Satu kantong plastik berisi beras di dalam genggaman wanita tua

Bangsa yang Lapar

Bangsa yang Lapar

Bangsa yang Lapar oleh Faiz Manshur
Oleh Faiz Manshur
(Ketua Odesa Indonesia)

Setelah makan tubuh kita akan merasa nyaman. Kaki tangan tak gemetaran. Perut tak rewel lagi. Otak kita pun bisa fokus untuk berpikir, berkomunikasi, bekerja bahkan bernyanyi.

Pada intinya, manusia, termasuk semua spesies, menginginkan hidup ini untuk sebuah rasa yang paling disukai, yaitu rasa nyaman. Makananlah yang paling pertama dibutuhkan untuk kenyamanan tubuh. Kemudian setelah itu, tubuh membutuhkan kenyamanan kedua, yaitu tidur, alias istirahat.

Tidur adalah mekanisme naluriah dalam rangka menjaga kesehatan agar setelahnya kita bisa mencari makan lagi. Dengan kata lain, kehendak untuk makan dan tidur adalah dua hal yang paling mendasar untuk tubuh. Uniknya, tidur tidak akan enak jika dalam keadaan lapar. Adapun urusan “teman tidur” menjadi kebutuhan lanjutan setelah dua urusan itu terpenuhi secara stabil. Itulah mengapa seseorang yang telah mencapai rasa aman (stabil) dalam urusan makanan merasa percaya diri membutuhkan “teman tidur”; adu kelamin kemudian beranak-pinak membangun keluarga untuk menjalankan takdir evolusi.

Menarik kalau urusan makanan ini kita hubungkan dengan kasus aktual saat ini. Karena beras termasuk urusan yang disukai setiap orang, maka ketiga terjadi harga mahal, apalagi isu kelangkaan munculm, di situlah banyak orang mudah resah. Bahkan dalam keadaan kenyang sekalipun orang bisa panik. Sebaliknya, jika ada yang memberikan atau sekadar menyampaikan makanan, seseorang tersebut akan dianggap baik.

Inilah yang menjelaskan sesungguhnya bahwa urusan hidup manusia-yang sekalipun sudah jauh melampaui kebutuhan hewani-tetapi urusan yang paling naluriah tetap sensitif. Inilah perkara naluriah di mana kita masih terhubungan dengan awal hidup manusia di zaman lampau. Di era 8.000 tahun silam sebelum era agrikultur berkembang, seluruh kerja manusia pada dasarnya ialah perburuan atas sumber pangan. Kisah zaman kolonial tak lepas dari urusan hidup matinya sebuah bangsa dalam perburuan sumber pangan.

Demikian sejarah manusia bekerja untuk survive, karena kekurangan sumber pangan berarti kematian. Tetapi jangan kaget pada zaman sekarang karena penyebab kematian juga bisa muncul dari orang-orang yang “kelebihan” makanan. Disebabkan munculnya doktrin naluriah “untuk hidup harus makan”, maka kebiasaan itu kemudian menjerumuskan kita pada situasi kemakmuran sampai lupa tapal batas “pemenuhan atas kebutuhan” ke arah “pemenuhan keinginan”. Dari situlah banyak penyakit menggerogoti orang-orang makmur kemudian lebih cepat mati karena telah menjadikan perutnya sebagai tong sampah dan bahkan menjadikan sebagai kuburan bangkai.

Kekurangan atau kelebihan adalah madharat. Kurang makan bisa sakit dan mati, kelebihan makan juga demikian. Bagaimana kalau sebuah bangsa yang hidup dalam era maju seperti sekarang ini preferensi politiknya masih bisa dipengaruhi sejumput makanan?

Satu kantong plastik berisi beras di dalam genggaman wanita tua

Inilah yang terjadi di negeri ini. Pemerintah yang mestinya mampu menjalankan politik yang cerdas dan beradab dengan kewajiban menggulirkan “kail” agar rakyat mahir mencari “ikan” justru abai. Banyak program pembangunan yang tidak berhasil untuk menjawab problem dasar rakyat. Lebih ironis lagi, pemerintah justru memanfaatkan kemiskinan itu sebagai cara melanggengkan kekuasaan. Bagi-bagi beras dan isu pembagian makanan menjadi cara pragmatis untuk menutupi ketidakmampuannya menjalankan kewajiban pemenuhan hak dasar hidup rakyat.

Penyair Wiji Thukul pernah menulis dalam sajaknya, “Di Kamar 7x 6 Meter.” Katanya, “lapar memang memalukan!. Dan kita lihat. Penguasa politik itu memandang keadaan lapar rakyat sebagai celah untuk sekadar mendulang suara.[Sumber Koran Gala, Senin 26 Pebruari 2024]

Baca juga : Orang Miskin Indonesia: Sebuah Esai Ilmiah untuk Empati

Keranjang Belanja