Hampir setiap orang Indonesia pasti tahu tentang slogan “Empat sehat lima sempurna”. Kalimat itu mengajak orang untuk memenuhi protein dengan susu dan daging. Ajakan itu sekilas tak bermasalah.
Namun di mata Ketua Pembina Yayasan Odesa Indonesia, Budhiana Kartawijaya ada kekeliruan di sana.
Sebab secara tidak langsung masyarakat dipaksa minum susu dan daging. Agar masyarakat bisa membeli produk susu yang diolah perusahaan yang membuat slogan itu.
“Empat sehat lima sempurna bukan slogan dari pemerintah, itu dari perusahaan susu,” kata Budhiana dalam diskusi mingguan bersama petani Odesa Indonesia di Pasir Impun Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Selasa, 30 Juli 2019.
Wartawan Senior penggerak jurnalisme solutif itu menilai, dalam memenuhi kebutuhan pangan sehat dan bergizi masyarakat tidak harus makan susu dan daging. Apalagi jika targernya adalah protein. Banyak panganan lokal yang mengandung protein tinggi, contohnya kelor.
“100 gram susu dengan 100 gram kelor proteinnya lebih tingi kelor,” kata dia.
Harus Realistis
Usulan konsumsi daging secara rutin itu menurut Budhiana tidak cocok untuk Indonesia. Sebab Indonesia ini daratannya tidak seluas Australia, Cina atau Amerika Serikat. Akibatnya, ketergantungan dengan daging dan susu akan membebani negara yang harus impor susu dan daging.
“Kalau bisa didapat dari Kelor, mengapa kita harus memakan daging? Daging mahal, dan belum tentu sehat. Kelor mudah ditanam di seluruh tanah Indonesia,” katanya.
Budhiana lebih mendorong masyarakat untuk swasembada protein dibanding ajakan swasembada daging. Dengan mengandalkan lahan pertanian yang subur seperti Indonesia, rakyat bisa lebih realistis memenuhi kebutuhan protein.
Selain alasan ekonomi, budidaya tanaman lokal dan gerakan locavore juga bisa mengontrol kualitas pangan. Ia memberi contoh gerakan locavore yang telah tumbuh di Amerika Serikat.
“Locavore itu gerakan yang menolak konsumsi makanan luar daerah. Tidak harus ekstrem semua bahan pangan ditolak tentunya. Tapi paling tidak setiap kelompok masyarakat harus memiliki sumber pangan primer sehingga tidak bergantung dari luar daerahnya,” jelasnya.
Konsep locavore yang dimaksud Budhiana adalah memiliki jarak maksimal 166 km dari lokasi masyarakat. Karena semakin jauh, makanan akan sulit dikontrol dan dinilai tidak sehat. Meski sampai rumah masih segar, makanan itu pasti mengandung bahan pengawet.
“Kita di Bandung misalnya, mestinya sumber pangan itu paling jauh dari Cilacap, Cirebon atau ujung barat Sukabumi. Idealnya sih karena Garut, Cianjur, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat juga subur dan masih ada peluang pertanian, sebaiknya sumber pangan orang bandung dari beberapa kabupaten tersebut” jelasnya.
Selain sumber pangan dari tumbuhan, Budhiana juga melihat potensi pangan dari laut juga sangat potensial. Sumber protein bisa dihasilkan dari laut yang mengelilingi kepulauan negeri, selain dari panganan nabati.
Ia mendorong para petani untuk menanam tanaman bergizi tinggi. Dari sana masyarakat akan memenuhi gizi dengan harga yang terjangkau.
“Karena itu kita harus mengangkat lagi makanan-makanan kita yang sehat, seperti sorgum, hanjeli dan tanaman lainnya.”-Abdul Hamid.
Video Locavore bisa dilihat di Swasembaya Protein Sumber Pangan Lokal Indonesia