Membenahi Cita-Cita Anak Desa

Oleh BUDHIANA KARTAWIJAYA. Ketua Pembina Odesa Indonesia

? “Apa cita-cita kamu?”
+ “Ingin jadi orang sukses, Pak!”

(Pernah juga saya bertanya kepada salah satu anak ini yang berbeda. Jawabannya: “ingin jadi orang yang berguna bagi bangsa, negara dan agama).

Ini dialog saya dengan anak-anak yang dikirim Odesa Indonesia menuntut ilmu di pesantren modern Al Mizan Jatiwangi pimpinan Kiai Maman Imanul Haq. Berhubung pandemi Covid, anak-anak ini harus balik kampung dulu ke kampung kawasan Cikadut, Cimenyan Bandung.

Mereka bukan libur, karena itu Odesa bertanggungjawab menjaga iklim belajar mereka. Salah satunya adalah pembelajaran membangun optimisme masa depan. Saya bertanya:

? “Maksudnya jadi orang sukses itu apa?”
? “Maksudnya ingin berguna bagi bangsa, negara dan agama itu apa?

Anak-anak itu itu diam kebingungan. Tapi saya minta mereka berkata dengan konkret tentang cita-citanya. Hampir 10 menit mereka berpikir, matanya menerawang ke langit-langit.

Yess..akhirnya pecah juga telur itu.
+”Ingin jadi penulis pak!”
+”Ingin jadi polisi pak!”
+”Ingin jadi dokter pak!”

Akhirnya anak-anak ini bisa berpikir konkret buat masa depannya.

“Kalau kamu jadi polisi baik, jadi dokter yang baik, dan jadi penulis yang baik, artinya kamu adalah orang sukses dan orang yang berguna bagi bangsa, negara dan agamamu!”.

Ketiga anak ini tidak berpikir konkret. Benatkah anak-anak desa tak mampu berpikir konkret tentang cita-citanya.

Tidak juga. Pernah bertanya kepada anak-anak di beberapa dusun yang mendapatkan pendampingan Odesa.

? “Apa cita-citamu?”
Yang laki-laki menjawab “Sopir truk!”
Yang perempuan menjawab : “Jadi kasir **mart!”

Sopir truk di situ memang jadi role model heroik. Ayah-ayah mereka, di antaranya ada yang banting tulang cari rezeki sebagai sopir truk, sehingga pekerjaan itu dihormati di kampung itu. Kasir mini mart menjadi idola, karena seragam mereka bagus, cantik, dan mereka pegang uang terus.

Dua pola pikir anak-anak pinggiran ini menarik untuk dikaji. Yang satu berpikir tidak konkret, yang satu berpikir konkret tapi terbatas pada karir yang sempit.

Perihal Sopir truk tentu bukan soal identitas atau status sosialnya. Semua pekerjaan (legal sosial tentunya) adalah baik karena kemuliaan manusia juga pada pekerjaan.

Yang kita bicarakan dalam hal ini fokus pada soal cita-cita. Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan apapun, tentu sebetulnya ada pekerjaan-pekerjaan lain di dunia ini yang memerlukan skill dan kualitas individu yang lebih tinggi dan lebih kompleks.

Saya melihat di balik kalimat “ingin jadi orang sukses” atau “ingin jadi sopir truk/kasir”, ada “penjara mental” kesangsian tentang masa depan yang cerah. Ruang lingkup sosial mereka itulah yang membatasi. Mereka melihat orangtuanya bukan orang sukses.

Dengan kata lain, kalimat “ingin jadi orang sukses” sebetulnya cermin dari kesulitan hidup yang mengurat-akar turun temurun. Mereka memilih karir pekerjaan yang low skill, juga cerminan dari persoalan itu, sehingga rasanya tidak mungkin “aku” jadi dokter, insinyur, pilot dan lain-lain.

Dan kalau kita tanya kepada orangtuanya kemungkinan besar terkonfirmasi. Kebanyakan orangtua miskin juga ingin agar anaknya sukses, tapi mental sangsi sudah berakar dalam benaknya.

“Ah dari mana biayanya.” Atau “Ah..rasanya tak mungkin, karena tak ada biayanya”.

Kesangsian ini menyebabkan pemikiran orangtua juga terbatas. Kalau dirinya adalah buruh tani, maka orientasi hidup anaknya tak akan jauh dari dunia perburuhan pertanian. Jadi apa pentingnya sekolah tinggi? Jika orang tuanya adalah tukang parkir, maka usahanya adalah memfasilitasi anaknya dengan mencari lahan parkir. Kurang lebih begitulah model berpikir mereka, dan ini luas berlaku pada masyarakat Indonesia, bahkan di hampir negara dunia ketiga.

Lain urusannya dengan anak-anak berkelas di perkotaan yang bercita-cita tidak sekadar dokter atau insinyur, tapi juga ingin seperti Bill Gates, Elon Musk, bankir, trader valas, dan lain-lain.

Orang-orang dari kelas pekerja di desa-desa memandang sekolah kurang bermanfaat karena hanya menjadikannya sebagai beban pengeluaran biaya.

Ironisnya, data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa perubahan pendidikan formal seringkali kurang cepat dan tidak strategis karena kurikulumnya diterapkan dengan pendekatan top-down. Banyak sekolah formal masuk desa tetapi tidak diminati orang miskin (bahkan sekalipun digratiskan) karena pendidikan yang diterapkan tidak senafas dengan problem hidup yang dihadapi rakyat miskin.

Pendekatan pendidikan harus memberi kesempatan anak-anak dengan memperhatikan realitas kehidupan mereka. Itu artinya metode dan kurikulum juga harus berbeda. Tak bisa orang desa terbelakang disamakan dengan anak-anak orang kota. Beda kultur, beda kelas sosial, tentu membutuhkan proses yang berbeda. Dengan pendekatan ini pula target juga harus berbeda-beda.

Semua orang miskin itu pasti berkata ingin jadi orang sukses, atau ingin jadi pekerja low skill. Tapi makna terdalam dari kalimat itu adalah sebuah budaya kesangsian.

Maka bila kita ingin Pendidikan bangsa ini berhasil membawa generasi ke arah berkualitas, salahsatu tugas penyelenggara pendidikan harus membongkar budaya sangsi ini. Harus ada keberanian subsidi yang lebih besar terhadap Pendidikan kaum marjinal. Tantang para guru terbaik masuk ke desa, berikan gaji dan insentif yang lebih besar. Ajak mitra-mitra lokal untuk membersihkan budaya sangsi ini.

Jangan jadikan daerah terpencil menjadi buangan bagi guru-guru yang tidak berprestasi, atau buangan bagi guru yang kritis terhadap atasan.

Di zaman modern sekarang ini mestinya tak ada keterbelakangan pada warga desa yang berada di pinggir kota. Lagi pula ada banyak orang dari kalangan terdidik yang bisa menjadi fasilitator belajar. Perjelas programnya, salurkan kesempatan pengabdian untuk anak-anak desa tertinggal agar kita bisa mewujudkan keadilan dalam dunia pendidikan.[]

Jalan Pendidikan Karakter Informal

Keranjang Belanja