mengelola hutan

Mengelola Hutan dengan Bijak: Tindakan atau Hanya Kata?

Astrid Novianti

Oleh Astrid Novianti
Penulis Freelancer. Kontributor website odesa.id

Kesadaran terhadap mengelola hutan mesti terus dilakukan. Dari upaya menciptakan “pohon super” hingga pentingnya predator alami perlu dilakukan. Apakah niat baik ini akan terwujud dalam tindakan nyata atau sekadar menjadi wacana belaka?

Sering kita dengar kata-kata “keberlanjutan” disebutkan dalam berbagai diskusi dan pembicaraan, tapi sayangnya, seringkali itu hanya menjadi sekadar kata-kata tanpa ada aksi nyata. Keberlanjutan mestinya bukan hanya slogan kosong, melainkan berupa tindakan memperbaiki keadaan. Terkait dengan istilah “keberlanjutan” ini, agaknya kita perlu mengenal satu pandangan awalnya.

Istilah “keberlanjutan” pertama kali diperkenalkan pada abad ke-18 dalam konteks kehutanan oleh Hans Carl von Carlowitz, yang menekankan pentingnya penanaman pohon untuk menjaga ketersediaan sumber daya bagi generasi mendatang. Namun, perhatian global terhadap konsep ini melonjak pada 1987 melalui laporan Brundtland Commission, yang mendefinisikan keberlanjutan sebagai “pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”

Sejak saat itu, prinsip keberlanjutan tidak hanya menjadi teori, tetapi juga menjadi panduan dalam pengelolaan sumber daya alam. Penerapan prinsip ini dalam pengelolaan hutan, misalnya, lebih dari sekadar meraih keuntungan cepat, namun mengharuskan kita untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan.

Pengelolaan hutan yang baik memerlukan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara pohon, ekosistem, dan pentingnya kelestariannya. Konsep keberlanjutan pun berkembang lebih luas, mencakup pengelolaan sumber daya alam yang efisien, pengurangan dampak perubahan iklim, dan penerapan ekonomi sirkular untuk mengurangi limbah.

Namun, meskipun banyak inisiatif yang sudah diterapkan, tantangan besar tetap ada. Seringkali, prinsip keberlanjutan berbenturan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek dan kebiasaan masyarakat yang sulit diubah.

Baca juga: Logic in Reality untuk untuk Perbaikan Lingkungan

Praktik Kehutanan dan Krisis Ekosistem

Praktik kehutanan modern sering kali terfokus pada keuntungan instan, tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem yang rapuh. Salah satu contohnya adalah penebangan pohon beech secara berlebihan, yang merusak pohon penting bagi kelangsungan ekosistem hutan. Kerusakan ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menggoyahkan keseimbangan alam yang sangat rentan.

Meskipun dimulai dengan niat yang baik, sering kali praktik kehutanan ini berujung pada kerusakan lingkungan yang lebih parah. Kebijakan yang tampaknya menguntungkan secara ekonomi pada kenyataannya justru dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang pada lingkungan.

Selain itu, terdapat upaya untuk menciptakan “pohon super” yang dirancang untuk bertahan dalam kondisi iklim ekstrem dan menghasilkan kayu dalam jumlah besar. Meskipun tujuan utama dari pengembangan ini adalah meningkatkan produksi kayu, pencarian tersebut sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan ekologis. Akibatnya setelah menanam, pohon pun ditumbangkan. Padahal seharusnya pohon tidak hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai bagian integral dari ekosistem yang memerlukan pengelolaan bijaksana demi kelangsungan hidupnya.

Untuk menjaga kelestarian ekosistem secara menyeluruh, perlunya memperhatikan peran penting predator alami, seperti serigala. Serigala memainkan fungsi vital dalam mengendalikan populasi herbivora yang jika dibiarkan berkembang biak tanpa kendali, bisa merusak vegetasi penting bagi kelangsungan hutan. Dengan mengatur keseimbangan jumlah herbivora, serigala membantu melindungi tanaman yang menjadi sumber makanan dan tempat tinggal bagi berbagai spesies di hutan, menunjukkan bahwa pengelolaan hutan yang efektif harus mempertimbangkan peran semua spesies.

Selain peran predator dalam menjaga keseimbangan ekosistem, kita juga harus mempertanyakan pandangan yang menganggap kayu sebagai sumber daya ramah lingkungan hanya karena berasal dari pohon yang tumbuh kembali. Pengelolaan hutan yang buruk, seperti penebangan liar atau pengolahan kayu yang tidak ramah lingkungan, dapat menyebabkan kerusakan ekosistem yang jauh lebih besar.

Keberlanjutan tidak hanya bergantung pada pembaruan sumber daya itu sendiri, tetapi juga pada cara kita mengelola dan memperlakukan hutan dengan bijaksana. Dengan demikian, pengelolaan hutan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan dampak ekologis yang lebih luas, termasuk keseimbangan antara produksi kayu dan pelestarian alam.

Hal ini juga mencakup kesadaran akan “biaya ekologis” yang terkandung dalam konsumsi produk-produk hutan, seperti kertas tisu. Setiap kali membeli produk-produk tersebut, kita turut berkontribusi pada perubahan yang merusak alam, baik melalui penebangan pohon maupun perubahan fungsi lahan yang mengancam keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, keberlanjutan menuntut kita untuk lebih bijaksana dalam kebiasaan konsumsi, dengan mempertimbangkan tidak hanya kemudahan atau harga, tetapi juga dampaknya terhadap lingkungan dan kelangsungan alam itu sendiri.

Pada akhirnya, keberlanjutan bukan hanya soal pengelolaan hutan, tetapi juga berkaitan erat dengan pola konsumsi manusia. Dengan mengubah pola konsumsi, terutama terhadap produk-produk yang memerlukan lahan hutan, kita dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dan mendukung pelestarian hutan. Ketika kita memilih produk dengan lebih bijak, kita berkontribusi pada pelestarian hutan dan keberlanjutan ekosistem secara lebih luas.

Secara keseluruhan, untuk mewujudkan keberlanjutan yang sesungguhnya, kita perlu memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan timbal balik antara manusia, alam, dan ekosistem. Keberlanjutan tidak hanya bisa diterapkan dalam pengelolaan hutan atau kebijakan kehutanan, tetapi juga harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk kebiasaan konsumsi sehari-hari.

Tanpa pendekatan yang bijaksana dan holistik, konsep keberlanjutan akan tetap menjadi sesuatu yang abstrak dan jauh dari kenyataan, tanpa memberikan dampak positif yang berarti bagi alam dan generasi mendatang. Keberlanjutan yang sejati hanya bisa tercapai jika kita menyadari bahwa setiap tindakan kita, sekecil apapun itu, memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap keseimbangan alam.[]

Baca juga: Menemukan Harapan di Ladang yang Terlupakan

Penulis: Astrid Novianti

Admin: Fadhil Azzam

Keranjang Belanja