Lapar, Miskin dan Bunuh Diri

OLEH FAIZ MANSHUR.Ketua Odesa-Indonesia, Bandung.
Kalau kita gunakan istilah “kurang makan”, kita tidak akan mudah percaya hal itu ada. Kok masih ada hari gini kekurangan makan? Begitu kira-kita respon mayoritas teman-teman saya setiap kali mendengar cerita kehidupan buruh tani di Cimenyan Kabupaten Bandung. Saya maklumi hal tersebut karena memang kepercayaan orang terhadap sesuatu itu harus melalui minimal dua pengalaman.

Pertama pengalaman menyaksikan sendiri. Kedua memahami arti dari istilah yang digunakan tersebut.
Jangankan urusan kurang makan.Masyarakat kita dalam menggunakan istilah “miskin” saja bukan urusan konkret, melainkan sebagai retorika. Paling jauh penggunaannya untuk urusan angka dan jarang digunakan sebagai panduan konret mengatasi persoalan sosial.

Lagi-lagi untuk sementara waktu harus dimaklumi karena pengetahuan kita tentang kemiskinan sebatas urusan kabar berita, bukan sebagai tragedi akibat kesenjangan atau akibat pemiskinan struktural.

Di Yayasan Odesa Indonesia wicara soal kurang makan dan kemiskinan adalah hal yang biasa. Kami sama-sama memiliki kepercayaan bahwa terdapat sekian ribu orang yang susah makan. Ini bukan penafsiran, melainkan atas dasar fakta lapangan. Kami tidak meributkan lagi apakah itu ada, dan tidak lagi kaget karena sudah lebih 2 tahun menyelami keadaan itu, bahkan semakin memahami akar persoalannya sekaligus juga memahami bagaimana harus bertindak untuk berbuat semaksimal mungkin dengan segenap keterbatasan yang kami miliki.




Orang-orang miskin dan sangat miskin (pra-sejahtera) hidup dalam rumah yang tak sehat dengan keadaan orientasi hidup rumah tangga yang menurut kita mungkin sangat gila. Sehari-hari penghasilan ekonominya tidak jelas didapatkan dari mana. Ladang yang mereka garap bukan milik mereka. Bergantung pada upah kerja tani juga tak memungkinkan karena porsi kerja yang tak jelas mengakibatkan pemenuhan hajat hidup sehari-hari tidak bisa rutin. Pepatah singkatnya, untuk makan saja pontang-panting tidak karuan. Maka jelas kemudian kalau kami menemukan pakaian sangat buruk, lalu kami pun menggalang solidaritas bantuan pakaian. Begitu juga dengan keadaan rumahnya yang semakin lama semakin rusak tak kunjung ada perbaikan. Sanitasi tak kunjung terselesaikan karena dalam satu lingkungan perkampungan keadaan ekonomi mayoritas rendah.

Ini sungguh terjadi, dan bukan di jauh luar Jawa, melainkan di Kawasan Bandung Utara (KBU), kecamatan Cimenyan. Keluarga yang hidup sengsara urusan dasar sehari-hari itu mudah ditemui. Kami banyak menemukan individu tak produktif seperti perempuan atau laki-laki lanjut usia yang kurang makan itu nyata ada. Tadinya kami hanya berpikir mereka miskin tetapi cukup makan sekalipun dengan gizi yang rendah. Nyatanya, semakin lama kami deteksi kehidupannya, semakin kami paham bahwa urusan makan jauh dari yang kita bayangkan sebelumnya.

Berburu beras adalah urusan mendasar sehari-hari. Sulitnya mendapatkan upah membuat pikiran mereka terkonsentrasi pada soal beras. Adapun menu makanan sehat bergizi tinggi jangan ditanya sebab mereka tidak berpikir itu, melainkan sekadar mengganjal perutnya sudah cukup. Ada sebagian orang tua yang punya anak dan cucu. Tapi miskin. Sebagian tetap setia merawat orangtuanya sehingga masih bisa makan. Sebagian frustasi dan memilih menjauh dari orangtuanya.

Nah, orang-orang tua yang miskin dan tak produktif dalam pekerjaan, kemudian tidak mendapatkan bantuan dari anak-anaknya itulah yang benar-benar sengsara hidupnya. Tanah sudah tak ada karena sebagian besar dijual, sebagian sudah dibagi untuk keluarga anak-anaknya. Menjadi buruh tani itu hanya berlaku pada usia maksimal 40 tahun. Selebihnya tenaga mereka sulit laku karena kemampuan fisiknya yang terus melemah.

Buruh-buruh tani itu begitu cepat menua. Masalah makanan yang kurang berkualitas gizinya jelas menjadi problem mendasar sehingga mereka mudah terserang penyakit. Sakit-sakitan itu lumrah terjadi pada keluarga miskin, dan semakin sakit semakin menjadi beban keluarganya. Keadaan sakit membutuhkan pasokan makanan bergizi dan layanan yang layak terutama dalam hal psikologi.

Dalam keadaan sakit itu, mereka terpaksa tinggal di dalam rumah sempit yang sanitasinya buruk. Kalau rumah kayu kelembabannya mungkin sedikit baik karena ada udara keluar masuk melalui celah dinding kayu. Sedangkan rumah tembok permanen yang dibangun asal-alasan seringkali menambah problem karena kelembaban yang buruk. Belum lagi fakta lain; di sekitarnya kandang ternak dan saluran air yang becek itu kuman dan benih penyakit lain mudah berkembang.

Bunuh diri
Orang-orang miskin yang kekurangan pangan itu hidup tanpa orientasi khusus. Tak ada ajaran yang berkembang dalam memandu perilaku hidupnya. Pendidikan yang rendah, pergaulan yang tersekat, dan ketiadaan pemimpin lokal membuat kehidupan tanpa target dan tujuan. Hidup seakan-akan hanya melayani nafas agar tubuh tetap bisa bergerak. Makin lama siksaan hidup itu memanjang, buntutnya stres melanda. Kemudian bunuh diri bisa menjadi bagian dari keputusan akhir.

Bunuh diri dalam pengertian gantung leher di tali memang tidak banyak terjadi. Namun ada sekian fakta yang cukup mengagetkan kami, bahwa banyak dari orang-orang miskin yang mengalami pesakitan panjang seperti diabetes, stroke atau pesakitan panjang pada kebanyakan laki-laki usia di atas 50 tahun itu menyebabkan kematian yang lebih cepat dari usia rata-rata.

Ketika lelaki itu pesakitan dalam ruang tidurnya begitu lama, istrinya tak bisa menyediakan bahan pangan yang mencukupi. Urusan rumah sakit adalah urusan yang paling runyam. Bukan soal biaya gratis di rumah sakit karena memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau BPJS yang dijamin dari ABPD. Tapi sekali berangkat ke rumah sakit bisa merepotkan anggota keluarga lainnya karena harus membiayai biaya angkut dan urusan menunggu berhari-hari di rumah sakit. Itu artinya membuat linglung semua anggota keluarga dan saudaranya yang kebanyakan adalah pekerja bayaran harian. Tidak bisa bekerja artinya tidak mendapatkan uang, pada akhirnya masih harus keluar uang untuk urusan rumah sakit. Keadaan seperti itu kemudian pada beberapa tahun selanjutnya memungkinkan orang mati dengan indikasi bunuh diri.

Sering kami mendengar kabar aneh tentang kematian seseorang yang mengalami pesakitan panjang melewati beberapa tahun. Kronologinya sering di luar dugaan. Misalnya, beberapa hari sebelumnya orang itu meninggal, mendadak agresif makan dan yang dimakan sebagian adalah pantangan dari dokter yang mereka sadari dan sebelumnya telah dihindari. Dari situ mereka kolaps kemudian ke rumah sakit, beberapa hari kemudian kembali ke rumah di antar dengan mobil ambulans. Itulah yang kami sebut “bunuh diri” cara baru karena kemungkinan besar frustasi atas keadaan hidupnya. Adalah hal yang sangat mungkin terjadi manakala stres berkepanjangan memungkinkan orang untuk mengambil jalan pintas penyelesaian. Hal ini mengingatkan kita pada kisah tahanan Nazi di Jerman. Terhampar banyak catatan kematian akibat bunuh diri di dalam kamp konsentrasi.

Setelah mati urusan selesai? Tidak. Banyak kampung tidak memiliki pemakaman umum. Mayat mereka sebagian di kubur di pekarangan.Nisan tanpa tulisan mudah ditemui pada rumah tangga petani miskin. Di bagian atas tanam kuburan itu lalu lalang keluarga dan tetangganya bisa menginjak kuburan leluhurnya. Tak jarang di samping batu nisan itu ada WC kumuh dengan genangan air yang terkadang mengalir di sekitarnya.

Terdapat juga kotoran ternak yang berceceran di atas batu nisan. Sepanjang hidupnya mereka sengsara karena tempat kehidupannya sangat terbatas. Begitu mati juga masih repot karena keluarga yang masih hidup kemudian tak bisa mengotak-adik kuburan itu. Terkadang niatan Odesa Indonesia untuk pemberdayaan tani pekarangan petani miskin terhambat oleh satu faktor ini. Pekarangan yang seharusnya bisa bersih dan menghasilkan nilai ekonomi keluarga harus terus dikonsongkan karena ada kuburan di samping rumahnya. []
Berbagi untuk Mereka yang Kekurangan

Keranjang Belanja