Oleh RIZKY ALIFZA RAMADHAN. Relawan Odesa Indonesia.
Kamis, 3 Oktober 2019 lalu, saya bersama Hamid melanjutkan kegiatan sosial di kawasan Cilengkrang. Seperti biasanya, kami akan selalu mencatat problem sanitasi karena di Kawasan Bandung Utara (KBU) ini hampir semua keluarga petani memiliki problem sanitasi. Kalaupun mendapat sumber air yang bagus, tetapi terkadang keadaan sanitasinya buruk.
Kamis pagi itu, saya menemukan sebuah lokasi yang problematis. Pada salah satu blok perkampungan di Legok Hayam, Desa Giri Mekar, Kecamatan Cilengkrang, lokasinya berjarak 2,7 km dari Alun-Alun Ujungberung atau 12 km dari Gedung Sate, Kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat.
Terdapat sekitar 15 Keluarga tinggal di lereng perbukitan. Di sekelilingnya kebun-kebun menghampar kekeringan. Dari jarak 50 meter saat kendaraan kami lewat, saya melihat sebuah bangunan Mandi, Cuci, Kakus (MCK) yang reyot. Penasaran akan hal itu kami turun dan memeriksanya.
Ternyata bangunan ini merupakan MCK yang sudah tidak dipakai. Seorang Ibu bernama Heti, 40 tahun, yang menyapa kami menceritakan keadaan MCKnya yang tidak layak. Kami pun mengikuti Ibu Heti tersebut ke lokasi MCK yang di belakang rumahnya. Ibu Heti bilang:
“Kadang sering tidak keluar air. Gangguannya hampir muncul tiap hari karena air di bak tidak selalu penuh, dan dibagi banyak orang juga,” katanya.
Ibu Heti setiap hendak memanfaatkan air, ia harus membentangkan selang yang panjangnya kurang lebih 200 meter untuk mengalirkan air sampai bak di MCK tersebut. Jenis selang waterpass berdiameter kecil yang biasa digunakan untuk alat ukur kesejajaran bangunan. Saya hitung jumlah selang di bak penampungan air ini jumlahnya mencapai 34. Sangat semrawut.
Mendapat aliran air bukan berarti sejahtera keadaan rumah tangganya. Pasalnya, di setiap rumah tangga penduduk mayoritas pekerja serabutan tersebut banyak yang keadaan MCKnya kurang air dan keadannya kumuh memprihatinkan. Air yang sulit membuat warga harus berbagi.
“Di samping rumah saya, ada janda beranak 7. Mereka kerepotan sekali kalau air sudah sulit didapat, saya berbagi sekadar satu-dua gayung,” katanya.
Ibu Heti merasa hidup dalam kesusahan atas situasi air yang selama ini menimpanya, terutama di musim kemarau. Ia sangat ingin mendapat air yang stabil, bersih dengan toilet yang layak. Ia terkenang zaman kecilnya saat masih memiliki sumur. Sekarang sumur sudah tidak ada karena tidak keluar air lagi.
“Di sini sebenarnya masih bisa membangun sumur tapi harus digali lebih dalam. Tapi biayanya mahal,” keluhnya.
Dari keterangan yang saya petik, keadaan kampung Legok Hayam ini sama seperti daerah lain di perdesaan Kabupaten Bandung. Bahkan lebih parah karena bukan hanya MCKnya yang kumuh, melainkan kesulitan sumber airnya. Bertahun-tahun hidup dalam kekurangan air dan sanitasi yang tidak sehat jelas menyiksa.[]