Oleh Faiz Manshur. Ketua Yayasan Odesa Indonesia Bandung
Saya tidak lagi pusing mempersoalkan mengapa orang Indonesia lemah dalam membaca. Penyebabnya bisa beragam, penyelesaiannya juga beragam. Dengan kata lain persoalan adalah mudah karena memang bisa diselesaikan dengan beragam cara.
Solusinya adalah, melangkah bertaut dengan mereka; terus menerus berbicara tentang masalah kehidupan mereka, kehidupan kita dan kehidupan semua hal. Di situlah muatan-muatan pengetahuan kita akan menemukan tempatnya, dan di situlah perihal membaca akan menemukan solusinya.
Tak terbayangkan sebelumnya, anak-anak petani yang tidak pernah membaca koran kini bertanya tentang koran. Tak terbayangkan sebelumnya, mereka yang tak pernah mendapatkan dorongan dari orangtuanya rajin membaca sekarang kecanduan membaca. Tak terbayangkan sebelumnya, mereka yang bersekolah dalam situasi terbelakang, terutama karena gurunya tidak pernah memfasilitasi kegiatan literasi kecuali dalam pembelajaran formal yang kaku dan normatif sekarang mereka memiliki kesenangan dalam membaca.
Masalahnya sepele. Anak-anak desa, anak petani keluarga pra sejahtera (sangat miskin) dan sejahtera I (Miskin) ini tidak mendapatkan tempat, tidak ada kondisi yang memungkinkan mereka membaca. Buku bukan lagi soal mahal, tapi apa itu buku pengetahuannya juga cuma buku tulis, buku pelajaran, tidak ada pengetahuan misalnya tentang jenis fiksi remaja, jenis kartun/komik, dan jenis-jenis lain.
Apakah solusinya membangun perpustakaan, membuat rak lalu menaruh buku? Ini adalah langkah yang biasa dilakukan oleh pejabat dinas atau pegiat literasi yang tidak memiliki kesadaran pentingnya transformasi sosial. Logika ini serupa dengan pembangunan infrastruktur namun tidak melihat urgensi pengelolaan dan pemeliharaan lebih lanjut. Buat saya, masalah anak-anak desa, bahkan orangtua petani membaca bukan hal yang sulit. Temukan dulu pola komunikasi, atau model pembelajarannya. Temukan dulu konsistensi kita dalam menyatu dengan mereka untuk sebuah “kepentingan” bersama.
Kata intinya adalah pendampingan.Buat saya, doktrin transformasi sosial adalah, tak ada pemberdayaan tanpa pendampingan. Pendampingan adalah kata baku bagi para aktivis. Mendampingi mereka dari awal sampai berhasil memungkinkan kita menemukan revolusi Sumber Daya Manusia. Kita sudah membuktikan hal itu. Anak-anak desa yang 1 tahun sebelumnya tidak mengenal bacaan selain literarut sekolah, kini telah terbiasa mengenal ragam bacaan. Mereka rajin mencatat kapan meminjam dan kapan mengembalikan. Dengan pengondisian pertemuan dengan beragam trainer/fasilitator mereka menjadi lebih terbuka berpikir.
Di Yayasan Odesa Indonesia kegiatan seperti ini memungkinkan anak-anak desa menemukan pembaharuan lebih cepat. Setiap pekan bisa mereka bertemu dengan Pak Dosen, kadang dari Unpad kadang dari ITB. Mereka juga mengenal wartawan yang bisa menulis dan bisa membuat tulisan lalu masuk koran atau internet. Kita tunjukkan bukan hasil, tapi proses. Kerja wartawan, kerja penulis, kerja pak Dosen dan bu dosen itu begini, dan begitu. Mereka mendapat contoh konkret dan bertemu langsung. Itulah yang membuat mereka kemudian berubah dan memahami dunia yang sebelumnya tak pernah mereka ketahui.
Maka, ketika program Kursus Bahasa Inggris sudah berjalan, lalu berlanjut pada peningkatan literasi, bacaan-bacaan fiksi dari Penerbit Mizan dan juga penerbit lain, termasuk majalah, komik, kamus dan atlas kini menjadi menu sehari-hari anak-anak desa.
Hal seperti inI merupakan modal besar yang bisa diarahkan ke jalan yang lebih serius. Dari proses menuju progres. Setelah mereka mendapatkan proses yang mata tentang selukbeluk belajar secara lebih baik dan menyenangkan, mereka digiring ke arah proses literasi, membaca. Kemudian berlanjut pada usaha bertutur/menceritakan tentang apa yang dibaca. Nanti lebih lanjut akan masuk pada proses penulisan dan tak lupa harus memahami dunia numerik termasuk statistik.
Hal yang menarik; ternyata bacaan-bacaan itu terkadang tidak mengenal kelas sosial atau kelas intelektual. Saya beberapa kali menguji anak-anak desa dengan kadar literasi rendah dan berlatar belakang sekolah terbelakang. Saya dorong 3 anak membaca cerita Novel Karya Ajip Rosidi, Pramoedya Ananta Toer dan Linda Christaty. Karya Ajip Rosidi tentang Kabayan dan Karya Pramoedya tentang Gadis Pantai mudah dipahami. Sedang Novel Linda, Rahasia Selma kurang begitu menarik anak karena kesulitan menyerap arah pemikiran penulis. Namun ada satu anak lain yang membaca buku Linda berjudul Dari Jawa Menuju Atjeh justru bisa memahami.
Dari memahami menuju memaknai
Memahami adalah ruh dari semua kegiatan literasi. Membaca adalah memahami dan bukan menghafal. Soal berapa persen pemahaman seorang pembaca itu jangan terlalu dipersoalkan. Semua adalah proses. Bukankah para mahasiswa dan juga dosen terkadang tidak paham apa yang dibaca? Bukankah para intelektual juga tidak selalu memahami semua tumpukan buku yang dibeli? Atau bisa-bisa mereka paham beli buku tetapi tidak paham baca.
Nah, anak-anak desa ini tidak paham membeli buku, dan itu tidak perlu saat ini, yang terpenting mereka makin sadar penting membaca; mengisi kekosongan waktu, membuat pikiran lebih sehat karena di bawa pada imajinasi-imajinasi yang kaya, dan terbiasa berpikir.
Perihal proses pembelajaran literasi juga tidak melulu harus diarahkan pada memahami semua kandungan isi, melainkan juga harus menyertakan nilai pemaknaan bagi kehidupan sehari-hari mereka. Buat apa paham kalau hanya jadi ilmu, tapi tidak menggerakkan. Buat apa jadi ilmu kalau tidak jadi amal?
Bagaimana menjadikan ilmu yang terpahami itu menjadi amal? Saya beruntung dulu secara langsung mendapatkan “kursus” secara privat dari Pak Utomo Dananjaya. Pendidiri Yayasan Paramadina Mulya itu berkali-kali mengajarkan cara atau simulasi pencerahan praktis yang memungkinkan orang bisa melakukan pembacaan untuk meraih pemahaman dan kemudian menjelma menjadi makna, dan dari makna itu diperoleh bekal untuk bergerak, bertindak. Sebab pada endingnya, kegiatan literasi harus mengarah pada “tindakan.”
Dari penyerapan model simulasi Pak Tom itu saya operasikan di lapangan. Prinsipnya adalah, kita harus bisa duduk sejajar dan memungkinkan mereka berkomunikasi secara merdeka dan menyenangkan. jangan sampai mereka terkekang oleh situasi. Kebetulan kebanyakan petani adalah minderan saat bertemu dengan orang Kota. Kita harus bisa mengubah keadaan itu menjadi cair. Jangan lupa pahami dulu kebutuhan mereka dalam aktivitas sehari-harinya, barulah dari situ kita memulai memasok bacaan yang bisa merangsang orang untuk lebih berpikir.
Pelajaran dari Pak Tom yang lain adalah, ajak mereka membaca bersama, misalnya membaca sebuah berita. Lalu tantang pembaca itu untuk menyimpulkan, memaknai dan menarik kesimpulan, dan jangan lupa mengapresiasi nilai dari tulisan tersebut. Nah, ini serupa dengan model pembelajaran corak asiatik yang berkarakter deliberatif;kumpul-kumpul, belajar bersama, memaknai bersama, dan paham bersama. Dan harus tartilan, tidak boleh tergesa-gesa. Mending baca sedikit asal paham dan bisa memaknai dari pada baca banyak tapi tidak paham apalagi bisa memaknai.
Contoh yang saya kemukakan di atas hanya sedikit kisah dari pengalaman proses pendidikan literasi bagi warga petani desa di Cimenyan. Saya masih punya banyak cerita tentang kegiatan literasi, terutama pada petani tua. Mereka saya pasok bacaan pertanian, biasanya memakai buku agribisnis atau majalah trubus, atau bahkan bacaan praktis budidaya pertanian dan pasca panen dari hasil print-out dari internet.
Aneh bin ajaib
Namun yang paling terkesan dari pengalaman kegiatan literasi di perdesaan ini adalah ketika saya memasok bacaan pada seorang petani berusia 42 tahun. Sebelumnya saya mendapat informasi dari tetangganya kalau petani ini buta huruf karena tidak sekolah sama sekali. Namun informasi ini saya biarkan karena bisa jadi tidak benar.
Waktu saya bertemu saya tanyakan langsung, apakah Bapak bisa membaca, dia mengangguk. Saya pun memberikan bacaan dengan bantuan benih kelor dan polybag. Dua minggu kemudian saya bertemu dan saya tanyakan apa isinya dari tulisan itu, dia bisa bercerita sekalipun terbata-bata. Intinya 50 persen bisa menyerap bacaan tersebut. Dia pun mulai pintar memahami budidaya Kelor.
Selang satu minggu kemudian saya bertanya kepada anaknya. Itu bapak bisa baca? Sang anak menjawab “Tidak. Bapak tidak sekolah,” begitu katanya. Lho kenapa Bapak kemarin bisa cerita isi tulisan itu? Sang anak menjawab,” Abdi (Saya) yang membacakan.”
Luar biasa……tepuk tangan…..