Jangan Asal Berderma: Filantropi yang Baik Butuh Strategi Sosial

Oleh FAIZ MANSHUR. Ketua Odesa Indonesia.

Bantuan sosial, sedekah, hibah, sumbangan, atau apapun istilahnya hanyalah alat, bukan tujuan. Bagi Yayasan Odesa Indonesia, tindakan karikarif merupakan langkah awal memasuki proses kerja pergerakan.

Kami percaya kemajuan atau perbaikan harus lahir dari mereka yang lemah dan tak mendapatkan kesempatan sehingga proses kerja gerakan sosial itu harus menyertakan “pendidikan”.

Kita tahu, sangat beresiko berbuat baik membantu tetapi yang dibantu tidak mengalami perbaikan. Bisa-bisa pemberian bantuan justru menjadi candu yang bisa memicu mentalitas miskin.

Kita sadar sepenuhnya akan hal itu. Tetapi bantuan untuk kaum papa tetap harus ada, sebab erat berurusan dengan tanggungjawab negara menegakkan keadilan sosial. Selain itu, gerakan amal juga penting terus didengungkan guna mendorong tumbuhnya kesadaran kelas menengah untuk mengembangkan empati pada mereka yang marjinal.

MEMBERIKAN MODAL USAHA PETANI DISERTAI PENDAMPINGAN MEMBUAT MEREKA LEBIH BERPELUANG MELAKUKAN PERUBAHAN SENDIRI Cara Pendampingan Petani dengan Modal Usaha

Menghilangkan semangat berbagi sama juga mematikan nilai dari gerakan solidaritas. Lagi pula masalah kemiskinan selalu berurusan dengan dua pilar pemikiran paling dasar, yakni perihal struktur yang timpang/menindas, maupun sikap solidaritas yang lemah.

Kerja Perubahan bukan semata pertanian organik. Perubahan sosial butuh mentalitas intelektual organik; yang membumi dalam kebersamaan memproses perubahan.

Berangkat dari sini, doktrin gerakan sosial harus mengombinasikan filantropi. Dan Filantropi tak boleh berdiri sendiri. AE Priyono, Salah seorang pemikiran yang berkontribusi besar lahirnya Yayasan Odesa Indonesia jauh di tahun 2007 telah membuat dikotomi, yaitu dengan membedakan Kebaktian Sosial vs Gerakan Sosial. BACA Kebaktian Sosial Vs. Gerakan Sosial Menurut AE Priyono

Itulah mengapa setiap kerja kedermawanan sosial, harus disertai proses pendidikan. Urusannya bukan saja dalam ekonomi masalah ekonomi, melainkan dalam urusan sanitasi dan pendidikan yang nota-bene merupakan problem mendasar Bangsa Indonesia.

Cara memahaminya ialah mendatangi rumah mereka. Mengenal dengan interaksi sosial, berulang-ulang disertai banyaknya informasi kanan-kiri. Setelah mengetahui?

Lakukan. Bertindak. Membangun kesadaran bersama.

Tidak hanya pada bulan puasa kita berbagi. Tak juga saat wabah covid-19 mencampakkan para pekerja harian golongan rawan miskin dan orang miskin itu ke dalam kesulitan urusan dapurnya.

Gerakan Yayasan Odesa Indonesia selalu menyatukan bantuan (pangan atau sandang atau jenis bantuan lain) pada saat kegiatan pendampingan kegiatan usaha tani. Yayasan Odesa Indonesia juga menyalurkan bantuan “alat pendidikan” untuk anak-anak petani saat kegiatan literasi berlangsung.

Berderma Air Bersih Sangat Strategis Mengubah Keadaan

Yang material dan “spiritual” kita bundel dalam semangat untuk agenda perubahan sosial. Transformasi sosial lebih cocok di era demokrasi seperti sekarang ini. Itu membedakan dengan model revolusi sosial. Kedua strategi ini menurut saya bukan pertentangan.

Tetapi untuk revolusi sosial sendiri (jika memang dibutuhkan) dipastikan membutuhkan kesadaran sosial. Tak ada tindakan revolusi tanpa kesadaran revolusioner. Tak ada revolusi tanpa teori dan teori yang baik bukan teori yang dimiliki oleh intelektual, melainkan yang telah tertanam dalam pikiran rakyat itu sendiri.

Dengan tindakan filantropi berbasis gerakan (berbeda dengan filantropi an-sich) kami melihat proses ini menghasilkan nilai-nilai baru yang lebih baik yang menyebar di masyarakat. Tetapi jangan bayangkan ukuran perubahan itu seperti pembangunan fisik. Ini adalah urusan pembangunan kapasitas Sumber Daya Manusia yang butuh penilaian tersendiri.

Kita terus melakukan inovasi dalam setiap tindakan. Tak ada satu metode tunggal yang bisa dijadikan patokan dalam pergerakan mengurus korban ketidakadilan struktural ini. Selalu butuh rumus-rumus baru dalam menjawab problem satu keluarga ke keluarga lain.

Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah: ribuan orang miskin hidup di perbukitan yang terbelakang infrastruktur pendidikan, tak ada pemimpin informal yang kuat, disertai absennya negara dalam mengambil tanggungjawab terhadap kemiskinan. Negara hanya bisa melaksanakan penyerapan anggaran, -itupun dengan segenap kekacauan alokasi, inefisiensi, dan yang lebih parah lagi tidak memiliki program untuk perbaikan secara periodik.

Keadaan ini memungkinkan kita harus merintis paradigma baru dalam mengatasi setiap persoalan. Memainkan perubahan sosial dengan menggali kepemimpinan lokal, berproses bersama dengan para pengurus dan relawan dari Kota, kemudian mengawal setahap demi setahap perbaikan baik melalui kegiatan ekonomi (budidaya pertanian) maupun kegiatan literasi.

Satu hal yang perlu disampaikan juga bahwa metode pergerakan yang efektif senantiasa membutuhkan pendekatan informal dengan memperbanyak komunikasi.

Negara dan Politisi yang merusak

Sedikit kilas-balik, di tahun-tahun awal 2016-2018, perihal bantuan seringkali menimbulkan kecemburuan sosial karena mereka yang mampu tidak mendapatkan jatah dan menggerutu. Bahkan ada RT yang merasa ditekan tetangganya karena bantuan tidak adil.

Maksudnya tidak adil itu karena tidak semua mendapatkan bantuan, padahal orang tersebut tergolong mampu yang mestinya ikut membantu tetangganya. Tetapi mentalitas penadah membuat mereka gagal paham. Setahap demi setahap, problem seperti ini bisa diatasi oleh para relawan Odesa Indonesia.

Mau tahu penyebab mengapa mentalitas miskin itu kuat di masyarakat kita?

Ada dua kontributor keburukan tersebut, dan ironisnya adalah aktor yang mestinya harus memperbaiki keadaan buruknya mental masyarakat. Dua aktor itu adalah Negara dengan kebijakan pemerintahnya, kedua adalah politisi dengan kebiasaan “membeli suara” dengan bantuan cepat saji.

Negara telah lama ikut berperan dalam kerusakan mental dengan seringnya berderma tanpa edukasi. Bantuan dikenal sebagai kebaikan negara, bukan sebagai tanggungjawab negara. Kualitas SDM rendah di masyarakat, disertai mental oligarkhis pemerintah membuat hubungan pemberi dan penerima berjalan berkelanjutan sebagai pihak yang berbaik dan pihak yang layak diberi kebaikan. Dalam hubungan ini, oleh rakyat, negara dipahami institusi di luar rakyat, yang asal membantu, lantas diangap perbuatan baik.

Jumlah orang miskin banyak. Tetapi harus dimulai dari angka pertama, didorong dengan strategi khusus untuk memicu inspirasi.

Hubungan ini mirip dengan perusahaan yang berada di sekitar orang miskin. Perusahaan sebagai institusi bisnis merasa harus kokoh dengan “ideologinya”; profesional, serba efektif, kerja tepat waktu, keuntungan harus dicapai dan seterusnya. Sementara orang-orang miskin di sekitarnya yang tidak bisa diserap dalam lapangan kerja ekonomi pabrik itu dianggap sebagai penghambat.

Maka solusinya adalah perusahaan “berbuat baik” dengan memberikan kompensasi pekerjaan. Tujuannya bukan karena penilaian kapasitas, melainkan supaya tidak menganggu lingkungan. “Preman-preman” juga perlu “diberi kebaikan” dengan cipratan receh setiap ada kebutuhan.

Selain kebijakan negara, para politisi juga ikut berperan serta dalam proses pembodohan ini karena dalam menjalankan hubungan dengan konstituennya adalah jual beli suara saat masa kampanye pemilihan umum. Hasilnya, habis manis sepah dibuang. Suara rakyat dibeli untuk keperluan peraihan kursi.

Mengapa Yayasan Odesa Indonesia perlu membundel amal sosial dengan gerakan sosial?

1) Karena pendampingan membutuhkan komunikasi. Dengan penyerahan bantuan, kita lebih mudah diterima oleh masyarakat miskin; selanjutnya bisa mengenal lebih dekat. Kita patut menciptakan kebahagiaan pada siapa saja untuk sebuah aksi perubahan. Pada golongan orang miskin, bantuan material itu konkret, langsung membuat mereka senang; bahkan memberikan dorongan mempercayai kita.

2) Karena pemberian bantuan untuk orang miskin itu juga memiliki nilai pendidikan. Orang-orang miskin, apalagi yang kadung rusak mentalitasnya, diam-diam hanya bisa merasakan nikmatnya menerima, tapi tak pernah merasakan nikmatnya membantu. Orang-orang yang sering menerima bantuan dan menikmatinya. Mereka hanya tahu nikmatnya menerima karena tidak pernah merasakan nikmatnya memberi.

Makna di balik keterlibatan

Suatu ketika di tahun 2017, kita gerakkan anak-anak petani untuk menyalurkan bantuan kepada ratusan warga. Usai acara gerakan bagi bahan pangan, Ketua Pembina Yayasan Odesa Indonesia, Budhiana Kartawija bertanya pada belasan anak-anak pada jam menunggu buka puasa setelah berkeliling ke kampung-kampung perbukitan di Kawasan Bandung Utara:

“Lebih suka membantu atau dibantu? Jawab mereka, “membantu!”. Karena tidak cukup yakin dengan jawaban itu, Budhiana Kartawijaya mengulangi pertanyaan dibalik: “Lebih senang dibantu atau membantu?” Anak-anak kompak menjawab, “membantu!”

Dengan membantu, menyalurkan bantuan dalam kebersamaan, anak-anak dan remaja desa itu bisa menceritakan perasaan akan pengalamannya. Mereka jadi mengerti mengapa Yayasan Odesa Indonesia memilih orang tertentu untuk dibantu dan mengapa tidak dibantu.

Kegiatan karikatif bisa berubah menjadi kegiatan pendidikan yang membawa ratusan anak-anak petani terutama dari keluarga miskin atau rawan miskin itu memiliki cara pandang yang berbeda. Ingat, kebodohan paling mendasar pada diri seseorang adalah karena tidak memiliki pilihan dalam memandang sesuatu.

Dengan menyediakan dua cara pandang, otomatis menambah pola-pikir. Dengan praktik di lapangan, otomatis membentuk pengalaman. Dengan pengalaman, akan membentuk karakter. Dengan karakter yang baik, perubahan sosial akan terus berjalan baik sampai kelak mereka dewasa bahkan menjadi orangtua.

Melibatkan kegiatan yang mudah seperti penyaluran bantuan disertai prinsip gerakan sosial akan membangun kekuatan moral yang tinggi (virtue) di antara anak-anak petani miskin. Empati kita sebarkan melalui kebersamaan mengambil peran sosial.

Orang kota menyerahkan bantuan, Yayasan Odesa Indonesia mengeksekusinya sebagai gerakan pendidikan. Dan ini banyak mengubah pola pikir. Bukankah pola pikir itu sendiri merupakan problem yang paling mendasar untuk diubah? []

Jalan Pendampingan Berbasis Filantropi. Salurkan Bantuan Untuk Perubahan Sosial

BACA TULISAN AE PRIYONO: KAIDAH-KAIDAH GERAKAN SOSIAL Kebaktian Sosial Vs Gerakan Sosial

2 komentar untuk “Jangan Asal Berderma: Filantropi yang Baik Butuh Strategi Sosial”

  1. Pingback: Kebaktian Sosial Vs Gerakan Sosial – Odesa Indonesia

  2. Pingback: Kaum Muda di Dalam Pergerakan Odesa Indonesia – Odesa Indonesia

Tinggalkan Balasan ke Kebaktian Sosial Vs Gerakan Sosial – Odesa Indonesia Batalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja