Solusi Kemiskinan Butuh Literasi Yang Tepat
Oleh Faiz Manshur
Ketua Odesa Indonesia
Kemiskinan adalah perkara hidup manusia. Pada setiap zaman ada masalah ini. Zaman negara-negara feodal (kerajaan) sarat dengan pertikaian politik karena unsur terbesarnya adalah kemiskinan. Hadirnya nabi-nabi pada agama samawi juga tak lepas dari masalah kemiskinan. Itulah mengapa tidak ada satu pun kitab suci yang lewat dari topik kemiskinan.
Ketika kolonialisme terus menekan dan menciptakan jurang antara kemiskinan dan kekayaan, pada akhirnya usaha pemerdekaan negara-negara terjajah menjadi kebutuhan. Sekarang?
Era demokrasi sejatinya adalah untuk kesetaraan dalam banyak hal. Dan kemiskinan menjadi masalah paling mendasar untuk diselesaikan. Tetapi faktanya, masalah kemiskinan tak kunjung teratasi. Bahkan pada negara yang sudah mampu menyelenggarakan demokratisasi secara baik pun kemiskinan terus menjadi problem mendasar. Indonesia adalah salahsatu negara yang pelik dalam urusan kemiskinan. Kemiskinan kita di dunia termasuk gawat karena lebih dari separuh isi penduduk Indonesia adalah warga miskin.
Pendidikan kita melalui sekolah formal tidak menjadi solusi bagi masalah ini. Keluarga petani yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia terpuruk berkepanjangan sehingga dari generasi ke generasi semakin menghilang. Kita pun kemudian menjadi bangsa yang lemah dalam produksi pangan. Pekerjaan di sektor petani yang tak terhubung dengan industri dan jasa kemudian terlantar. Tersimpulkanlah kemudian bahwa petani yang miskin tidak punya solusi melalui pertanian. Bahkan muncul istilah, untuk menjadi lebih sejahtera maka seorang petani harus beralih menjadi pekerja non pertanian.
Kita punya akumulasi kekeliruan dalam mengelola negara. Kita juga punya akumulasi kekeliruan cara berpendidikan sehingga masalah-masalah mendasar yang melahirkan kemiskinan tak kunjung bisa dientaskan. Negara kita adalah negara yang sibuk urusan politik. Berhenti di sekadar alat permainan kepentingan untuk kemakmuran politisi. Adapun politik sejati, yang mestinya menjadi alat untuk meraih kesejahteraan tak kunjung nyata mewujud.
Para pakar dan lembaga penelitian telah meyakinkan kepada kita bahwa hanya pendidikan-lah yang bisa mengatasi masalah ini. Di dalam pendidikan ada kekuatan besar di mana pola pikir menentukan. Tetapi bagaimana pendidikan yang tepat dan baik untuk setiap orang? Jawabnya adalah penegakan literasi yang esensial. Rumus ini harus menjadi pedoman dalam pendidikan di mana esensi pembelajaran adalah memahami apa yang dibaca, mengamalkan apa yang dipahami dan menuliskan (mendokumentasikan) apa yang diamalkan.
Dengan kata lain, produksi ilmu adalah sebuah syarat mutlak bagi perwujudan kualitas manusia. Tanpa penerapan literasi yang tepat sesuai rumus ini, pendidikan hanya akan melahirkan lulusan yang tak terhubung di masyarakat. Sekolah merdeka dicoba diterapkan di kampus-kampus agar mahasiswa lebih berkesempatan bereksperimen. Tetapi institusi kampus, atau lebih tepatnya para dosen, tak berkemampuan menjalankan praktik-praktik tersebut secara baik di lapangan. Akibatnya banyak mahasiswa yang menjalankan sekolah merdeka sebatas “merdeka” di luar kampus. Kasihan!
Kemiskinan dan Literasi
Setiap generasi yang ingin bebas dari kemiskinan membutuhkan perangkat paling mendasar yakni literasi. Jika literasi dilakukan secara salah -seperti kebanyakan pada sekolah formal di Indonesia- niscaya tak akan bisa berbuat banyak dalam mengatasi kemiskinan. Masalah ini kemudian menjadi semakin pelik karena kebijakan politik kita tidak memperhatikan secara serius usaha mengatasi kemiskinan ini. Indonesia menjadi sarang orang miskin karena pendidikan yang salah dan tujuan berpolitik yang salah. Akumulasi dari semuanya kita lihat sebagai negara yang tidak adil. Tak ada keadilan sosial di negeri ini.
Politik kita belum memungkinkan usaha pembebasan rakyat dari belenggu kemiskinan. Jutaan rakyat miskin yang berkurang bukan karena peningkatan ekonomi dan kesejahteraan hidup, melainkan karena habisnya usia.
Anggaran negara kita untuk orang miskin selalu minim. Celakanya, model pengentasan kemiskinan pun selalu salah. Belum lagi di sana sini mengalami kebocoran karena korupsi. Birokrasi menjadi sekadar lahan pekerjaan bagi kelas menengah yang meminta pelayanan terlebih dahulu. Sedangkan orang miskin tidak punya peluang untuk mendapatkan peningkatan kesejahteraan, bahkan untuk sekadar kelanjutan bersekolah.
Akibatnya, sampai saat ini, mayoritas generasi terpaksa harus berhenti pada kelas 2 Sekolah Menengah Pertama. Kualitas tenaga kerja kita tetap lulusan Sekolah Dasar.
Apa yang mesti dilakukan jika negeri ini ingin mengalami perubahan?
Langkah paling utama tentu saja menemukan keluarga miskin. Ya, orang miskin harus ditemukan terlebih dahulu dalam bentuk yang nyata, bukan sekadar angka yang kemudian dikalkulasi melalui anggaran.
Dari penemuan itu nanti diklasifikasi jenis kemiskinannya. Tetapi pada intinya, pembiayaan pendidikan untuk orang miskin mesti sampai sarjana. Usaha pemaksimalan literasi pada anak-anak melalui sekolah formal yang berkelanjutan sampai sarjana ini bukan satu-satunya solusi tentunya, melainkan bersifat paling mendasar.
Ada banyak beasiswa yang selama ini dilakukan negara, tetapi di lapisan keluarga miskin setidaknya terdapat dua masalah mendasar.
Pertama, anak-anak miskin itu sendiri seringkali berhenti Sekolah Dasar atau sebatas Sekolah Menengah. Alasan paling mendasar tentu saja karena masalah ekonomi atau ketidakberesan keluarga. Karena itu, jaminan agar anak-anak miskin tetap bersekolah harus menyeluruh dengan pemantauan secara khusus. Jangan sampai dari mereka terputus sekolah sampai level Sekolah Menengah Atas.
Kedua, setelah itu pemerintah mesti memastikan agar anak miskin bisa kuliah sampai lulus. Hanya dengan cara inilah peluang anak-anak miskin bisa terputus dari belenggu kemiskinan akan teratasi. Ini bukan solusi segala-galanya karena memang pada kenyataannya, lulusan kuliah pun belum tentu menemukan jalan keluar ekonomi. Tetapi dengan status sarjana, generasi miskin, terutama yang di desa akan lebih berkualitas baik dari sisi wawasan, relasi, hingga perjodohan.
Sekolah formal -sekalipun meragukan untuk sebuah perubahan kualitas hidup- tetap dibutuhkan. Karena alasan ini, jika kita ingin lebih optimal dalam mengatasi kemiskinan tentu kita harus menyelenggarakan pendidikan berbasis literasi atau pendidikan yang kontekstual. Ide ini menjadi kebutuhan karena sejauh ini mutu sekolah formal kita masih rendah.
Kegiatan pendidikan dalam sekolah formal kita kebanyakan hanya menjadi tempat bagi kegiatan anak-anak di masa kecil. Sementara guru-guru menjalaninya sebatas untuk pencapaian mata-pencaharian ekonomi keluarga.
Kepada anak-anak miskin, terutama di desa-desa kita harus lebih serius untuk menawarkan solusi pendidikan yang kontekstual. Pada sendi-sendi literasi yang esensial adalah perwujudan “memahami apa yang dibaca, mengamalkan apa yang dipahami, dan menuliskan apa yang diamalkan.”
Dari doktrin literasi ini, sekolah formal dan nonformal harus mengarah pada usaha mengatasi problem yang dialami anak-anak miskin. Urusan generasi miskin adalah mindset. Di dalamnya mesti mengatasi problem cara pandang hidup, etos, dan etik.
Membangun kepribadian yang kokoh untuk sebuah generasi sangat diperlukan. Tetapi di luar itu, kesadaran untuk memiliki kepekaan terhadap potensi alam sekitar menjadi sebuah tantangan kita semua.
Terdapat fakta besar, kemiskinan kita bukan semata karena populasi, melainkan karena ketidakmampuan mengurus alam sekitarnya.[]
Baca juga: Kisah Negeri Kurang Gizi dan Cara Mengatasinya
Admin: Fadhil Azzam