Taat Beragama Taat Menanam Pohon

Taat Beragama Taat Menanam Pohon

Disadari atau tidak, mayoritas orang menganggap urusan tanam-menanam dianggap urusan pertanian. Kata pertanian merujuk pada profesi ketenagakerjaan atau bidang ekonomi. Padahal hubungan tanaman dengan manusia mencakup relasi yang luas meliputi hubungan sosial (makanan, rumah, pakaian, perdagangan) hingga urusan ekologi (kesehatan tanah, air, udara dan foto-sintesis).

Terkait dengan urusan agama, mindset semacam itu kemudian melahirkan sekularisasi diam-diam (silent secularism). Urusan agama seakan-akan terbatas unsur ibadah dan upacara seremonial kegaamaan. Dampak lanjutnya adalah muncul kesimpulan umum, bahwa ketaatan dalam menjalankan agama tak berkorelasi dengan perusakan lingkungan atau perawatan alam. Banyaknya lahan kosong terbiarkan dianggap bukan urusan keagamaan. Terjadinya tanah longsor akibat pembalakan liar juga bukan urusan agama. Bahkan merusak hutan pun dianggap bukan perilaku bertentangan dengan agama.

Pemahaman mainstream ini kuat. Bukan hanya bercokol pada umat awam, melainkan juga kalangan pemuka agama dengan bukti bahwa khotbah atau pesan-pesan keagamaan jarang yang serius membicarakan kerusakan lingkungan dan usaha perawatannya. Pesan ekologi keagamaan minim, apalagi amal konkretnya. Itu terjadi dalam kenyataan sehari-hari. Para agamawan menyentuh cangkul pun tidak pernah. Banyak yang juga tak tahu jenis-jenis tanaman. Padahal tokoh-tokoh agama itu juga makan dan menikmati udara serta air bersih. Ini adalah fakta di mana tokoh-tokoh keagamaan mayoritas belum responsif terhadap masalah lingkungan hidup.

Baca juga: SMAK BPK 1 Penabur Taburkan Kebaikan 7700 Bibit

Taat Beragama Taat Menanam Pohon

“Apakah kamu tidak berpikir?”

Kita mesti menyempatkan lagi untuk menengok teks-teks kitabiah. Dalam Islam misalnya, rahmat Tuhan berupa karunia alam semesta mesti diurus oleh seorang muslim. Biji tanaman yang sering disebut di Al-Quran atau Hadist Nabi adalah simbol terpenting Islam untuk peduli lingkungan hidup, bukan urusan pertanian semata.

Dalam dua agama samawi lain, yakni Yahudi dan Nasrani, urusan menanam adalah primer. Banyak sekali surat-surat kenabian dan wahyu yang bicara tentang makna pohon bagi manusia. Juga banyak surat larangan sembarangan menebang pohon. Bahkan urusan jadwal memetik hasil panen pun dibicarakan. Semua perintah dan larangan itu diperuntukkan untuk kemaslahatan hidup manusia.

Pada ajaran Buddha urusan tanaman adalah bagian dari Ahimsa. Ajaran ini bukan semata melarang kekerasan tindakan terhadap manusia, melainkan juga terhadap satwa dan tanaman. Pohon juga merupakan simbol penting dari datangnya pencerahan karena Sang Buddha mendapat pencerahan saat duduk di bawah pohon.

Dari Konghucu tak kalah luar biasa dalam rangka mencapai keseimbangan hidup dengan alam semesta, mengurus pohon menjadi kunci terpenting menuju ketaatan. Prinsip dalam ajaran Mengzi (lima watak sejati) menyebutkan; jika pertanian buruk maka moral masyarakat ikut rusak.

Baca juga: PT Collins Aerospace Hibah 3000 Bibit untuk Petani

Beralih ke agama Hindu. Urusan pohon adalah urusan kesejatian berpikir para pemeluknya. Ada banyak pohon yang disakralkan karena merupakan sumber ide bagi umatnya. Misalnya, Brahma, Vishnu, Shiva juga disimbolkan dari Ficus religiosa, atau pohon pipal. Dalam ajaran Hindu, larangan menebang dan ajuran merawat tanaman juga tergolong utama. Seorang umat yang menebang pohon berkewajiban menebusnya dengan jumlah yang lebih banyak.

Urusan tanaman sejatinya harus terhubung dengan perintah dan larangan agama. Dan urusan agama yang primer -yakni mensyukuri dan merawat anugerah Tuhan – mestinya diwujudkan dalam tindakan, bukan sekadar khotbah. Amal-amal ekologi harus nyata dilakukan. Pohon atau tanaman bukan urusannya petani, bukan urusan ekonomi semata, melainkan urusan ekologi yang wajib dirawat oleh umat beragama. Yang demikian ini penting dilakukan jika keagamaan kita ingin lebih berkualitas. []

Sumber Koran Gala 17 November 2025.

Keranjang Belanja