Di kampung-kampung Cimenyan. Lokasinya hanya berjarak 4 hingga 12 Km dari Kota (wilayah Kabupaten Bandung) namun kehidupannya sangat tertinggal. Suasana jelang lebaran terdengar suara anak-anak menabuh alat musik. Ada ketongan, ada kaleng ditabuh. Hanya itu yang menggambarkan suasana lebaran. Sejak Agustus 2016 lalu, kami sering keluar masuk kampung-kampung di sini, memang suasana perkampungan jauh dari kemakmuran. Sekalipun dekat dengan kota dan saya bisa kapan saja mengambil waktu mengurus warga yang didampingi Odesa Indonesia, tetapi suasana kebatinannya memang lain.
Beberapa hari belakangan saya dan teman-teman berbicara dengan keluarga di desa. Mereka tak terlalu antusias membicarakan lebaran. Sebab berbicara lebaran bagi orang tua adalah bicara soal biaya. Anak-anak kepingin baju baru. Kepingin bepergian. Tetapi apa daya, uang di saku hanya ada 200 atau 300 ribuan untuk persiapan lebaran.
Dan ironisnya, pada hari-hari terakhir lebaran ini mencari uang makin sulit karena pekerjaan ladang justru banyak berhenti. Hanya sebagian yang masih bisa berharap dapat pemasukan karena menjual pisang atau hasil tanaman lain. Saldo uang sebesar itu tentu harus untuk memenuhi kebutuhan belanja rumah tangga. Beras, minyak dan lauk harus menjadi prioritas.
Dan pada hari ke 26 Ramadhan tahun 2017 ini, saya mendengar kabar dari Ketua Odesa Bapak Faiz Manshur kalau data orang yang berstatus miskin akut/atau parah sampai hari ini mencapai 632. Kemungkinan masih akan bertambah sekitar 200 sampai H -1 lebaran. Data ini singkron dengan data Odesa sebelumnya yang mendapatkan fakta lapangan 890 keluarga miskin dengan keparahan yang akut.
Teman-teman kota sebagian sudah membantu. Tetapi jumlahnya belum mencapai itu. Sesuai spirit Ramadhan yang lekat dengan lapar dan haus, marilah kita berderma untuk mereka yang sepanjang perjalanan hidupnya selalu kekurangan.[Didik Harjogi]