Oleh Faiz Manshur. Ketua Yayasan Odesa Indonesia
Realitas baru harus disikapi dengan cara baru. Situasi ekonomi di tengah Pandemi Covid-19 tiada mungkin berbalik normal seperti sebelumnya. Lebih baik segera memperbaiki pola pikir dan menerapkannya.
Memang, kata “adaptasi” atau penyesuaian terasa enak didengar, namun itu bukan perkara mudah dilaksanakan karena menyangkut kebiasaan hidup. Survive-nya spesies, termasuk manusia juga banyak ditentukan oleh kebiasaan. Siapapun yang sedang dalam proses ini membutuhkan cara pikir baru dan butuh tahapan membiasakan diri.
Prinsip baru pertanian
Apa yang harus kita lakukan? Yang pertama tentu saja tetap konsisten menjalani prosedur kesehatan. Apapun pekerjaan dan aktivitasnya, sanitasi harus dijadikan “konstitusi” hidup. Kemudian urusan pangan adalah kesediaan melakoni kerja tanam karena tiada mungkin kita menerapkan slogan “mencari uang secara mudah sehingga urusan makanan beres.”
Falsafah baru harus dimunculkan, misalnya: “kalau sudah makan jangan lupa tanam.” Ini juga penting sebagai pola pikir yang perlu ditetapkan sepanjang hayat karena bangsa kita juga lemah dalam urusan produksi pangan.
Langkah selanjutnya adalah bertindak progresif; mengeksekusi dalam bentuk tindakan sampai tahap maksimal. Seberapa luas lahan yang ada harus menjadi basis produksi. Yang tak punya lahan sebisa mungkin mengusahakan lahan.
Beruntung bagi Anda yang punya hobi atau masih terhubung pada bidang kerjaan yang melahirkan kebudayaan umat manusia ini. Bagi kita yang “kosong pengalaman” dalam urusan pertanian, paradigma “segera belajar” adalah langkah terbaik. Percayalah, pertanian itu tidak sulit. Yang sulit adalah sering terlalu banyak alasan atau tidak adaptif dalam perubahan pola-pikir.
Sedikit pengalaman dari Yayasan Odesa Indonesia, tempat kami menjalankan kerja pendampingan pertanian bagi keluarga Pra-Sejahtera di Kawasan Bandung Utara (KBU) barangkali perlu dijadikan bahan pengalaman.
Pertama, pemanfaatan lahan kecil pekarangan rumah tangga. Keluarga miskin bisa menghemat anggaran belanja dapur. Ada yang bisa menghemat Rp 8.000, ada yang menghemat Rp 12.000 setiap hari. Dengan sayuran yang ada itu, mereka mendapatkan kebahagiaan baru karena ongkos listrik air atau uang sekolah anaknya bisa terbayar. Kebutuhan lain tetap mengandalkan pendapatan model sebelumnya. Bahkan karena surplus panen hasil panen sayur tersebut bisa dijual dan menghasilkan uang setidaknya 2x dalam satu pekan. Hitungan ini tidak berasal dari imajinasi melainkan bersumber dari lapangan.
Kedua, menggerakkan program pertanian di ladang secara intensif dengan pemilihan pangan sehat bergizi. Jauh sebelum badai Covid-19 menimpa dunia, empat tahun lalu, program Odesa Indonesia memilih gerakan tanaman pangan baru di Cimenyan Kabupaten Bandung. Misi besarnya ada dua, “panen gizi” dan “cegah erosi”. Menanam jangan asal tanam, pegang prinsip jenis-jenis tanaman penghasil gizi yang baik dan juga menyasar pada usaha perbaikan ekologi. Dua sasaran ini harus dilakukan bersama karena ekonomi kita semakin sulit juga disebabkan krisis ekologi.
Yang kami praktikkan misalnya, menanam sorgum, kelor, hanjeli, ditambah program lain seperti pepaya. Kita masih bisa mencari jenis tanaman lain sesuai dengan target perolehan gizi dan manfaat ekologi di atas dengan target memanen keanekaragaman hayati.
Pada sorgum, kelor dan hanjeli, ketiganya relatif membutuhkan sedikit air dibanding tanaman pangan jenis lain. Di Bandung Utara sekarang menjadi solusi karena krisis air yang melanda pada ratusan ribu rumah tangga. Dengan praktik pertanian polikultur (anekaragam tanaman) biaya budidaya lebih hemat daripada model pertanian sayuran monokultur yang sampai sekarang masih banyak diterapkan petani dan terbukti merusak ekologi.
Kelebihan lainnya ialah petani mendapatkan gizi yang berkualitas. Di dalamnya unsur-unsur herbal yang sangat baik untuk menjawab problem malnutrisi, penyakit gula, obesitas dan lain-lain. Kalau urusan sakit tetap bersama medis modern, tetapi urusan ketahanan fisik (pra-sakit) kita yang menentukan.
Untuk mendapatkan gizi yang tinggi dari jenis buah memang sering problematis karena banyak tanaman buah yang baru bisa dipanen di atas tiga tahun. Namun jenis buah ciplukan atau cecendet ( Phisalis Agulatha L.) misalnya, bisa menjadi solusi karena hanya butuh waktu empat bulan sudah bisa menghasilkan panen. Kandungan vitamin C dan nutrisi lain sangat bagus dan bisa ditanam di pot/polybag.
Memperkuat Model Produksi
Memilih jenis tanaman mesti strategis karena kalau tujuan bertani hanya semata untuk uang akan membuat hidup kita kelabakan. Lagi pula hidup bukan semata urusan uang. Kompleksitas persoalan dalam keterpurukan membutuhkan nalar baru agar kita bisa mengatasi persoalan.
Kita harus bersyukur hidup di kawasan tropis karena begitu mudahnya menanam anekaragam hayati. Dengan itu pula peluang besar mendapatkan anekaragam gizi juga mudah tercapai. Kekeliruan kita selama ini adalah menganggap urusan pangan adalah urusan makan (konsumsi) semata dan lepas dari urusan tanam (produksi). Itulah mengapa bangsa kita jadi bulan-bulanan perdagangan. Punya alam yang subur namun banyak orang memilih kerja di sektor jasa dan industri yang lepas dari produksi pertanian. Ironisnya, banyak sumber pangan yang kita konsumsi didapat dari negara lain.
Banyak orang berpikir dunia pertanian pasif, lambat dan banyak orang yang tak sabar karena alasan itu. Tetapi kenyataan sesungguhnya, dunia pertanian memiliki nilai lebih untuk target kecukupan dan keharmonian dengan lingkungan. Lain dari itu, teknologi digital telah banyak menolong kita untuk mendorong kegiatan tani lebih produktif.
Pertanian juga mendorong orang mendapat kesempatan mengurus keluarga secara intensif, dan kerja fisik juga menyehatkan. Tak ada salahnya kalau sekarang kita memegang prinsip “kalau sudah makan jangan lupa tanam.” [ Opini ini dimuat di Harian Cetak Pikiran Rakyat Jawa Barat, Selasa 29 September 2020]