Sapi dan Masjid

BELAJAR kepada orang-orang di pedesaan itu mengasyikan. Menyerap ilmu bisa sambil tertawa segar atau merenungkan arah pembicaraan mereka. Meski hidup dalam kegetiran, tapi bisa tetap bercanda dan berpikir kritis.

“Dulu saya punya tiga ekor sapi. Lalu sapi itu dijual untuk modal usaha di bidang sayuran. Tapi sudah bertahun-tahun bertani dan panen, hasilnya tidak pernah mampu untuk membeli satu ekor sapi pun,” kata Mang Engkos (55) warga Cikawari, Cimenyan, Kab, Bandung.

Pupuk yang sulit didapat dan mahal, harga sayuran yang tidak pasti, atau ongkos angkut yang tidak murah, adalah masalah yang sekian lama sulit mereka pecahkan sendiri. Terus berputar seperti lingkaran setan. Dan negara tidak terasa kehadirannya di tengah kesusahan mereka.

“Saya memelihara sepasang sapi paroan, punya orang kota. Tapi sudah lama tidak beranak juga,” ujar Edi (40) warga lainnya. “Itu mah salah kamu,” tukas Aceng (60).

“Salahnya di mana?'” tanya Edi lagi. “Coba disareana ku maneh. Geuwat anakananana geura,” jawab Aceng. Semua tergelak. (Coba kamu yang menidurinya. Pasti cepat beranak).

Tapi mereka juga bisa serius saat membicarakan kepentingan umum. Ketika ada yang mengusulkan pembangunan masjid dan madrasah, suara kritis muncul. “Bukan saya tidak setuju membangun masjid. Tapi buat apa dalam satu RW ada dua masjid. Sementara mesjid yang sudah ada juga sering kosong jamaahnya. Ini harus dipertanyakan motifnya,” tukas Adang (45).

cikawari-enton-2

Dia juga mempertanyakan, tentang pengajian anak-anak dan majelis taklim ibu-ibu yang kini tidak lagi di masjid, melainkan pindah ke sebuah vila milik orang Kota Bandung. Padahal semestinya masjid yang sudah lama ada itu diramaikan dengan berbagai kegiatan.

Sedangkan Mang Enda (63), yang penyakit kataraknya berangsur pulih dan dari tadi tidak bicara, kini nimbrung, “Cik lah pamarentah teh mere bantuan hiji sapi we keur satiap kulawarga. Supaya aya dagoaneun. Mun euweuh bantuan mah, urang rek balik,” katanya sambil ngeloyor meninggalkan tempat ngobrol.

Beberapa tahun lalu Mang Enda pernah menjadi petani sayuran, dan sempat merasakan manisnya pekerjaan itu. Tetapi suatu ketika perhitungannya meleset, harga sayuran anjlog dan sebagian lagi gagal panen. Dia merugi besar dan sakit-sakitan. Kini dia lebih banyak di rumah.

Mungkin bagi sebagian warga setempat, menjadi petani hari ini, tampaknya bukan karena hasilnya menjanjikan. Melainkan tidak ada lagi pilihan. Apalagi sedikit demi sedikti tanah mereka juga sudah berpindah kepemilikan. Sementara dapur harus tetap ngebul dan anak-anak mustahil tidak diberi uang jajan atau ongkos bersekolah.-Enton Supriyatna Sind.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja