Berpikir Makro Bertindak Mikro

Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia
Memperbaiki keadaan (Indonesia) itu harus konkret. Tidak bisa sekadar teriak vokal, apalagi seruannya hanyalah ayo kita ambil kekuasaan. Kita punya kelemahan besar dalam berpikir; hanya mampu berbicara tataran makro namun lemah dalam eksekusi mikro.

Saya ambil contoh, dalam urusan mengatasi kemiskinan. Ada yang bilang korupsi memiskinkan banyak orang. Itu tidak perlu didebat memang. Namun ini pengetahuan terlalu dangkal. Sebab tidak ada fakta bahwa hilangnya korupsi berarti sebuah negara bebas kemiskinan. Masalah kemiskinan juga bukan masalah makro yang bisa diselesaikan melalui strategi struktural seperti mengandalkan infrastruktur, padat karya atau pemberdayaan instan.




Bahkan pemerintahan Jokowi misalnya, sekalipun sudah mampu banyak mengarahkan anggaran infrastruktur sampai pelosok desa yang tertinggal, namun tidak serta merta urusan kemiskinan teratasi. Satu ilustrasi saja, ketika di sebuah desa itu dibangun jalan, tidak otomatis orang miskin bisa mendapatkan berkah dari pembangunan itu. Banyak dalam penyerapan tenaga kerja saat proyek pun belum tentu orang miskin mendapatkan jatah. Yang untung pertama kali adalah pemilik mobil angkutan. Orang miskin justru mengeluarkan biaya untuk transportasi, artinya bertambah pengeluaran dalam menjalankan usahanya sebagai buruh tani.

Saya sepakat, pembangunan harus sampai ke pelosok karena asas keadilan menuntut demikian, namun urusan kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yang bukan rumusnya. Kita harus kritis dengan mempertanyakan secara mendasar tentang: di mana orang miskin itu berada? Apa kondisinya? Apa penyebabnya sehingga ia miskin? Apa modal dasar yang bisa membuat dirinya setahap demi setahap terbebaskan dari kemiskinan? Siapa yang akan mendampingi? Itulah yang harus diteliti terlebih dahulu sehingga tidak buru-buru percaya dengan cara berpikir “otomatisme”.

Data dari hasil survei, sensus atau penelitian adalah pintu masuk. Masuklah ke sasaran kemiskinan pada tersebut. Verifikasi keadaan di lapangan barulah kemudian ambil tindakan yang paling tepat. Sangat tidak berguna memperdebatkan apakah kemiskinan itu disebabkan oleh kebodohan atau kebodohan disebabkan oleh kemiskinan. Sebab banyak hasil penelitian dari para peneliti yang membuktikan, baik di Afrika maupun Amerika Latin, yang terjadi bukan soal bodoh penyebab kemiskinan atau kemiskinan penyebab kebodohan warga, melainkan kebodohan terletak pada pemerintahannya.

Pemerintahan yang tidak mampu mengurus sumberdaya manusia itulah yang sering merawat kemiskinan berkembang turun temurun menjadi problem kultural. Kebanyakan pemerintah yang oligarkhis, tidak punya visi, tidak punya ilmu pengetahuan membereskan masalah mikro, dan tidak punya jiwa sosial.

Kita harus memperbaharui metode, mengubah strategi, dan bertindak lain. Kuasai data, turun ke lapangan, dan pahami persoalan. Kita tidak bisa lagi mengandalkan metode berbuat baik dengan sekadar mengedepankan nilai dengan menerapkan berbuat baik lantas urusan selesai.

Ada kenyataan bahwa kita bisa berbuat baik namun tidak memperbaiki keadaan. Serupa melempar koin pada orang miskin sementara orang miskinnya tetap miskin. Itu juga berlaku bagi yang mempercayai bahwa kekuasaan akan selalu memperbaiki keadaan hanya dengan modal niat dan gagasan baik. Cara berpikir itu juga memiliki kesalahan dengan mengatakan, dalam kekuasaan tidak ada kebaikan.
Kita warga republikan yang mesti kembali pada prinsip dasar, kebaikan hanya maujud jika kita bertindak dalam praktik sosial yang paham atas masalah lalu bersedia menyelesaikan masalah.




Esensi kebajikan (virtue) ada pada tindakan, bukan seperti paham liberal yang lebih berpikir naif dengan cukup percaya pada kesadaran metafisis dengan mendudukkan persoalan hanya semata pada hak individu. Ada banyak orang baik memegang jabatan, nyatanya juga tidak selalu menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan mereka tidak membawa pengetahuan yang memadai.

Kenyataan membuktikan, bahwa penyelesian masalah tidak sekadar dengan materi atau kekuasaan, melainkan juga butuh ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan aksi konkret di lapangan.
Kita perlu berubah, memperbaiki pola pikir dan lebih serius dalam bekerja. Kemiskinan, Kekurangan Gizi, Keluarga Pra-Sejahtera, Rumah Tangga tanpa sarana MCK, dan rendahnya pendidikan merupakan akar dari keterbelakangan Indonesia. []

Komentar ditutup.

Keranjang Belanja