Impor Pangan Triliunan, Pemerintah Salah dalam Pendidikan

Pegiat Sosial Odesa Indonesia, Basuki Suhardiman menyatakan, keadaan pangan Indonsia saat ini sudah sangat mencemaskan. Menurutnya, banyak data tentang impor dan ekspor bahan pangan dari tahun ke tahun yang memperlihatkan keadaan Indonesia seperti tidak memiliki kegiatan baru pada bidang pertanian.




“Yang sudah ada seperti kopi menurun, yang belum berkembang dihantam impor. Kita tidak memiliki model produksi yang bisa mencukupi kebutuhan pangan kita sendiri, dan dari tahun ke tahun usaha pemerintah tidak memberikan kabar yang menjanjikan,” katanya.

Basuki memaparkan data tersebut pada acara “Dialog Publik Malam tahun Baru: Masa Depan Jawa Barat: Antara modernisasi dan keterbelakangan di Pasir Impun,desa Cikadut Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, Minggu 31 Desember 2017.

“Setiap tahun bahan pangan kita impor lebih 100 triliun. Contoh gandum kita impor sampai 24 milliyar dollar, atau sekitar 30 triliun lebih. Salahsatu hasil impor ini untuk bahan baku mie instans,” kata basuki.

Selain contoh gandum, Basuki juga mencontohkan impor kedelai yang setiap tahun Indonesia masih mengimpor kurang lebih 13 triliun padahal ini untuk bahan makanan rakyat seperti tempe. Sedangkan beras masih impor sekitar 7 triliun pertahun. Bawang masih impor sekitar 7 triliun pertahun. Bahkan bibit bunga matahari saja Indonesia mengimpor sampai 100 milyar per bibit.

“Kemudian ada yang menarik kopi. Kita ekspor sekarang hanya 13 triliun sebelumnya 15 triliun. Artinya menurun. Tahun 2017 sangat mengkhawatirkan karena neraca perdagangan kita hanya tinggal 130 miliyar. Artinya laba dari perdagangan satu negara hanya 130 milyar. Seandainya dibagi 250 juta penduduk, paling setiap rakyat hanya mendapat uang Rp 2-3ribu,” papar Basuki.

Akar masalah
Lebih jauh Basuki menilai, pemerintah juga banyak melakukan kesalahan dalam dunia pendidikan sehingga tidak mampu memproduksi lulusan sekolah yang mampu menyelesaikan masalah, terutama pada urusan yang paling mendasar yaitu pangan. Satu hal yang mendasar pada problem penyedia pangan karena pemerintah tidak bisa melihat keadaan sesungguhnya keadaan keluarga akar rumput di perdesaan.

“Pemerintah berpikir mereka adalah farmer sehingga kebijakannya berorientasi farming. Sementaranya kenyataan di lapangan mereka adalah peasent, atau petani ladang, itupun kebanyakan ladangnya bukan milik petani sendiri,” katanya.

Menurut Basuki, situasi rumah tangga petani dalam konteks peasent ini mirip dengan kehidupan Eropa 500 tahun lalu. Itulah mengapa kami dari odesa Indonesia mengambil peran pendampingan pada pertanian rumah tangga dan bukan strategi pertanian dalam konteks farmer,” terangnya.

Untuk menuju arah tersebut Menurut Basuki, harus ada usaha transformasi dari peasent ke farmer melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kesediaan para pengajar turun rutin dalam jangka panjang. Beberapa materi yang penting diterapkan adalah mengusahakan perubahan pemikiran petani dalam hal mencatat, menulis, memahami informasi harga, mengetahui jenis tanaman baru dan yang paling cocok untuk kehidupan rumah tangganya.

Semua tujuan tersebut menurutnya harus diarahkan pada visi guna mengurangi import bahan-bahan pertanian, meningkatkan produksi, intensifikasi secara massif dan yang paling mendasar adalah kemampuan para petani melakukan pembibitan.

“Di Odesa Indonesia punya banyak contoh yang menggemberikan dalam usaha ini. Misalnya skill pembibitan tanaman obat seperti Kelor, Daun Afrika, Bunga Matahari, dan sekarang kami akan menambah skill produki bahan pangan superfood melalui model microgreen,” terangnya.

Selain Basuki Suhardiman, pada acara tersebut juga hadir narasumber lain seperti Prof.Dr. Arief Anshory Yusuf, Ekonom Unpad, Ahmad Baiquni, CEO Penerbit Mizan Bandung, Hawe Setiawan, Budayawan, Herry Dim Pelukis, KH. Maman Imanulhaq, Ketua Lembaga Dakwah PBNU.-Khoiril/jurnas.com

Keranjang Belanja