Suami Setor Saban Hari

Problem Model Ekonomi Masyarakat Pinggir Kota Bandung.
OLEH FAIZ MANSHUR Ketua Odesa Indonesia

Suami setor uang kepada istri saban hari. Ini kisah nyata yang saya temui bersama dengan teman-teman di Organisasi Odesa Indonesia, di kawasan masyarakat pinggiran kota. Situasi kehidupan agraris perdesaan, namun kebutuhan konsumsi dan gaya hidupnya cenderung dipaksa oleh model Perkotaan Bandung.




Suami harus setor duit saban hari? Kenapa bisa begitu? Apa harus seperti itu? Apa tidak repot? Bagaimana jika tidak setor dalam sehari? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena kebanyakan dari teman-teman saya memang tidak pernah mengalami hal itu, bahkan membayangkan pun tidak. Dalam pandangan saya dan juga teman-teman, model ekonomi rumah tangga seperti ini merupakan aneh dan lucu.

Karena beberapakali mendengar tentang kisah itu secara langsung dari (keluhan) suami, satu persatu saya sisir informasi terkait dengan “relasi ekonomi” semacam ini. Himpunan data saya ringkas sebagai berikut.

Mayoritas menimpa pada bekas petani, atau keturunan petani yang telah lepas urusan tanah karena tanah telah terjual. Mata pencaharian masuk ke sektor jalan angkutan. Pihak suami bisa bekerja, tetapi sang istri tidak terlibat. Pekerjaan ini hanya pada sektor jasa, katakanlah ojeg, angkutan umum, sopir angkutan, dan tidak menimpa pada keluarga dari petani, buruh tani, atau pedagang.

Apa yang terjadi dalam perihal setoran ini? Suami dikejar-kejar target. Relasi ekonomi seperti ini sangat menekan pihak suami, apalagi sang istri mewajibkan setor minimal 50 ribu (terjadi pada 3 orang) dan Rp 100.000 (terjadi pada 4 orang) dan 5 orang lain tidak menyebut nominal pasti tetapi setiap hari harus setor. Semua pernah saya temui. Kebanyakan sang suami terbuka detail, mengeluh luar biasa. Saya gali informasi lebih mendalam. Hasilnya, akibat istri menganggur dan kemudian tidak ada kesibukan sehingga justru dari situ timbul kebutuhan rutin seperti belanja harian, jajan bersama anak, kosmetik, uang bekal acara sosial/pengajian, pulsa, acara kawinan/sunatan, dll. Karena menganggur itulah kemudian istri-istri itu pekerjaannya menunggu setoran suami.




Pada sisi lain ada beberapa informasi juga bahwa pekerjaan sang suami sebagai jasa angkutan dianggap oleh para istrinya berurusan dengan uang; uang ojeg, uang angkot, uang jasa truk. Dengan asumsi itulah istri meminta uang setiap hari dengan tarif di atas. Ini membuat suami tidak tertarik lagi dengan model pekerjaan lain yang penghasilannya bukan harian. Pernah saya berurusan dengan seseorang yang punya beban ekonomi setoran semacam itu. Bekerja di tempat saya tentu saja modelnya adalah gajian setiap bulan. Asas kecukupan saya penuhi. Kalaupun gaji masih rendah karena status “magang”, saya berikan insentif dengan sembako. Tujuannya untuk supaya bekerja lebih tenang dan urusan dapur tercukupi.

Tetapi lama kelamaan dia bekerja sepertinya tidak pernah beres. Singkat kata, gaji tetap diambil, tetapi dia tetap ngobyek mencari uang keluyuran. Dari situlah terkuak, ternyata karena ia dipaksa istrinya harus setor uang setiap hari. Bahkan pernah ada informasi dating; kalau tidak setor dalam beberapa hari saja dia tak berani pulang dan lebih memilih berbohong dengan alasan apa sampai pulang membawa uang.

“Ini pelik,” kata teman saya. “Ini sih ngawur,” kata teman lain. “Kenapa harus begitu,” ujar kawan yang lain.

Studi kecil-kecilan seperti ini penting kita perhatikan karena menyangkut matarantai ekonomi. Sehat dan tidaknya rumah tangga juga sangat ditentukan oleh urusan mendasar kebutuhan rumah tangga.

Dari sisi nominal, pekerja sektor jasa lapisan bawah itu sebenarnya pendapatannya lebih baik daripada petani atau buruh tani, tetapi pada sisi kenyamanan dan kebahagiaan kalah jauh dengan pasangan buruh tani; yang sekalipun serba kekurangan tetapi tidak ada satu pihak yang tertekan. Mereka bekerja bersama dan terhindar dari kebut-kebuttan atau bahkan “gasak-gasakan” di jalan dalam meraih target ekonomi harian. Buruh tani atau petani kecil lebih memilih mencari sumber makanan tambahan di luar warung seperti di kebun, mengumpulkan kayu bakar agar terhindar dari pemborosan gas, dan sebisa mungkin terhindar dari urusan hutang di warung. Dan lebih penting lagi; pasangan yang sama-sama bekerja lebih mudah terhindar dari banyaknya acara pengajian rutin yang menguras kosmetik dan uang saku. Kalau istri tukang dari pekerja jasa itu menganggur lalu membawa anaknya ikutan pengajian, selain kosmetik harus mengeluarkan uang untuk iuran jamaah dan juga jajan anaknya. Sedangkan mereka yang ke sawah tidak mengeluarkan biaya, dan pulang membawa hasil kebun bersama anak-nya pada sore hari.

Model ekonomi memang menentukan. Pelajaran kecil di atas bisalah kiranya ditafsir kepada pertanyaan mendasar; bagaimana seharusnya rumah tangga berjalan secara baik? Apakah satu orang mencari duit sementara satunya lagi boros akibat tidak ada kegiatan sehingga begitu berkegiatan menghabiskan uang?

Model ekonomi rumah tangga seperti itu sangat problematis. Situasi rumah tangganya kurang sehat. Hal itu setidaknya dibuktikan oleh keluhan pihak suami kepada orang lain, juga sering keluar dari mulut istri di hadapan teman-teman perempuan lainnya. Suami terus merasa kurang dan harus berburu, sang istri juga merasa kurang dan bingung karena tidak ada sumber pemasukan.

Model ekonomi perburuan ini mengingatkan saya pada kisah zaman “pemburu-pengumpul”, di mana suami berkelana dengan target menghidupi keluarganya di rumah yang tidak produktif. Pada akhirnya model ekonomi rumah tangga atau masyarakat yang seperti ini akan mengalami kebangkrutan karena pada skala perburuan memboroskan energi, waktu dan pikiran sang suami, dan juga sangat tidak baik bagi perkembangan mental hidup rumah tangga yang konsumtif. Itulah kenapa zaman pemburu pengumpul punah dan menyisakan kesedihan ekonomi yang tinggi karena harus berurusan dengan resiko besar seperti terlibat pertarungan di luar, kecelakaan yang tinggi, peluang selingkuh, resiko dimangsa hewan buas dll.




Dengan fakta sederhana itu saya punya keyakinan; dalam ekonomi tidak seyoganya memburu penghasilan yang cepat dan besar. Tanpa disadari, model seperti itu sebenarnya model ekonomi orang bermental miskin. Kita tahu, salahsatu mentalitas miskin adala menjadikan ekonomi sebagai tujuan, terus berburu tiada henti, sementara pada sisi lain adalah penikmat konsumerisme.

Apa artinya jika uang didapat secara cepat namun dalam hitungan cepat dihabiskan? Solusi terbaik ekonomi rumah tangga ialah menjadikan rumah tangga sebagai basis produksi, bukan sebagai sarana aktivitas konsumsi.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja