Nengsih, Sebuah Cerita Hidup Keluarga Pra-Sejahtera

Nama saya Nengsih.  Umur 27 tahun. Saya sedang pusing dengan sebuah masalah. Anak pertama saya, Desi, sebentar lagi berusia sama seperti saya ketika pertama kali dikawinkan. Ya, kini dia 12 tahun. Dia tampak makin cantik. Sekarang sudah pintar berdandan. Tidak lagi kucel dan kumal seperti waktu masih kecil.

Dulu saya memang tak sempat merawat anak-anak dengan baik.  Pagi-pagi sebelum mereka bangun, saya sudah harus pergi keluar rumah mencari rumput untuk makanan ternak. Kami sekeluarga bekerja merumput domba milik orang lain yang menitipkan dan dari situ kami mendapatkan bagi hasil.

Saya harus mengurus domba karena kalau tidak, dombanya bisa sakit dan kurus. Hanya itu yang bisa saya lakukan untuk mencari nafkah sejak saya ditinggal suami.  Dulu sebelum tahun 2018, saat bersama suami penghasilannya juga tidak mencukupi sehingga saya harus merumput dari pagi hingga sore hari. Begitu suami pergi saya semakin kesulitan.

Anak-anak semakin tak terurus.  Pagi-pagi harus pergi bekerja, saya tak sempat siapkan sarapan dan mengurusi mereka sebelum berangkat sekolah. Mereka harus melakukannya sendiri.  Bermain di ladang dan terkadang ikut bekerja berpanas-panasan dengan kakeknya. Kulit mereka kasar dan pecah-pecah. Sudut bibir luka dan rambut kemerahan.

Urusan bersih-bersih dan mencuci memang susah karena di kampung kami sulit mendapatkan air bersih. Di dalam rumah tidak ada kamar mandi dan toilet. Dulu untuk keperluan mandi, cuci dan air untuk memasak, kami harus turun lereng ke sungai di lembah.  Untungnya sekarang sudah ada kamar mandi dan saluran air yang dibangun Yayasan Odesa tahun 2018 di dekat rumah kami.

Terkadang saya tak tahu apakah anak saya pergi ke sekolah atau tidak. Untungnya ibu saya tinggal di rumah yang berdekatan. Sesekali saya bisa menitipkan mereka, tapi ibu punya cucu lain yang juga harus diurusnya. Repot juga kalau harus mengurusi pula anak-anak saya yang sering sakit.

Saya sering pulang ke rumah sore hari tanpa tahu apa saja yang dilakukan anak saya hari itu, bagaimana di sekolah, apa pelajaran hari itu. Kalau pun saya tanya, mungkin saya juga tak banyak bisa membantu. Mereka pun sering hanya diam, tak bercerita apa-apa kalau ditanya. Sejak ditinggal bapaknya, anak-anak saya sering murung dan tak banyak bicara.

Sekarang ini Desi sudah kelas lima sekolah dasar. Saya dulu tak sampai menyelesaikan SD ketika dikawinkan, dan tak pernah bersekolah lagi setelah punya anak. Saya tak tahu bagaimana saya bisa membiayai  sekolah Desi dan Gunawan untuk SMP dan selanjutnya. Apalagi sekarang saya punya bayi kecil dari suami baru.  Sekalipun sudah punya suami lagi, tetap saja untuk kebutuhan hidup masih harus bekerja keras.

Ketika pengurus Yayasan Odesa datang dan menanyakan Desi, saya sampaikan, saya memang takut Desi tidak bisa sekolah lagi. Apalagi dia pernah tidak naik kelas dua kali. Usia sekarang sudah masuk 12 tahun. Kata mahasiswa yang membimbing belajar Desi belum bisa membaca. Jadi harus terus dibimbing.

Kalau memikirkan Desi saya jadi takut seperti yang saya alami, menikah usia muda saat belum bisa apa-apa. Saya tak mau dia bernasib sama seperti saya. Saya ingin dia bisa terus bersekolah, punya cita-cita tinggi, bisa mendapatkan pekerjaan di kota atau menjalankan usaha sendiri. Mungkin dengan itu dia bisa membawa saya dan adiknya keluar dari hidup yang serba sulit ini.

Kalau saja dia mendapatkan beasiswa meneruskan sekolah di pesantren yang jauh dari kampung ini, saya akan lebih tenang. Karena semakin dia besar dan cantik di sini, semakin saya takut dia akan terpaksa kawin muda. Tapi apa yang bisa saya lakukan, saya tak tahu harus meminta tolong kepada siapa.

***

Belum lama ini kami dikenalkan dengan kegiatan tani pekarangan oleh Yayasan Odesa. Mereka mengajarkan kami untuk bertani di halaman rumah. Tidak banyak tanamannya karena lahannya sempit. Tapi dalam dua bulan sudah terlihat hasilnya. Dengan ini saya jadi punya kegiatan lain. Saya tanam bayam merah, pokchoy, bawang, kangkung, kelor dan sayuran lainnya.

Tadinya saya tidak bisa sama sekali menanam dengan cara ini. Mang Ujang Rusmana dari Odesa setiap minggu mendatangi kami dan memberikan modal benih, polybag, paranet dan mengajarkan tata cara menanam.  Juga menjamin pembelian kalau seandainya saya kesulitan menjualnya.

Dua bulan berjalan mulai terlihat hasilnya. Saya bisa memasak sayuran tanpa membeli. Karena panennya melebihi yang saya butuhkan, saya menjualnya ke warung atau ke pasar. Jadi saya punya penghasilan tambahan hanya dengan mengurus tanaman di pagi dan sore hari.-[Kisah tentang keluarga Pra-Sejahtera, Nengsih dari Cimenyan Kab.Bandung. ditulis Oleh Yuliani Liputo sesuai diceritakan oleh narasumber]

1 komentar untuk “Nengsih, Sebuah Cerita Hidup Keluarga Pra-Sejahtera”

  1. Pingback: Saatnya Perempuan Memanfaatkan Gizi dari Pekarangan

Tinggalkan Balasan ke Saatnya Perempuan Memanfaatkan Gizi dari Pekarangan Batalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja