Sentak Dulang Cimenyan: Puluhan Keluarga Tak Bisa Akses Air Bersih

JAM menunjukkan sekitar pukul 01.00 dinihari. Meski Umar (65) masih mengantuk dan matanya berat membuka, dia harus bergegas membawa dua jerigen ke lokasi mata air di pinggir Sungai Cisanggarung. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 300 meter ke arah bawah. Tapi kalau tidak segera menuju ke tempat itu, Umar akan didahului orang lain dan harus antre cukup jauh.




Di dekat rumpun bambu, di pinggir sungai itu, puluhan orang setiap selepas tengah malam rela menunggu untuk mendapatkan air bersih gratis yang disediakan alam. Meskipun tidak banyak, tetapi masih lumayan untuk memenuhi kebutuhan air minum keluarga. “Kalau kita bangunnya kesiangan, kebagiannya juga paling belakang. Minumnya juga terpaksa terlambat,”kata Umar Rabu pekan lalu.

Umar adalah salah seorang dari sekitar 40 kepala keluarga di RT 04 RW 12 Sentakdulang, Desa Mekarmanik, Kec. Cimenyan, Kab. Bandung, yang merasakan betul sulitnya mendapatkan air bersih selama ini. Memang warga RT lain juga mengalami hal yang sama, namun tidak separah seperti warga RT 04.




Jika kemarau datang, mata air yang menjadi tumpuan warga itu mengering. Maka mereka harus pontang-panting mencari air bersih. Termasuk meminta kemurahan hari tetangga di blok lain, yang persediaan airnya masih ada. Bagaimanapun, ratusan jiwa manusia itu tidak mungkin meminum air kotor. “Sebenarnya malu, kalau minta terus. Tapi mau bagaimana lagi,” kata Umar.

Mak Sopiah (72) warga RT 02 juga merasakan hal yang sama. Terkadang kalau air bersih mulai sulit, dia bersama warga lainnya mencari air ke tempat penambangan batu. Di tempat itu ada mata air yang bisa digunakan untuk minum meskipun debitnya sangat terbatas.

Kalau tidak, Mak Sopiah mendatangi masjid terdekat untuk meminta air bersih seperlunya. “Sejak dulu memang kami kesulitan air. Lihat saja bak penampungan air yang ada di sini kosong,” kata perempuan yang tampak masih bugar di usia senjanya itu.

Benar saja, sebuah bak penampungan air berukuran 4 meter persegi dengan tinggi 1 meter di perkampungan itu, hanya menyisakan lumpur kering dan onggokan sampah di dalamnya. Selang air warna-warni yang membentang ke setiap rumah, tidak memberikan air setetes pun.

Padahal aktivitas mandi cuci kakus (MCK) adalalah ritual harian warga yang tidak mungkin dihentikan. Ketersediaan air dalam kehidupan warga, sangatlah berpengaruh terhadap pola hidup mereka. Banyak warga yang terpaksa tidak mandi atau mencuci pakaian karena memang air tidak ada.




Tanah subur
Kondisi seperti ini sudah lama mengusik Ujang Rahmat (40), seorang tokoh masyarakat di Sentakdulang. Dalam pandangan Ujang Rahmat, warga Sentakdulang sebetulnya tidak harus kesulitan air, karena tanahnya subur. Maka yang dibutuhkan saat ini adalah kemauan pemerintah untuk menyediakan air bersih, dan pengelolaan distribusi air yang baik oleh warga.

“Menurut saya, tidak pantaslah kalau warga Cimenyan dan warga sini khususnya, harus kesulitan air. Tanah kita ini subur, sumber-sumber air banyak. Tapi masalahnya, bagaimana agar sumber-sumber air itu bisa diberdayakan sehingga mampu memenuhi kebutuhan air bersih warga,”ungkapnya.
Dijelaskan, selama ini terdapat dua saluran air melalui pipa paralon seukuran betis orang dewasa, yang melewati kampung mereka. Satu saluran untuk air kotor dan satu lagi untuk air bersih yang diambil dari tempat cukup jauh. Dengan pengelolaan yang baik, bisa berjalanan hingga sekarang.

Air kotor diambil dari Kampung Singkur Cikawari berjarak sekitar 3 km dari Sentakdulang. Saluran itu merupakan bantuan pemerintah sejak beberapa tahun lalu, untuk kebutuhan tanaman palawija di perkebunan sebelah selatan Sentakdulang. Sejumlah bak induk dibuat di jalur pipa itu, untuk menampun air bagi warga.

Namun keadaan itu hanya berjalan sekitar dua tahun. Selain pengelolaannya tidak bagus, juga lahan tempat bak induk itu banyak yang dijual. Sehingga pemilik baru tidak lagi peduli pada persoalan kebutuhan air warga. Jatah air yang sekarang diberikan kepada warga, hanya bersifat sporadis.



Sementara pipa air bersih, mengalirkan air yang diambil dari kawasan hutah pinus di sebelah utara Cikawari. Air bersih itu untuk kebutuhan minum warga desa lain. Kompensasi bagi warga yang dilewati jalur pipa itu, bisa mengambil air namun tetap harus membayar sesuai dengan debit yang dipakai.

“Saya heran, kawasan hutan itu kan masuk ke wilayah Desa Mekarmanik, tapi airnya bisa dimanfaatkan untuk warga desa lain. Jadi lintas desa. Sementara kita yang merupakan warga Mekarmanik, tidak dapat menikmatinya. Akan lebih baik kalau air itu dialirkan untuk warga setempat,” tuturnya.

Sumur artesis
Ujang Rahmat dan beberapa warga berinisiatif mengambil air dari tempat penambangan batu dengan menggunakan selang. Namun airnya hanya bisa dipakai untuk beberapa rumah saja, karena debitnya kecil. Karena itu harus ada langkah lain yang bisa mengakhiri ketergantungan warga terhadap pasokan air dari luar.

Salah satu caranya adalah membuat sumur artesis untuk aktivitas MCK umum. Memang biayanya cukup mahal. Namun mendesak untuk disediakan agar persoalan air bisa teratasi. Di RW 12 terdapat empat RT yang dihuni sekitar 120 kepala keluarga atau kurang lebih 500 jiwa. “Jika ratusan jiwa ini bisa mengatasi persoalan air, maka sebagian dari masalah hidup mereka selesai,”kata Ujang Rahmat.




Menurutnya, warga RT 4 harus diprioritaskan dalam pembuatan sumur artesis. Karena kondisinya lebih sulit dibanding warga RT lain. Gagasan itu disambut baik Umar dan keluarganya. Mereka siap menyediakan lahan untuk kebutuhan sumur artesis dan sarana MCK umum.

“Silakan saja tanah kami dipakai untuk kepentingan umum. Kan yang penting masalah air ini teratasi,” kata Umar yang bersama kakak perempuannya menunjukkan lahan yang bisa dipakai. ***
(Sumber: Galamedia, Selasa 24 Oktober 2017)

Baca Warga Cimenyan Kesulitan Air

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja