Salsha Anak Desa, Berpikir Lebih Maju

Salahsatu siswa bimbingan saya ini bernama Salsha Amelia Ananda. Siswi kelas 6 Sekolah Dasar (SD) yang berperawakan kecil, mata bulat hitam, bulu mata panjang lentik, dan memiliki kulit bersih adalah peserta bimbingan saya yang paling rajin mengikuti setiap pertemuan yang di selenggarakan setiap Minggu siang. Ia di lahirkan pada tanggal 11 Mei 2006 dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai satpam, Liwanso dan Ernawati.

Sebagai seorang anak tunggal, Salsha kerap merasa kesepian karena hanya ada dirinya seorang di rumah. Kedua orang tuanya bekerja sebagai satpam dengan waktu kerja selama 6 hari dalam seminggu. Ayahnya seorang satpam di sebuah tempat karaoke di daerah kota Bandung dan ibunya ialah seorang satpam di sebuah pabrik. Karena kesibukan orang tuanya, Salsha kerap merasa kesepian sehingga ia jarang berada di rumah. Ia sering menghabiskan waktu dengan saudara-saudaranya yang mana rumah mereka sangat berdekatan. Di waktu senggang, ia kerap membantu mengasuh anak bibinya, atau pergi ke kebun milik kakeknya.

Salsha bercerita bahwa ia tinggal di rumah sederhana yang terletak di tengah-tengah perkampungan desa dataran tinggi Bandung, Sentak Dulang, Kecamatan Cimenyan. Rumahnya berjejer dengan rumah bibi dan neneknya, yang mana di sebelah kiri rumah terdapat kandang kelinci dari kayu dan didepan rumahnya terdapat jemuran ala kadarnya dari bambu yang terletak di halaman mirip lapangan yang lumayan luas. Halaman rumahnya itu kerap di jadikan lahan parkir untuk orang-orang yang berkunjung kepada seorang dukun yang rumahnya dekat dengan rumah Salsha.




Di bulan Mei ini, Salsha akan lulus dari sekolah dasarnya, SDN 174 Pasir Impun, dan hendak melanjutkan sekolah ke SMP yang tak jauh dari sekolah dasarnya.

Salsha berbeda dari anak-anak bimbingan saya lainnya, ia satu-satunya anak yang sekolah di SDN 174 Pasir Impun, yang mana jarak sekolah itu sangat jauh dari rumahnya. Perbedaan lain yang dimilikinya ialah ia sangat mudah menangkap materi yang saya berikan daripada anak-anak lainnya. Ia juga lebih aktif, lebih semangat, dan lebih percaya diri di bandingkan dengan teman-temannya. Usut punya usut, hal itu di karenakan kualitas sekolah tempatnya menuntut ilmu. Dengan letak sekolah yang dekat dengan perkotaan, akses fasilitas umum yang mudah, dan fasilitas sekolah yang terbilang baik menjadikan sekolahnya lebih maju daripada sekolah anak-anak lainnya yang saya bimbing.

Di sekolahnya ia belajar bahasa Inggris dan pelajaran lain dengan baik, sehingga ketika di tanya perihal sesuatu ia selalu bisa menjawab. Berbeda dengan sekolah anak-anak bimbingan saya yang lain yang mana di sekolahnya tidak ada pembelajaran bahsa Inggris sama sekali. Salsha bercerita bahwa di sekolahnya juga mempunyai perpustakaan, hal inipun menjadi pembeda dengan anak lainnya, yang mana di sekolah mereka tidak mempunyai perpustakaan.

Salsha ialah anak yang selalu percaya diri untuk unjuk diri, ia selalu menjadi yang pertama ketika di minta melakukan sesuatu terkait pembelajaran, seperti membaca kembali materi atau memperagakan percakapan. Salsha juga sudah berfikir maju dibanding teman-temannya. Ia adalah anak yang sangat berambisi untuk kuliah ke luar negeri, yaitu ke Singapore untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang Psycoanalist dan psikolog.

Sekalipun Salsha berpikir maju, tetapi situasi kehidupan terbelakang mengakibatkan ia tetap hidup terkungkung yang menghambat pencapaian imajiasinya.

Ia pun masih memiliki kebiasaan hidup terbelakang sebagaimana teman-temannya. Misalnya ia termasuk salah satu dari semua anak bimbingan saya yang menjawab tidak mau membantu orang yang terjatuh di jalan hanya karena alasan tidak mengenal orang tersebut. Hal ini bisa jadi dikarenakan kurangnya kesadaran emosional empathy yang disebabkan oleh keluarga dan lingkungan.

Tentu, hal-hal buruk itu harus segera berubah dengan proses pendidikan aktif. Kita mengusahakan dengan teladan-teladan konkret dan realistis untuk menjadikan mereka menghargai nilai kemanusiaan dan peduli lingkungan.

-Harti Tsaeni. Fasilitator Pendidikan Luar Sekolah Odesa-Indonesia. Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris UIN SGD Bandung.

Keranjang Belanja