Oleh: FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia
Sekolah demokrasi diperlukan karena kecenderungan politik di Indonesia seringkali jauh dari semangat berdemokrasi, yaitu menegakkan keadilan sosial.
Setelah sebelumnya kami mendiskusikan tentang demokrasi dan pentingnya pendidikan gerakan sipil, Usman Hamid mengirim materi Pendidikan dari Lembaga yang dikelolanya, Public Virtue Public Virtue
Pada tulisan “Apa itu Lab-School of Democracy?” Usman, -sudah tentu bersama rekan-rekannya di Public Virtue-, melihat adanya kebutuhan Pendidikan bagi kaum muda.
Belajar berdemokrasi

Saya senang karena ini sebuah usaha -yang dalam arti normatif sangat mudah disusun, tetapi akan berurusan dengan realitas yang besar di negeri ini- yang jika diperjuangkannya kita akan butuh “garis-garis” agar dedikasi kita terus berkembang sekaligus fokus pada arah tujuan.
Ada banyak tema-tema yang kontekstual dalam materi itu dan sangat dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan demokrasi yang cacat di Indonesia. Rumusan Usman Hamid dkk tersebut karena bisa menjadi bagian penting dari usaha memproduksi aktor-aktor politik yang berkualitas demos.
Tetapi ada pula materi yang harus ditambahkan seperti kurikulum kepemimpinan dan sejumlah problem rakyat yang berkait dengan masalah kemiskinan, terutama hak rakyat atas pendidikan dan hak rakyat sanitasi.
Bagi kami di Yayasan Odesa Indonesia, masalah kemiskinan, sanitasi dan pendidikan adalah perkara mendasar untuk apa kita bernegara. Ada banyak data yang memperlihatkan bahwa keterpurukan bangsa Indonesia disebabkan oleh tiga masalah itu dan sampai sekarang negara tidak memiliki semangat untuk menuntaskan dengan target-target yang khusus. Jika sebuah gerakan politik, baik informal maupun formal tidak ada perhatian akan hal itu tentu ini juga harus menjadi bagian evaluasi yang sesegara harus dilakukan.
Selain itu kita juga perlu menaruh perhatian pada “konstruksi politik desa”. Butuh ketajaman membicarakan masalah ini karena desa selain berkait dengan kemiskinan dan keterbelakangan juga berhubungan dengan masalah ekologi -yang nanti akan berkaitan dengan pertanian, erosi, termasuk krisis air bersih, gizi, stunting dan seterusnya. Sebagian kerja pendidikan demokrasi mesti memperhatikan hal itu karena satu problem tak terpisahkan dengan problem lain. Termasuk juga dalam hal sikap mengambil solusi.
Bagi saya, pendidikan, apapun itu merupakan syarat wajib bagi kelangsungan hidup. Pendidikan bukan dalam pengertian sempit sekolah formal, melainkan berkaitan dengan setiap bidang hidup masyarakat, katakanlah seperti pertanian, wirausaha, keorganisasian sosial dan seterusnya.
Kami yang bergiat aktif di Yayasan Odesa Indonesia tentu saja akan menyambutnya sebagai bagian kerja kami karena sebagian besar rumusan-rumusan tersebut sudah “nyambung” dengan rangkaian kegiatan pemikiran Civic-Islam, Civic-Indonesia yang kami lakukan saat kami masih bersama almarhum AE Priyono 10 tahun silam.
Bahkan jika dihubungkan lebih jauh lagi, urusan pendidikan dalam ruang lingkup Gerakan sipil ini mengingatkan kegelisahan para aktivis pro-demokrasi era 1990-an, termasuk kegelisahan para intelektual senior sebelumnya. Dalam ingatan singkat saya misalnya, pada tahun 2004 saya mewancarai beberapa tokoh penting dalam kerja demokratisasi.
Kepada saya, Arief Budiman mempersoalkan kepemimpinan sipil yang lemah. Arief Budiman pada tahun 2004 itu sering berbicara keras mengingatkan agar politisi-politisi lebih serius memperhatikan rakyat kecil dan tidak mudah tergoda dengan iming-iming kelompok orde baru yang sedang sibuk mempertahankan sisa-sisa hartanya.
Pada beberapa bulan sebelumnya saya juga bertemu dengan Jalaluddin Rakhmat yang menyatakan bahwa masalah radikalisme keagamaan perlu diperhatikan karena daya juang mereka sangat agresif. Dengan sikap buta ideologis mereka yang cenderung tidak manusiawi. Jalaludin Rakhmat melihat ancaman kemanusiaan akan terus terjadi karena sebagian kelompok non-demokrasi berbasis agama ini menguasai birokrasi dan parlemen.
Teringat pula pertemuan saya dengan Pramoedya Ananta Toer. Dia mempersoalkan mentalitas politisi dan intelektual Indonesia yang lemah dan tidak berkarakter. Pram yang sastrawan itu melihat masalah lemahnya orang Indonesia dalam mentalitas produksi sehingga banyak orang mudah melakukan korupsi, termasuk menjiplak atau membeo pada arus.
Munir yang pada tahun 2004 sedang gencar memotong oligarkhi militer, -dua bulan sebelum wafat- berkata kepada saya, bahwa Indonesia sedang mengalami fase memprihatinkan karena elit politik sipil tidak serius memperjuangkan hak-hak sipil. Karena tidak melihat adanya kemampuan aktor demokrasi yang menjanjikan untuk menjaga “amanat” demokrasi, Munir memberikan solusi agar kita habis-habis berjuang melakukan Pendidikan rakyat.
Pancasila dan Gerakan Sosial Odesa
Kemudian saya bertemu Goenawan Mohamad dan suara yang sejenis di mana problem demokrasi memiliki sejumlah problem, dan berkaitan dengan problem birokrasi dibutuhkan terobosan khusus, misalnya mengurangi dominasinya. Di tengah kesulitan mencari gagasan pembebasan itu Goenawan tetap melakukan gerakan lokal berbasis komunitas-sekalipun sadar akan kelemahan model ini.
Belajar Politik Virtue
Di luar itu, saya juga mendengar suara seniman Harry Rosli yang kata itu sedang greget menyerang perilaku politisi yang busuk. Kang Harry punya keprihatinan yang sama bahkan dia bilang problem kita sekarang dua karena setelah orde baru kelompok non-orde baru juga menjadi bagian dari problem itu. Rakyat jadi bulan-bulanan, katanya.
Kembali pada “sekolah sipil”, terang ini adalah kebutuhan. Saya mengapresiasi program Public Virtue ini tentu bukan karena alasan bahwa ini satu-satunya gagasan. Saya sadar sepenuhnya di luar sana banyak teman-teman yang sudah menjalankan spirit Gerakan semacam ini. Termasuk Yayasan Odesa Indonesia pun melakukan kerja-kerja sosial dalam rangka Pendidikan. Hanya saja memang urusan formalitas kurikulum inilah yang penting untuk menjadi bagian dari usaha yang harus dihargai “agar kerja kita lebih maksimal dan terarah”.
Saya akan sertakan konstruksi materi Pendidikan Public Virtue ini di sini:
https://docs.google.com/…/1FAIpQLSf0JMiOIqxlgO…/viewform
dan sekaligus kita akan terus melakukan perbaikan-perbaikan agar kegiatan pendidikan yang baik itu nanti benar-benar bisa memberi dampak kebaikan dan sekaligus berkelanjutan.
Semangat dasar kita bekerja untuk ini tetap pada garis “produksi gerakan yang melayani,” “pemenuhan kebutuhan”, “sadar produksi ilmu pengetahuan-etnografi”, “pembawa arah gerakan” dan harapan kemudian kita bisa memanen sumberdaya manusia berkualitas demos dengan bukti nyata; lahirnya kepemimpinan manusia yang rasional dan berempati tinggi.[]