Oleh BUDHIANA KARTAWIJAYA. Ketua Pembina Odesa Indonesia.
Viirus kapitalis merembes jauh ke jantung desa. Orang-orang kota membeli tanah atas nama investasi, tapi membiarkan tanah itu tidak produktif. Sementara orang desa sangat butuh tanah untuk kehidupan.
Orang kota membeli mata air, demi hiburan matanya yang rindu pada air bening. Padahal orang desa perlu air untuk hidup, bukan untuk hiburan mata.
Modal dan kerakusan telah menyingkirkan orang desa ke kehidupan yang sempit. Komunalisme rusak.
Warga desa menjadi serigala bagi sesama: berebut rezeki kecil di lahan yang makin sempit.
Homo homini lupus Thomas Hobbes itu terjadi di kota karena berlomba kerakusan (At Takatsur), tapi di desa karena soal survival.
Tak ada lagi cerita gotong royong membangun rumah, semuanya harus ada uang. Tak ada lagi saling melindungi, karena itu rumah-rumah lebih suka memelihara anjing kampung, biarpun kudisan.
Maka ketika nafsu serakah itu merangsek ke desa-desa, kaum perempuan dan anak-anak adalah lapisan yang paling rentan dan ada di garis depan jadi korban.
Di bawah bimbingan K.H. Maman ImanulHaq (Ketua Lembaga Dakwah PBNU), kaum ibu ikut berdoa. Di waktu Ashar yang cerah ketika ada pergantian shift para malaikat penjaga bumi, para ibu ini menundukkan hati menyampaikan doa kepada ilahi.
Dzikir, shalawat dan senandung dakwah berbahasa Sunda, mudah-mudahan dibawa para malaikat yang pulang ke langit.
Ketika mereka berdoa, tonggeret pun berbunyi, bersahutan dari satu pohon ke pohon lain. Suara jangkrik pun terdengar. Suara anak katakpun lamat-lamat berbunyi.
Mungkin mereka pun risau. Pohon semakin jarang, rumput makin kering, air makin surut.
Doa adalah benteng terakhir. Doa adalah pertanda kelemahan sekaligus kekuatan manusia ketika menghadapi kekalahan.
Mudah-mudahan Tuhan mengijabah doa kaum perempuan desa ini, dan menguatkan lagi semangat gotongroyong mereka.[]