Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia Bandung
Kita sudah sama-sama memahami, dampak Pandemi Covid-19 ini akan merepotkan sendi-sendi kehidupan. Yang paling mendasar adalah ekonomi. Kita harus mencari solusi, terutama untuk kaum miskin yang makin banyak jumlahnya.
Melalui tulisan ini, saya berkontribusi memberikan satu pedoman untuk kinerja dasar pendampingan/pemberdayaan ekonomi, terutama bagi warga lapisan bawah. Moga-moga berguna untuk pemerintah, guru/dosen atau kelompok sipil lain.
Memahami perilaku
Kita mulai dari persoalan nyata. Ketika dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) digulirkan beberapa hari sebelum lebaran, kita disuguhi kabar, banyak orang miskin ke pasar belanja pakaian. Sebagian orang mempersoalkan perilaku penerima bantuan karena semestinya bantuan untuk pangan, bukan untuk pakaian lebaran yang mestinya ditunda dulu.
Pengalaman kecil ini perlu diperhatikan karena dimensi ekonomi tak cukup dilihat secara linier. Persepsi manusia terhadap material (terutama uang) juga sangat beragam. Ada dimensi psikologis yang terlihat lebih ketimbang dimensi rasionalnya.
Urusan pangan bisa dikalahkan oleh urusan gengsi (baju baru atau kendaaran baru). Ada pula bahkan yang hidupnya miskin tetapi gengsi menerima bantuan. Atau, mau bantuannya tetapi jangan disebut miskin.
Dengan kata lain, manusia memiliki orientasi, perasaan, termasuk sisi “habitatnya” karena mengalami pengalaman hidup dari kultur keluarga atau masyarakat yang berbeda-beda.
Pemberdayaan ekonomi yang selama ini dijalankan oleh pemerintah sering kali dilakukan secara serampangan, tanpa metode pendampingan yang kreatif dan hanya lebih menekankan sisi material seperti uang dan insfrastruktur. Kalaupun ada dimensi edukasinya, biasanya asal jalan dengan satu duakali pertemuan beramai-ramai. Usai anggaran terserap, habis urusan.
Belum lagi, pemerintah sering pragmatis melaksanakan kegiatan tanpa pilihan model lain, dengan menekankan program dari atas (top-down). Padahal semestinya 80 persen bottom-up, 20 persennya top-down. Itulah mengapa pernah pada suatu penelitian di Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan, keberhasilan pemberdayaan petani miskin 62 persen dilakukan oleh kalangan Non-Government Organizations (NGO), sedangkan 38 persennya dilakukan oleh negara dengan menyedot biaya puluhan kalilipat di banding anggaran NGO.
Psikologi Menentukan
Satu hal yang menentukan dalam proses pemajuan ekonomi dan tak banyak diterapkan oleh para pendamping adalah pendekatan psikologi. Untuk memahami dimensi psikologi tak ada jalan lain kecuali dengan komunikasi intensif yang panjang.
Tak ada jalan instan untuk perubahan manusia. Seorang pendamping ekonomi misalnya, lebih baik menekankan urusan “alam batin” keadaan hidupnya, ketimbang sekadar memperhatikan keadaan ekonominya.
Mengapa pendekatan ini penting?
Manusia memang bisa menerima kaidah-kaidah keuntungan dan kerugian dalam ekonomi. Namun di balik urusan pekerjaan, ada dimensi identitas kelas (gengsi) sehingga orang-orang lebih memilih pendapatan rendah tapi “dirasa” keren. Bisa jadi karena alasan tidak mau ribet, terlanjur bekerja dengan cara lama (terjebak kultur) atau saat melakukan pekerjaan baru dirasa memberatkan.
Sebagai pegiat gerakan lapangan di Yayasan Odesa Indonesia, saya merasakan betul dimensi manusia (makhluk yang bisa berpikir ini) tidak mudah berubah. Ketertarikan atau penolakan terhadap hal yang baru lebih banyak ditentukan oleh asas psikologi ketimbang asas rasional ekonomis.
Karena aspeks psikologis ini pula bisa menyebabkan seseorang antusias mengikuti kerja di masa awal, tapi mogok di tengah jalan. Sering pula terjadi sebaliknya; menolak gagasan di awal tetapi belakangan menerima kemudian berhasil.
Itulah mengapa dalam urusan pekerjaan sering muncul perbandingan manusia dengan hewan dan mesin. Perilaku manusia dianggap tidak loyal berbanding dengan ternak jinak dan mesin yang mudah diatur. Jangankan mengurus orang lain yang tak kita kenal sebelumnya. Mengurus saudara dekat pun sering gagal padahal sudah mengorbankan banyak waktu dan biaya. Lantas muncul istilah, “kurang apa coba”.
Pemikiran Francis Fukuyama dari buku “Identity” (2018) menarik diperhatikan. Menurutnya, teori-teori perilaku manusia lebih relevan jika dibangun di atas teori tentang sifat manusia: keteraturan yang muncul dari biologi manusia.
Fukuyama juga bilang, motivasi ekonomi juga tidak semata mencerminkan keinginan secara langsung untuk memperoleh kekayaan atau sumberdaya. Faktanya, kecenderungan terhadap uang dianggap sebagai penanda status dan bisa membeli rasa hormat.
Wajar jika sering muncul kontradiksi antara keadaan alam yang penuh potensi ekonomi, namun di sekitarnya bergelimpangan orang miskin. Terjadi pula kontradiksi di perkotaan yang pertumbuhan ekonominya bagus, namun banyak orang tak bisa memanfaatkan peluang dan tetap miskin. Muncullah istilah “ironi”, “anomaly”, “tragis”, dan sejenisnya.
Irasionalitas
Irasionalitas ekonomi juga terlihat pada kemajuan teknologi internet yang digadang-gadang sebagai potensi pemerataan ekonomi. Nyatanya lebih banyak digunakan untuk hiburan, partisan politik tanpa tujuan yang jelas, atau sekadar gengsi sosial.
Itulah mengapa ketika banyak motivator berkhotbah tentang keharusan ini dan itu, hanya berbuah menghasilkan ekonomi bagi motivator (yang dibayar), sementara kelas menengah yang bisa menemukan jalan perubahan sangat sedikit. Fakta, perubahan tak cukup dengan kata-kata klise-bombastis.
Jiwa adalah entitas paling mendasar. Filsuf Socrates sejak awal menjadikan jiwa sebagai penentu perilaku manusia dalam menentukan pilihan. Di dalam diri manusia, ada logos, terletak di kepala, tempatnya menerima hal-hal rasional, ada thymos di dada, tempatnya manusia mengambil keputusan berbasis emosi, dan ada juga eros di bawah perut, tempat beroperasinya hasrat.
Menarik kiranya jika dihubungkan dengan pemikiran Abraham Moslow dengan konsep kebutuhan hidup manusia dengan hirarkinya yang terkenal itu (Fisiologis/Physiological Needs, Rasa Memiliki Dan Kasih Sayang /Social Needs, Penghargaan /Esteem Needs, dan Aktualisasi Diri/Self-actualization Needs).
Beberapa kebutuhan dasar manusia memang bertingkat-tingkat. Namun, seseorang tidak selalu melihat arti kecukupan dalam pengertian ilmu pengetahuan. Tidak! Bahkan, banyak orang miskin rela menekan pemenuhan dasar makanannya, tidak memperhatikan kebutuhan dasar sanitasinya, tetapi motornya keren, bajunya keren, ponselnya mewah. Itu semua dilakukan sekalipun dengan pontang-panting membayar cicilan.
Irasionalitas ekonomi ini juga sering berlaku pada golongan menengah, misalnya orang lebih mengutamakan pesta kawinan anaknya berbiaya ratusan juta hingga milyaran ketimbang menyekolahkan anaknya lebih tinggi. Lebih memilih ganti mobil baru ketimbang memperkuat ilmu pengetahuan yang bisa mendorong dirinya lebih aman hidup di hari tua.
Jalan Pemberdayaan
Tak perlu kita menjadi psikolog apalagi psikiater sekalipun realitas hidup manusia sebenarnya membutuhkan banyak psikiater. Pendekatan psikologi ini dimaksudkan adalah, bahwa proses pemajuan ekonomi harus memiliki target, misalnya tercukupi kebutuhan dasar secara wajar. Usahanya ialah melakukan pemaksimalan potensi setiap individu.
Garis-garisnya kerjanya pendampingan yang perlu kita lakukan antara lain. 1) Memberikan kesempatan atas beberapa pilihan pekerjaan, 2) Menyadarkan tentang pentingnya mengelola kebutuhan hidup secara teratur, 3) Mendesain perhatian keluarga dan relasinya dengan memaksimalkan kasih-sayang, 3) Mendapatkan penghargaan atas kinerjanya, dan 4) Mendapatkan kesempatan beraktualisasi diri dalam lapangan sosial yang lebih luas[]
(Sumber: Koran Pikiran Rakyat Jawa Barat, Rabu 3 Juni 2020. Naskah asli ini sedikit lebih panjang/lengkap dari naskah yang dimuat).