Setelah Membangun Jalan, Selanjutnya Apa?

Catatan Diskusi tentang Implementasi UU Desa

Banyak kepala desa dan aparatur desa yang bingung setelah pembangunan infrastruktur jalan, lalu akan membangun apa. Banyak pula kepala desa yang tidak tahu anggaran tahun depan itu jumlahnya berapa.




Persoalan seperti ini merupakan problem internal pemerintahan Desa yang kini menjalankan mandat UU Tentang Desa No.6 tahun 2014. Jika Undang-Undang Pemerintahan Desa sebelumnya hanya bersifat untuk melaksanakan desentralisasi, UU Desa masuk ke level pengakuan.

Dalam konteks pengakuan inilah paradigma kerja Pemerintahan Desa tidak lagi sekadar menjadi objek, melainkan harus bisa menjadi subjek, menjadi arena bagi warganya untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan.

Demikian narasi paling utama dari sebuah pemaparan Indra Lubis, ketua Kelompok Kerja (Pokja) Direktorat Jendral (Ditjen) Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementrian Desa Republik Indonesia dalam Diskusi Fokus Grup bertema “Implementasi Undang-Undang Desa No.6 Tahun 2014” di Kampung Sekebalingbing, Desa Cikadut, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Sabtu, 22 Oktober 2016. Diskusi ini difasilitasi Odesa-Indonesia sebagai kegiatan kajian yang tujuannya untuk bekal analisis dan kerja para jurnalis, perangkat desa, aktivis perdesaan dan pengusaha di kawasan Kecamatan Cimenyan dan Cilengkrang.

“Menjadi subjek Pembangunan Desa tentu membutuhkan pengetahuan, kecakapan, ketrampilan dan wawasan bagi pelakunya. Saya tidak kaget kalau di masa awal ini pemerintahan di desa tidak paham dengan cara pelaksanaan UU Desa. Jangankan pejabat Desa, bupati saja banyak yang enggak paham,” kata demonstran yang kini bekerja dalam pemerintahan di Kemendesa RI ini.

Menurut Indra, problem kapasitas Sumber Daya Manusia di pemerintahan Desa ini menjadi penting diperhatikan karena Pemerintahan Desa punya tanggungjawab besar bagi keberhasilan Desanya. Sekalipun era otomomi sudah berjalan, tetapi karena bangsa Indoensia ini sudah lama hanya dijadikan objek, maka butuh waktu untuk penyesuaian.




“Karena alasan itulah sekarang kita menawarkan kerangka strategis dalam urusan pemberdayaan ini,” jelasnya.

Menjawab problem pasar

Indra kemudian menjelaskan bahwa kata kunci menjadi subjek pembangunan ini adalah musyawarah desa. Menurutnya, Muswayawarah desa itu pilihan strategis untuk basis pemberdayaan. Kementerian Desa melalui Kelompok Kerja Direktorat Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Pokja Ditjen PPMD) menawarkan formulasi strategis untuk mempercepat pembangunan kapasitas dengan 4 formula dasar, yaitu 1) Aset, 2) Konteks, 3) Strategi, 4) Capaian.

Pada aset Indra Lubis menjelaskan ada dua hal, yaitu aset rumah tangga dan aset Pemerintahan Desa. Menurutnya, pada setiap rumah tangga petani hampir semua memiliki aset. Sekalipun rata-rata aset rumah tangga petani di Indonesia rata-rata hanya 0,3 hektar yang tidak cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, namun tanah sekecil itu harus dipandang sebagai aset yang perlu diperhatikan potensinya. Sedangkan di dalam pemerintahan Desa sendiri juga terdapat aset seperti perkebunan, hutan, hamparan lahan kosong, pasar, atau potensi alam lain.

“Pasar ini sekalipun di desa jangan dianggap remeh karena relasi hubungan lintas negara saat ini sudah lapang, apalagi ada internet,” katanya.

Optimalisasi peran pasar ini sangat penting karena menyangkut dimensi perdagangan. Itulah sebabnya Indra Lubi menuntut agar menteri perdagangan juga memperhatikan soal pasar lokal di desa-desa dan tidak melulu mengurusi perdagangan ekspor-impor semata. Dengan meletakkan pasar desa ini tujuan kementrian desa bisa menjawab problem mata rantai perdagangan yang panjang itu semuanya biaya.




Hal tersebut menurut Indra sangat penting karena sejauh ini negara Indonesia masih lemah dalam urusan mekanisme pasca panen. Ia mencontohkan, misalnya pemerintah mendorong menanam jagung tapi tidak ada yang bisa memastikan soal harga dan sistem perdagangan yang lebih memihak kepada petani.

“Kita melihat fakta bahwa problem perdagangan dalam pertanian itu menunjukkan penikmat keuntungan terbesar bukan petani yang menghasilkan bahan baku atau panen mentah, melainkan siapa yang mampu mengolah. Karena itu misalnya di kawasan Cimenyan ini ada kopi atau hasil bumi lain jangan sampai hanya mampu mengeluarkan hasil panen mentah. Harus diolah,” jelasnya.
Bicara lebih strategis menurut Indra, pasar dengan problem liberalisasi dan biaya transaksi, struktur negara juga harus mengambil peranan dalam konsensus nasional, optimalisasi peran Pemda, dan penguatan desentralisasi. Dimensi negara ini yang kemudian diterjemahkan sebagai strategi pembangunan dan Investasi di tingkat RT dan Desa sekaligus.

Kerangka strategis tersebut tujuannya untuk menjawab beberapa hal di antaranya, mengatasi kemiskinan secara mandiri, menjawab problem pertanian dan non pertanian, menjawab kebutuhan teknologi, Sumber Daya Alam, Sosial, Budaya dll. Sedangkan konteks strategis untuk investasi tujuannya antara lain untuk keperluan publik seperti irigrasi, jalan, reformasi agraria, termasuk untuk investasi rumah tangga yang sifatnya privat, yaitu modal, sertifikat dll.

Tiga model, yaitu Aset, Konteks, dan Strategi tersebut arahnya untuk tujuan mencapai tujuan primer dan sekunder. Yang primer disebutkan aset produktif, pendapatan, organisasi local, dst. Sedangkan yang sukunder adalah lapangan pekerjaan, pemberdayaan, dst.

Peran Masyarakat Sipil

Selain menjawab problem melalui penguatan Pasar dan Negara, kementrian perdesaan juga memandang pentingnya kekuatan masyarakat sipil sebagai komponen perubahan ini. Masyarakat sipil harus bisa mengambil peran untuk kesuksesan program UU Desa dengan tiga capaian, yaitu kelembagaan, organisasi lokal, dan tidakan kolektif.

“Seperti teman-teman di Odesa-Indonesia ini adalah aktor masyarakat sipil yang kita pandang sebagai Konteks berdampingan dengan Pasar dan Negara,” ujarnya.

Masyarakat sipil menurut Indra tidak dipersoalkan sisi formal atau tidak formal, sebab yang terpenting bisa menjadi mesin gerak mengawal kelangsungan Konteks menuju Capaian. Ia berharap masyarakat sipil, seperti kampus, LSM dan organisasi lokal bisa berjalan masuk ke ruang kerja ini.

“Kampus-kampus misalnya, perlu turun dengan aksi, jangan sampai hanya menjadi Menara gading. Desa butuh hasil penelitian dari kampus. Desa juga butuh aksi orang-orang kampus, termasuk program Kuliah Kerja Nyata. Kalau dulu mahasiswa berpikir KKN itu harus mencari duit, sekarang Desa itu sudah punya duit. Harus bisa disambungkan program ini,” katanya.

Indra juga mendorong agar Desa yang tidak memiliki orang pinter misalnya, bisa mengalokasikan anggaran untuk membiayai konsultan dari kampus atau lembaga penelitian yang tentu pasokan ilmu pengetahuan itu tujuannya untuk pemberdayaan sehingga selanjutnya nanti rancangan APBDesa bisa lebih baik.

Program Desa di Luar Infrastruktur

Menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait jenis-jenis pembangunan desa Indra memaparkan secara luas peluang-peluang di desa untuk dibangun. Menurut Indra cakupan pembangunan sebenarnya sangat luas dan tidak semata urusan membangun jalan.

“Melalui musyawarah desa itulah subjek akan menentukan. Apapun programnya bisa dimusyawarahkan. Ternak lele, pendidikan informal, termasuk jurnalistik juga menjadi penting,” katanya.




Sebelumnya di berbagai media massa masalah program non-infrastruktur ini juga sudah dikampanyekan oleh Menteri Desa Eko Putro Sandjoyo dengan istilah program One Village One Product yang memiliki tujuan untuk peningkatan taraf ekonomi perdesaan. Program yang bertumpu pada bidang kewirausahaan menurut Eko, akan mendorong setiap desa untuk fokus dalam pengelolaan satu produk unggulan dari setiap desa.

Diskusi yang berlangsung dari pukul 15:00 hingga jam 20:00 tersebut dihadiri oleh 22 peserta terdiri berbagai unsur masyarakat sipil, Enton Supriatna (Pemimpin Redaksi Galamedia), Budhiana Kartawijaya (Penelitian dan Pengembangan Harian Pikiran Rakyat), Basuki Suhardiman, Didik Harjogi (Dosen Institut Teknologi Bandung) Ansor (Badan Perwakilan Desa Cikadut), Suherman (Mantan Kades dan Pembina kelompok Tani Giri Mekar), Nanang M.Yusuf (Ketua Kelompok Tani Pondok Buahbatu Cimenyan), dan beberapa petani dan pengolah kopi serta peternak sapi. Pada diskusi tersebut juga disampaikan banyak masukan kepada Indra Lubis agar dijadikan bahan masukan Kementrian Desa Republik Indonesia.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja