal. Dari mana uangnya?” kata lelaki berumur 53 tahun ini.
Nanang juga memiliki persoalan sama. Dua anggota keluarganya yang meninggal sudah dimakamkan di tanah belakang rumahnya. Makam itu diteduhi pepohonan alpukat. Kalau saja tidak ada makam, dia ingin memperluas masjidnya ke tanah itu.
Selain itu, pemakaman mempunyai fungsi sosial, yaitu bisa menjadi ajang reuni keluarga. “Kalau ada pemakaman umum, pastilah setiap Ramadan atau Idulfitri anggota keluarga akan nadran (ziarah) ke makam leluhurnya. Di situlah keluarga jauh akan saling bertemu. Jadi teu pareumeun obor (Istilah Bahasa Sunda, terjemahannya obor tidak padam. Maknanya: tidak kehilangan informasi kaitan kekerabatan),” katanya. Memang, banyak warga kampung Pondok Buahbatu yang merantau ke Sumatera untuk mencari peruntungan nasib.
Kuburan di belakang rumah adalah fenomena kemiskinan pedesaan. Keinginan untuk menghormati anggota keluarga yang meninggal, berbenturan dengan kebutuhan hidup. Memakamkan di belakang rumah, artinya harus membongkar kandang ternak, hilanglah satu tiang pencaharian. Kebutuhan akan tempat tinggal, juga menyebabkan pendirian rumah merambah makam.
Di Cimenyan, yang hidup berebut ruang dengan yang mati.