Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia IG Faiz Manshur IG Odesa Indonesia
Beberapa bulan lalu, Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional, membaca tulisan hasil wawancara saya dengan alm Munir SH.
Dari wawancara tersebut, Usman merespon pemikiran Munir tentang dua pilihan sebagai agenda menyelamatkan demokrasi di Indonesia yang mau tidak mau harus dijalankan jika demokrasi di Indonesia bisa menghasilkan perbaikan kesejahteraan rakyat.
Karena Usmad Hamid serius memperhatikan itu, saya juga kembali membaca perbincangan saya dengan alm Munir, dan itu memang relevan untuk dijadikan kerangka berpikir (memikirkan) hubungan masyarakat dengan negara.
Pertama, kita (kalangan pergerakan sosial) mengambil jalan pertarungan di parlemen (termasuk ekskutif). Pilihan satunya lagi, mati-matian mendidik rakyat.
Maksud Cak Munir tentu bukan sekadar “memilih peran” yang menjadi tujuan, melainkan kerja keras-nya, atau proses kerjanya yang harus mendapatkan tekanan perhatian.
Kata “pertarungan” di parlemen merupakan isyarat bahwa kekuasaan itu bukan tempat nongkrong atau tempatnya mengharap Indonesia berubah baik dengan kerja rutin tanpa pemikiran dan tanpa keberanian.
Demikian juga kata “mati-matian” dalam mengambil peran mendidik masyarakat. Di situ kita bisa memaknai sendiri mengapa Munir memilih kata itu.
Odesa Indonesia telah mengambil salahsatu peran tersebut karena langsung masuk ke problem masyarakat di kalangan petani.
Apa yang disampaikan Cak Munir itu esensial. Tinggal bagaimana keseriusan kelompok sipil mengambil peran dan tentu saja bagi Organisasi Odesa Indonesia bukan saja mengambil perannya, melainkan juga kemampuan menciptakan inovasi dari model gerakan yang diharapkan bisa diterapkan oleh kelompok lain di tempat lain.
Salahsatu inovasi yang paling penting adalah peran OdesaIndonesia mengambil model “gerakan sosial”, bukan “kebaktian sosial”. Rumus ini lahir dari gagasan inisiator Odesa Indonesia, AE Priyono (alm).
Sejak tahun 2016 itu, gerakan sosial Odesa -dengan ruh civic-virtue- menetapkan tiga bidang, yakni ekonomi-ekologi, sanitasi, dan literasi. Semua bidang ini dipilih karena berdasar problem nyata yang terjadi di masyarakat.
Perlu ditekankan juga bahwa problem di masyarakat yang masih bertebaran seperti kemiskinan, praktik ekonomi merusak lingkungan, pembiaran keterbelakangan, itu juga akibat dari gagalnya model pembangunan negara.
Harus diakui, sejak reformasi sampai kini mindset pembangunan pemerintah masih belum bisa keluar dari mindset pembangunan terkonsentrasi berbasis anggaran (bukan berbasis pemikiran).
Hampir semua model pembangunan eksekutif dari pusat sampai desa masih belum keluar dari kotak ini. Hampir semua politisi, baik yang berkuasa atau tidak, juga mengindap mindset kerja berbasis anggaran, bukan gagasan.
Jika tidak ada anggaran berarti tidak melakukan gerakan pembangunan dan kalaupun melakukan pembangunan biasanya tidak memakai gagasan untuk menghasilkan praktik berkelanjutan.
Ironisnya, porsi anggaran pembangunan masih besar terkonsentrasi pada urusan pembangunan fisik. Naas lebih lanjut, adanya pembangunan itu tidak berkorelasi dengan perubahan hidup masyarakat miskin dan terbelakang.
Kasus ini serupa dengan logika pertumbuhan ekonomi tumbuh baik tetapi keadaan rakyat jelata sama saja.
Itulah mengapa masih sering muncul pertanyaan bahwa pemerintah itu boros biaya tetapi tak menghasilkan dampak nyata.
Dan yang paling parah adalah bahwa pembangunan yang dimaksud itu adalah proyek,-pengertian proyek tereduksi sebagai praktik tercela bernama korupsi.
Kita harus mengusahakan setiap “proyek” adalah emansipasi. Setiap tindakan adalah mengurani keburukan dan setiap tindakan harus benar-benar terukur wujud perbaikannya.
PENDIDIKAN UNTUK PERUBAHAN
Selama bulan puasa 2022 ini, saya kembali menampung ragam pemikiran baik dari para pengurus maupun para petani.
Seperti biasanya juga, kami terus melakukan evaluasi atas apa yang telah dilakukan dan terus menciptakan hal-hal yang inovatif untuk melayani masyarakat petani, terutama warga miskin di Kawasan Bandung Utara (KBU).
Strategi baru 2022 ditetapkan, bukan memperluas gerakan yang menjadi pilihan dasar, melainkan memperbaiki (pelayanan) dari organisasi kami.
Menambah jumlah petani mengambil peran ekologi dari 2.800 orang itu jelas diperlukan, tetapi yang lebih penting adalah memaksimalkan gerakan ini bisa mengubah keadaan di masyarakat dari basis yang telah ada.
Sebab pada 2.800 keluarga petani itu sudah terdapat lebih 6.400 jiwa orang-orang miskin yang harus diperhatikan lebih detail kebutuhan hidupnya.
EDUKASI ANAK PETANI
Atas dasar itulah maksimalisasi pelayanan harus dilakukan. Pertama, ada kebutuhan merekrut relawan mengajar anak-anak petani di desa-desa.
Dari 11 lokasi (tahun 2021), ada permintaan baru berjumlah 9 kampung. Relawan mengajar berjumlah 17 (mahasiswa).
Setiap kampung membutuhkan 2 atau bahkan 3 relawan yang bisa mengajar dalam waktu yang sama. Jadi ada kebutuhan 16 relawan baru untuk mengajar anak-anak desa. Hari pelaksanaannya sebisa mungkin minggu, jika tidak bisa hari minggu bisa dilakukan hari sabtu.
Di dalam pandangan Odesa, pendidikan baik formal, informal maupun non-formal harus ditegakkan bersama-sama.
Ilmu pengetahuan harus digelar karena kemiskinan dan keterbelakangan, termasuk tragedi hidup dalam masyarakat, disebabkan oleh macetnya pengetahuan sementara situasi kehidupan terus berubah.
Anak-anak petani miskin membutuhkan “uluran tangan” dari kelas menengah.
“Uluran tangan” yang utama adalah terwujudnya pendidikan yang tepat dan berkelanjutan. Mengevaluasi praktik pembangunan negara dalam bidang pendidikan harus terus disuarakan karena negara tidak menaruh perhatian pada kelompok orang miskin.
Selama ini orang miskin hanya dilihat dari sisi ekonomi, bukan dari sisi (manusia secara utuh) yang membutuhkan hak dasar mendapatkan akses pendidikan.
Seolah-olah urusan pendidikan hanyalah urusan anggaran dan urusan bangunan fisik. Lebih parah lagi, mindset politisi masih melihat usaha pendidikan itu pada dimensi pendidikan formal.
Seolah-olah kita tidak punya undang-undang pendidikan informal dan non-formal.
Tetap terus mempersoalkan ketidakadilan pemerintah, Odesa Indonesia juga menjalankan pendidikan itu secara konkret.
Bukan saja sekadar menjalankan, melainkan juga berusaha sekuat mungkin menghadirkan model-model baru dari aksi konkret pendidikan kewargaan.
Dan agenda lain yang tak kalah penting adalah menarik partisipasi kelas menengah, terutama kalangan pendidik, jurnalis, seniman, wirausahawan, dan lain sebagainya untuk berkenan berbagi pengetahuan dengan mengalokasikan waktu, harta dan energinya.
PENDIDIKAN UNTUK ORANG TUA
Atas dorongan kebutuhan petani, Odesa harus lebih serius dalam menggelar pendidikan kewargaan di kalangan petani. Anak-anak petani, terutama anak miskin harus diperhatikan.
Demikian orangtuanya. Kami percaya urusan survive sangat bergantung dengan ilmu pengetahuan, karena itu pendidikan harus digelar pada setiap umur.
Hasil pergulatan Odesa dengan para petani membuktikan, para petani senang dengan kehadiran pengurus Odesa. Tetapi dari mereka tidak mudah untuk mengakses pertemuan.
Mengandalkan pertemuan saat kegiatan jelas tidak efektif karena jenis kegiatan odesa beragam dan lokasinya berpindah-pindah. Menunggu siklus kembali bertemu di kampung masing-masing terkadang butuh waktu satu tahun.
Solusinya, tetapkan pertemuan rutin. Bertempat di rumah Toha (Waas) dan satunya lagi di rumah Pak Sutardi (Cisanggarung). Setiap bulan harus ada dua pengurus Odesa yang menemui petani untuk tujuan edukasi.
Apa yang akan dilakukan di sana? Ialah menjadi fasilitator. Bukan fasilitator pertanian lagi. Itu sudah kurang penting karena urusan pertanian sudah berjalan baik.
Yang sekarang dibutuhkan adalah soal wawasan hidup dan kebutuhan-kebutuhan mengatasi problem kemasyarakatan.
“Wawasan apa yang dibutuhkan petani?”
Demikian pertanyaan saya kepada para petani. Mereka lantas mengumpulkan apa yang mendesak untuk urusan transfer ilmu pengetahuan ini.
Hasil rangkuman tentang “kebutuhan pendidikan untuk petani antara lain”: 1) Pengetahuan hubungan warga dengan negara, 2) Hubungan tentang situasi modern dengan situasi petani (tradisional), dan hubungan kehidupan masa kini dengan hari depan.
Maka, seorang fasilitator petani dari Odesa harus menguasai pembicaraan tentang fungsi KTP, KK, Kartu Tani (dengan problem-problemnya).
Harus paham apa itu Anggaran/Dana Desa, Undang-Undang Desa, dan juga bisa menberikan pencerahan. Harus mengusai masalah dasar tentang peran Kades, BPD, DPR/DPD, Bupati, Gubernur dan seterusnya.
Ini materi ilmu pengetahuan dasar yang harus dikuasai para fasilitator Odesa. Adapun masalah lain adalah soal wawasan lingkungan hidup, gotong-royong, pentingnya pendidikan dan seterusnya.
Tidak sulit, tetapi juga tak boleh meremehkan. Ilmu bisa sama, tetapi cara memberi ilmu itu butuh kecerdasan tertentu agar ilmu benar-benar bermanfaat (dipahami secara benar dan diamalkan menjadi manfaat yang berkelanjutan).
Mengapa harus tetap update ilmu?
Karena di lapangan sering muncul pertanyaan-pertanyaan yang liar dan tak terduga yang pada akhirnya pengurus Odesa juga harus mengusahakan pelayanan untuk mengatasi problem yang dihadapi para petani.
Ini bukan hal baru, saya menulis hanya untuk menegaskan apa yang telah menjadi tradisi kita dalam melayani masyarakat.
Selain itu, ada masukan juga dari para petani agar para fasilitator dari Odesa itu sering menceritakan proses hidupnya. Misalnya mengapa pak Hawe Setiawan bisa menjadi dosen. Bagaimana caranya? Bagaimana Basuki Suhardiman menjadi pegawai ITB? Dan seterusnya.
Mengapa petani merasakan hal-hal seperti itu bermanfaat? Mereka menjawab, “petani lebih suka hal itu karena memberi wawasan daripada diajari urusan pertanian,” demikian kurang lebih alasannya.
GERAKAN SIPIL SEJATI
Kita hidup di dalam ruang demokrasi. Urusan demokrasi bukan sekadar mengontrol negara, tetapi yang utama adalah membuat para pelaku kekuasaan atau ekonomi/bisnis yang bergerak di masyarakat itu akuntabel.
Apa itu akuntabel?
Definisi normalnya Anda pasti sudah tahu. Tetapi saya ingin membuat pengertian baru yang substansial terkait dengan gerakan sosial, bahwa akuntabel adalah sebuah proses dan hasil yang terlihat transparan (bercahaya), yang bisa menerangi kegelapan dan kemudian (sumber) cahaya itu bisa diambil oleh banyak pihak untuk dijadikan sumber energi menyala tempat lain yang juga mengalami kegelapan.
Syukur syukur cahaya itu bisa membakar praktik-praktik pendidikan yang tidak tepat dan menggantikannya dengan cara yang tepat.
Mari sedikit berteori, sesungguhnya pekerjaan kelompok sipil yang sejati itu bukan menandingi negara, melainkan harus memasuki ruang kerja esensial yakni menjadi menciptakan keseimbangan atas gerak tiga poros kehidupan di masyarakat yaitu pemerintah, komunitas/masyarakat dan sistem ekonomi pasar.
Setiap gerakan harus peka terhadap ketimpangan. Kita juga punya pekerjaan berat karena belum mampu menjawab problem ketidakadilan. Sila kelima Pancasila masih menjadi hiasan dinding.
Ketika pemerintah lemah akibat ada praktik bisnis yang merusak misalnya, peran organisasi sipil seperti Odesa harus peka; selain mengingatkan pemerintah juga berani mengingatkan praktik ekonomi yang merusak, dan lebih penting lagi adalah mendorong masyarakat untuk juga sadar mengambil peran dengan memproduksi ilmu pengetahuan dari praktik-praktik nyata.
Itulah emansipasi!